Chapter 5

91 17 105
                                    

"Kenapa harus malu? Yang seharusnya malu itu perempuan yang dengan sengaja mengumbar auratnya."

Akhtar.

// About Readiness //

Setelah melaksanakan salat Zuhur, Ayra segera melipat sajadahnya, lalu menaruhnya ke tempat semula. Kemudian langsung keluar dari kamar tanpa membuka mukenanya lebih dulu.

Baru saja kakinya hendak menginjak anak tangga pertama, tetapi gadis itu tiba-tiba saja tertarik ke belakang, dan refleks sebelah tangannya memegang pegangan tangga sehingga dia tidak tersungkur ke belakang. Jantungnya berpacu dengan kuat lantaran masih terkejut.

"Kak Al ngapain, sih? Main tarik-tarik, aja. Kalau tadi aku jatoh gimana?" tanya Ayra sangat kesal.

"Ya, nggak gimana-gimana. Palingan lo encok," canda Al sembari tertawa setelah mendapat pelototan dari Ayra. "Lagian lo, sih. Ngapain coba jalan cepet-cepet kayak gitu? Kayak mau berebut sembako aja," lanjut Al, seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aku mau ke rumah Kak Akhtar, mau ketemu Tante Fiya buat setor hafalan. Udah, aku pergi dulu, Baaay!"

"Woi, Cil. Makan dulu!"

Teriakan membahana dari Al sama sekali tidak diindahkan oleh Ayra. Gadis itu justru berlari kecil menuruni anak tangga, tetapi lagi-lagi langkahnya harus berhenti saat dia berhadapan dengan Adit yang akan menaiki tangga.

"Makan dulu, Ra!" titah Adit. Sepertinya Adit mendengar teriakan Al dari lantai atas, pikir Ayra.

"Nanti aja, Bang. Lagian aku bisa makan di rumah Tante Fiya, kok," ujar Ayra sembari menyengir.

"Kenapa harus makan di rumah orang lain, kalau makanan di rumah kamu sudah siap? Abang nggak akan ngijinin kamu pergi, kalau kamu nggak makan dulu."

Ayra mendengkus kesal, tetapi tetap mengikuti perintah Adit. Jika yang menyuruhnya, Al maka dengan berani gadis itu akan membantah, tetapi ini Adit, Abang yang dia segani.

"Bang Adit!"

Adit yang baru saja akan melangkah, seketika berbalik saat Ayra memanggilnya. "Kenapa?"

"Aku makan sekarang, tapi nanti malem Bang Adit harus traktir aku makan es krim, gimana?" tanya Ayra menawarkan kompensasi.

"Iya."

Ayra bersorak senang, kemudian berjalan semangat menuju meja makan. Karena tidak ingin membuat Fiya menunggu terlalu lama, Ayra cepat-cepat menghabiskan makan siangnya. Setelah menaruh piring juga gelas bekasnya makan ke wastafel, gadis itu lalu berjalan cepat menuju rumah Fiya.

Saat tiba di sana, Ayra segera mengetuk pintu dan mengucap salam. Namun, sudah satu menit dia menunggu, tetapi pintu itu belum juga terbuka. Bertepatan setelah dia mengucap salam untuk ketiga kalinya, suara Akhtar tiba-tiba terdengar dari arah belakang.

Sontak saja Ayra menoleh sembari tersenyum lebar. "Kak Akhtar!"

"Masuk aja, Ay. Ummi lagi sibuk di dapur, pasti suara kamu nggak kedengaran. Oya juga lagi tidur, jadi nggak bisa bukain pintu," jelas Akhtar setelah tiba di samping Ayra.

Setelah Akhtar membuka pintu dan masuk lebih dulu, barulah Ayra juga mengikut dan berjalan di belakang Akhtar. Kedua mata bulatnya menatap lekat punggung tegap Akhtar. Andai kelak punggung ini yang aku lihat setiap saat setelah salam dalam salat, mungkin aku adalah salah satu orang paling bahagia di dunia ini, batin Ayra sembari tersenyum tipis.

About ReadinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang