Chapter 18 : Ludwig

122 17 12
                                    


L'amour, c'est quand le bonheur de l'autre personne est plus important que le vôtre.

"Cinta adalah ketika kebahagiaan orang lain lebih penting daripada kebahagiaanmu sendiri."



Dua bulan yang lalu...

Aku melihatnya datang. Sesuai dengan pesan yang dia kirimkan padaku, dia akan datang menjemput adik-adiknya. Di surat itu juga tertulis dia tidak ingin melihatku. Jadi aku tidak turun ke ruang tamu untuk menyapanya atau sekedar melihatnya dari dekat. Sebagai gantinya, aku menugaskan Wilhelm dan Heinrich untuk menyambutnya. Biar bagaimana pun, dia sekarang sudah menjadi Grand Duchess. Kami berkewajiban menyambut kedatangannya.

Constanza hanya datang sebentar, hanya untuk menjemput tiga adiknya kemudian langsung pergi kembali ke Schiereiland. Aku melihat kereta kudanya meninggalkan kediaman kami. Aku bisa saja berteleportasi, menghentikan kereta kudanya dan memintanya untuk tidak pergi. Tapi itu tidak kulakukan. Aku tahu dia membenciku.

"Kakak, ada tamu." Heinrich mendatangiku di kamarku.

"Bukankah tamunya baru saja pergi?"

"Bukan wanita itu. Tamunya berpesan bahwa aku tidak boleh memberitahu kakak siapa dirinya. Tamu itu hanya berpesan bahwa dia menunggu di ruang kerja kakak."

Ini tidak bagus. Tidak ada orang yang kukenal—selain Constanza—yang mengetahui tempat tinggal kami di daerah perbatasan ini. Aku sengaja membeli mansion di daerah terpencil untuk saat-saat seperti sekarang, agar tidak ada yang bisa melacak keberadaan kami bertiga. Bahkan ibu sekalipun tidak tahu tentang mansion ini. Jadi seharusnya tidak ada tamu selain Constanza.

"Di mana Wilhelm?"

"Dia langsung lari dan bersembunyi di kamarnya begitu melihat tamu itu."

"Tetap di sini. Jangan keluar. Jika aku tidak kembali, maka turuti semua perkataan Wilhelm dan jangan menentangnya. Mengerti?"

Heinrich mengangguk patuh.

Aku segera berlari menuju lantai bawah tanah, tempat ruang kerjaku berada. Dugaanku benar. Tamu itu adalah Xavier.

Dia duduk di tempat dudukku, membaca kertas-kertas hasil pekerjaanku, hasil penelitianku, seolah itu semua adalah miliknya. Sejak dulu, semuanya adalah miliknya. Istana adalah miliknya. Ayah kami adalah miliknya. Mahkota yang sekarang sedang tidak dia kenakan, itu juga miliknya. Dia berhak atas segala sesuatu di dunia ini sedangkan aku tidak.

"Kenapa ada banyak sekali cincin di sini?" Tanyanya sambil mengamati penemuan terbaruku. Hasil percobaanku yang baru selesai. Dia mendongak menatapku setelah beberapa saat aku masih belum menjawabnya. Dia sangat mirip dengan ayah kami sampai-sampai aku mau tak mau terkejut setiap kali menatapnya. Seolah aku sedang menatap ayah. Dan hal itu otomatis membuatku menjawab pertanyaannya.

"Itu cincin transformasi. Aku menjadikan sihir transformasi ke bentuk sebuah cincin sehingga orang yang bukan penyihir pun dapat menggunakan sihir transformasi tanpa mempelajarinya."

"Orang yang bukan penyihir bisa membayar jasa penyihir untuk penggunaan sihir transformasi. Apa kelebihannya dibanding menggunakan jasa penyihir?"

"Sihir transformasi biasa akan hilang jika nama asli orang itu disebut. Tapi cincin transformasi tidak seperti itu. Untuk kembali ke rupa asalnya, pemakai cincin transformasi hanya harus melepas cincin itu."

"Apakah harus memakai cincinnya? Apa tidak bisa jika hanya dipegang saja?"

"Bisa. Yang terpenting cincin itu harus menyentuh kulit."

Lotus of East PalaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang