BAB 7

56 9 0
                                    

"Kok dia ada di sini, Mas?"

Lelaki beralis tebal dengan kaos oblong yang dipadukan seragam Sekolah Menengah Atas yang tidak terkanci itu langsung menghentikan langkahnya saat merasakan nada amarah yang berusaha ditahan dari sang gadis saat melihat seorang pria berdiri di depan makam.

"Sepertinya pembunuh ini tidak mempunyai malu untuk mengunjungi makam korbannya." Rahayu mendesis saat menangkap senyuman terukir di sudut bibir pria yang sangat ia benci. Pandangannya tertuju pada tanggal kematian Lentera, 1 April, bertepatan dengan ulang tahun gadis itu. "Harusnya, yang mati itu anda bukan Kak Tera!" Bentakan itu keluar dari bibir merah klasik gadis dengan jepitan merah terangnya. Tatapan nanar dari netra yang sudah memerah tertuju pada seorang pria dengan tampang acak-acakkan. "ANDA BISA TIDAK, BISA TIDAK BALIKIN KAKAK SAYA YANG SUDAH DI TANAH!" Ayu menarik kerah kemeja dari Mahen. Usianya yang masih terbilang muda bukan kelemahannya untuk memberikan gertakan pada pria yang usianya lebih tua darinya.

"Yayu'!" Arswal mau tidak mau harus menghentikan kegilaan gadis itu. Berkelahi di makam Lentera akan menganggu ketenangan dari sang pemilik makam.

"Blok Selatan seorang pembunuh yah?" desis Ayu.

"Kamu sudah besar yah." Hanya itu kalimat yang dikeluarkan Mahen. Usia Rahayu 5 tahun saat ia menginjakkan kaki di istana Lentera. Anak balita yang berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya untuk memeluk kakinya kini berganti menjadi gadis remaja yang tidak segan untuk mencengkram lehernya.

"Mas, suruh dia pergi." Awal masih menahan daksa dari gadis itu dengan mencengkram kedua lengan Ayu. "Gue muak liat mukanya."

Arswal menghela napas. Menatap sang paman kecil yang melemparkan senyuman kepadanya. "Mas Mahen bisa pergi?" Hanya itu yang dapat Awal harapkan bila Mahen mengerti. Ia mengerti, bila Mahen tidak bisa jauh dari Tera. Namun kali ini, Mahen harus melindungi dirinya sendiri sebelum dikirim ke Neraka oleh gadis ini. Tanpa kata, Mahen mengangguk dan meninggalkan tempat peristirahatan terakhir tersebut.

Aku pergi dulu, Tera.

Sebentar.

.
.
.

"Om mau?" Pria itu refleks berbalik saat suara gadis remaja mengisi pendengarannya. Gadis remaja dengan surai panjang yang dikepang satu itu tersenyum ke arah Mahen sembari memberikan bungkusan vitamin dengan rasa stroberi. "Cuaca April lagi gak baik-baik aja, Om. Om jaga kesehatan yah." Mahen diam. Merasa deja vu dengan semua ini. Gadis remaja dengan seragam Sekolah Menengah Pertama itu berhasil mencuri memori Mahen. Mengingatkannya tentang Lentera. Lentera yang sangat menyukai warna merah jambu seperti tas ransel milik sang gadis. "Yaudah, Om. Chaca ke sana dulu yah, dipanggil Iyan!" Setelah mengatakan hal tersebut gadis itu langsung berlari menuju seorang lelaki berseragam acak-acakkan yang menunggunya daritadi. Mereka saling melempar senyum, dan berlari-larian menyusuri jalanan.

Mengingatkan Mahen kembali saat bersama Lentera.

Mahen tidak suka stroberi, tapi saat Lentera hamil selalu memakan buah tersebut.

"Aku ingin anak perempuan, Mahen. Akan ku beri dia nama Natasha bila ia terlahir. Natasha Dandelions Yundawa!" Itu suara Lentera yang sedang bersandar di sandaran sofa sembari memakan sebaskon stoberi di pangkuannya. Tak lupa dengan Mahen yang menyeruput kopi hitamnya sembari memperhatikan setiap pergerakan dari gadis itu. "Kalau laki-laki?" Pandangan Tera tertuju pada sang kekasih. "Nama apa yang cocok untuknya?"

Mahen terdiam, seakan berpikir. "Bryan Yundawa." Hanya itu yang terlintas dipikirannya.

Tera mengangguk-ngangguk. "Kau tau, aku sudah membeli beberapa pakaian dan barang-barang berwarna pink untuk anak kita."

Mahen terkekeh. "Bagaimana kalau laki-laki?"

"Simpan saja untuk adiknya kelak."

"Memang kau ingin anak berapa dariku, Tera?"

"Aku ingin melahirkan 7 bidadari, supaya Mahen akan menjadi satu-satunya pangeran dalam hidupku."

"Kalau begitu aku hanya ingin Lentera."

Mahen menghembuskan tawanya. Semua impian yang disusun Tera-nya musnah karena kecelakaan itu. Ia tidak pernah menyalahkan Rahayu atas malam ulang tahun gadis itu. Tapi mengapa adik sepupu dari perempuan yang ia cintai sangat membencinya?

Dia memang gagal melindungi Lentera.

.
.
.


Ayu menatap nanar cumi goreng yang disajikan oleh Awal. Gadis bersurai panjang dengan lipstik merah klasiknya tersebut seakan tidak yakin dengan rasa masakan yang sudah disuapkan oleh Awal ke arah mulutnya. "Aaaa...," perintah lelaki yang masih memakai celemek tersebut. Mau tidak mau sang gadis membuka mulutnya perlahan walaupun terkesan ragu. "Nah, kunyah. Enak?" Ayu tidak menjawab. Gadis itu masih sibuk menganalisa rasa dari masakan sang lelaki.

"Not bad." Gadis itu langsung mengambil garpu dan menusukkan cumi goreng tepung tersebut. Lalu memakannya kembali bersama nasi putih yang ada di piringnya.

Arswal menggulum senyumnya. Rahayu tidak pernah memujinya, tapi gadis itu tidak pernah menolak ataupun menghina secara langsung usaha yang dilakukan oleh dirinya. Gadis itu punya cara tersendiri untuk menghargainya. Walaupun orang-orang selalu berkata, bahwa Rahayu hanya memanfaatkannya.

"Makasih, Yu."

"Hm?" Ayu yang masih fokus pada makanannya langsung menatap lelaki di depannya. "For what, Mas?"

"Everything."

Ayu langsung mengerutkan keningnya. "Aneh lo." Gadis bersurai panjang itu kembali melanjutkan makannya, tanpa memperdulikan Arswal yang masih menatapnya.

"Hmm... Memang."

Gadis dengan lipstik merah klasiknya itu langsung menghembuskan tawanya, tawa yang kemudian menjadi sangat keras. Menertawakan hal yang tidak masuk akal dari lelaki itu adalah kebiasaan yang tanpa sengaja melekat. "Lo gila sih, Mas." Tawa gadis itu semakin terdengar nyaring saat Arswal juga ikut tertawa karena melihat senyuman yang selama ini ditahan oleh gadis itu.

"Receh." Awal menatap Ayu yang menghabiskan cumi goreng itu dengan saksama. "Selamat ulang tahun, Yu."

Ayu berdesis, "Gue boleh ulang tahun 3 April aja sama kek Ulfi?"

"Mau rayain di LA sama Ulfi?"

.
.
.


FATED: MAYBE, IN ANOTHER LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang