Pintu lift tertutup, sengaja kulepaskan genggamanku. Memang begini 'kan maunya? Oke, akan aku kabulkan.
Lagipula aku masih kesal. Nia selalu saja membahas soal malam pertama yang tak sengaja terjadi itu, bahkan dengan seenaknya dia menampar dan menganggapku seorang player. Fine! Akan aku tunjukkan seperti apa player itu!
Dan soal ciuman malam itu, huh! Bisa-bisanya dia mengelak dan berdalih sedang pingsan. Padahal jelas-jelas dia juga menikmatinya dengan mata tertutup. Lama-lama aku capek! Lebih baik semua kembali ke perjanjian awal saja.
Saat pintu lift terbuka, aku berjalan lebih dulu meninggalkan Nia yang masih berdiri mematung. Apa yang dia pikirkan? Aku coba tak mau peduli. Tapi ... tetap saja aku tak tega meninggalkannya.
Haish! Benar 'kan, perempuan hamil itu menyusahkan. Aku berbalik dan secepat kilat kutarik Nia keluar lift yang hampir menutup kembali.
"Kamu mau kejepit? Hah!" omelku saat sudah di parkiran basemen.
Tumben Nia nggak melawan? Biasanya langsung ngajak perang. Kenapa dia?
"Ck, ayo pulang ke rumah Mama. Aku nggak mau nanti Mama udah pulang kita belum sampai."
Lagi, aku meninggalkannya dan berjalan sendiri menuju mobil. Nia masih diam dan menunduk. Bodo amat lah!
Aku langsung masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Tapi, Nia masih diam saja. Apa sih maunya?
Terpaksa, aku harus keluar lagi dan langsung menggendong Nia masuk ke dalam mobil.
"Rakhaaa! Lepasin!"
Hh, teriakannya tak akan membuatku berhenti sampai aku dudukkan Nia di bangku penumpang depan.
"Diem!" bentakku.
Good! Nia langsung kicep. Selesai memakaikan sabuk pengaman, aku membanting pintu lalu masuk ke mobil dan mulai tancap gas.
Di perjalanan, aku tahu Nia sedang menangis dalam diam. Aku bisa melihat gerakan tangannya mengusap air mata.
"Nggak usah cengeng! Kamu sendiri yang minta diginiin. Aku udah coba baikin kamu, tapi kamu nggak mau. Ya udah, begini 'kan mau kamu?"
Aku menoleh sekilas, Nia masih menghadap ke jendela. Menangis lagi? Ah, biarlah. Terserah. Aku capek!
Lebih baik aku fokus menyetir biar cepat sampai. Karena aku harus balik lagi ke rumah sakit untuk donor. Aku nggak mau nanti saat diukur tensi, tekanan darahku malah naik gara-gara meledani sikap Nia yang labil.
Sesampai di rumah Mama, aku dan Nia disambut oleh Bi Inah yang antusias. Aku yakin, Mama pasti sudah menelepon orang rumah untuk menyiapkan semuanya.
"Kamarnya udah Bibi beresin, Mas Rakha, silakan langsung istirahat."
"Makasih, Bi."
Setelah berpamitan dengan Bi Inah, aku langsung naik ke lantai dua. Lagi-lagi Nia masih diam mematung di ruang tengah.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? Mau aku gendong lagi?"
Nia langsung menggeleng dan berjalan menaiki tangga. Kudengar langkah Nia mengekor di belakangku sampai masuk ke kamar.
"Kamu istirahat. Ingat kata dokter, kamu harus bedrest. Jangan sampai aku lihat kamu ngerjain sesuatu. Paham?"
Nia mengangguk mengerti. Bagus! Setelah meletakkan tas Nia, aku bersiap berangkat lagi ke rumah sakit. Tapi, baru dua langkah, Nia memanggilku.
"Rakha!"
Aku berbalik, Nia menunduk.
"Aku ... aku minta maaf."

KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBOW CAKE ✔️
RomansaRakha dan Raynia sepakat untuk menikah demi kepentingannya masing-masing. Namun, pernikahan pura-pura yang mereka jalani nyatanya tak semudah yang mereka tulis dalam perjanjian.