Satu #part1

238 0 0
                                    

Gefan menyisir rambut panjangnya dengan jari sambil terus melangkah menuju kantin. Beberapa orang yang dilewatinya langsung menyingkir, memberi jalan supaya dia tidak menabrak mereka. Gefan mengabaikan tingkah orang-orang itu. Dia tidak menyalahkan mereka. Penampilannya memang tidak mencerminkan mahasiswa yang baik. Rambut sebahu yang nyaris selalu berantakan, kemeja lusuh, jins belel, lengkap dengan sepatu kets yang sudah tidak jelas berwarna apa. Hal terutama yang membuat orang-orang itu selalu menjauhinya adalah sebuah tato abstrak mengerikan di lehernya.

Hanya karena penampilannya seperti preman terminal, bukan berarti tingkahnya juga seperti itu. Tetapi, dia tidak merasa harus mengadakan konferensi pers untuk mengklarifikasi dugaan-dugaan miring itu. Biar saja orang-orang berpikir sesuka mereka tentang dirinya, dia tidak peduli. Semakin banyak orang yang menjaga jarak darinya, semakin baik untuk hidupnya.

Dia berbelok memasuki kantin dan melihat sesosok gadis duduk di meja tengah. Gadis itu tampak asyik dengan handycam di tangannya sambil mengulum lolipop. Gefan menghampiri gadis itu.

"Woy!" tegurnya sambil menggebrek meja.
"Monyet bunting!" teriak gadis itu kaget. Dia menatap Gefan dongkol. "Harus, ya, ngagetin gitu?" sungutnya.
Gefan menyeringai. "Laper, Na," ucapnya.
Lanna kembali pada handycam-nya. "Ya, makan. Ngapain ngomong sama gue? Emang muka gur mirip rumah makan Padang?"

Gefan tertawa kecil. Dia lalu berdiri untuk memesan makanan. Beberapa mahasiswa lain menyingkir saat dia mengantre, termasuk mahasiswa senior. Meskipun baru semester dua, dia sudah cukup terkenal sebagai mahasiswa paling sangar di jurusannya. Padahal, Gefan tidak pernah bersikap kasar kepada mereka.

"Nasi ayam bakarnya satu, Bu," pesannya.

Bu Asih, salah seorang penjual di kantin, langsung membuatkan pesanan Gefan. Setelah si ibu menyerahkan pesanannya, Gefan membayar dengan uang pas, lalu kembali ke meja Lanna. Lanna masih dengan kegiatannya. Jus jambu di depan gadis itu nyaris tidak tersentuh.

Gefan menjulurkan leher sedikit ke arah handycam Lanna, lalu mencibir. Lanna sedang melihat rekaman tentang pacarnya, Arsen.

"Gue nggak nyangka kalau cewek kuliahan masih ada yang minat pacaran sama anak SMA," ledeknya sambil memasukkan sesendok nasi dan potongan ayam bakar ke mulutnya.

Lanna memelototi Gefan. "Bentar lagi dia juga bakal jadi mahasiswa!" semprotnya.
"Ya. Dan, lo udah semester tiga. Dia? Maba."

Lanna mengabaikannya. Gefan dan Arsen tidak pernah bisa berdamai. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Yang jelas, sejak kali pertama dia memperkenalkan kedua orang itu, mereka langsung sepakat untuk saling memusuhi. Setiap kumpul bertiga, pasti ada yang menjadi bahan pertengkaran mereka. Dan, Lanna harus selalu siap menjadi penengah kedua lelaki itu.

Lanna mematikan handycam itu, lalu menyeruput jus jambunya. "Daripada lo ngurusin kehidupan cinta gue sama Arsen, kenapa lo nggak ngurusin kehidupan cinta lo aja?"

Gefan mengangkat bahu. "Nggak minat," jawabnya, kembali berkonsentrasi pada nasi soto di depannya.

Lanna menghela napas sambil geleng-geleng kepala. "Gue nggak pernah nyangka kalau fobia cinta itu beneran ada."

Gefan mengabaikannya.








Hai guys sorry banget baru on lagi dan baru bisa lanjutin cerita ini lagi hehe. Please like, vote, dan kasih komen kalian mengenai cerita ini dan saran-saran yaa hihi :)

*Sorry kalau typo atau kesalahan lainnya. Thanks :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LovhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang