jujur

1K 79 4
                                    

GARA-GARA OPEN BO
07

Hah! Hah! Haaaah!

"Nggak bau," ucapku saat mengembuskan napas pada telapak tangan beberapa kali.

Ish menyebalkan. Orang mulutku tidak bau. Aku menggerutu. Mengambil air, lalu berkumur lagi. Ini sudah terhitung ke 5 kalinya aku menggosok gigi, sampai kurasakan gusi ini perih akibat gesekan yang terlalu kuat.

"Lama nggak sih di dalam? Saya mau mandi!"

Aku mendelik ke arah pintu, di mana teriakannya sejak tadi kuabaikan. Bibirku mengerucut kesal, begitu ingat ucapan menyebalkannya tadi malam. Perempuan mana coba yang tidak sakit hati, saat ada yang menyinggung hal berbau sensitif. Apalagi dikatain oleh lawan jenis. Langsung meleyot kan rasa kepercayaan diri.

Seumur-umur belum ada tuh yang mengatakan napasku bau. Mau Bapakku. Tetanggaku--Teh Mia Bahkan mantanku sekalipun.

Ngomong-ngomong soal mantan, Kak Diran apa kabar ya? Hampir mau setahun setengah kayaknya dia belum pulang kampung ke sini.

Hmmm.

Entah kenapa aku jadi kangen. Dosa tidak sih kangen sama mantan? Secara dia baik banget. Mana sabar lagi orangnya. Sudah gitu tidak kalah keren dengan Ustaz Alkaf. Paket komplit pokoknya.

Coba saja waktu itu Bapak tidak mencari gara-gara sama orang tuanya, mungkin hubungan kami sudah sampai ke jenjang pernikahan. Terhitung hubungan kami yang lumayan lama, mungkin aku sudah punya anak yang gemoy-gemoy. Aku membayangkan sembari mengulum senyum.

"Kaira!!! Saya dobrak sekarang!!" Ancamnya, melemparkan lamunan indah ini ke alam nyata. Lalu buru-buru mengambil wudu.

"Iya, bawel!"

"Kamu kira ini kamar mandi nenek moyangmu. Sedikit lagi saya terlambat kalau kamu tahu," protesnya saat aku membuka pintu. Dia berdiri, melipat kedua tangan. Dan handuk melingkar di pundaknya.

Aku memutar bola mata. Terserah.

Aku melewatinya begitu saja. Malas berdebat. Kemudian mengambil tas berisikan sejadah dan mukena untuk kutunaikan kewajiban subuh ini.

Banyak sekali agendaku pagi ini. Selain menyerahkan uang pada Juragan Salim, aku juga harus kembali ke kontrakan. Mengambil beberapa pakaian, kemudian mencuci piring. Membersihkan kamar yang awut-awutan, karena aku anaknya semalas itu. Apalagi semenjak kepergian Bapak. Pekerjaan rumah terbengkalai begitu saja. Intinya sesukanya. Karena mengerjakan pekerjaan itu harus dengan hati bukan? Terkadang Teh Mia akan mengomel panjang kali lebar melihat kemalasanku. Tapi ujungnya dia juga kan yang bantuin. Sebaik itu memang tetanggaku Ibu satu anak ini.

Berhubung karena aku anak tunggal dan hidup sendiri. Maka saat ada orang sebaik dia, aku merasa dia bukan hanya sekadar tetangga, melainkan rasa saudara.

Kira-kira Teh Mia lagi apa ya? Biasanya jika pagi buta begini, kami akan berjalan kaki santai sambil mencari tukang bubur di pinggir jalan.  Lalu mengobrol sampai matahari terbit.  Sesantai itu memang. Orang bilang katanya sebuah kemalasan yang hakiki. Tapi aku menyebutnya sebuah kerajinan yang tertunda. Ehehe.

Eh iya, aku baru sadar kalau belum mengabarinya dari kemarin. Pasti sekarang Teh Mia lagi panik dan mencariku ke mana-mana. Mana handphoneku mati lagi belum dicharge dari semalam.

"Dari saya mandi, kamu masih berdiri?" Tiba-tiba Ustaz Alkaf sudah berdiri di belakang, dengan satu alis terangkat. Membuatku kaget.

Ekspresi wajahnya masih sama. Kecut dan dingin.

Kupikir orang yang sudah mandi akan menambah kadar ketampanannya. Tapi sayangnya tidak kutemukan pada dirinya. Yang ada tingkat kekecutannya semakin menambah.

"Salat atau saya salati?!"

Apa sih main ancam! Aku mendengkus.

"M-mau kok," jawabku sebal, lantas memakai mukena. Menyegerakan salat yang tertinggal. Tak peduli dengan ekspresinya  yang berdecak kesal.

       Tepat pukul setengah 07 pagi, kami sampai di  rumah Ummi. Tidak ada siapa-siapa yang menyambut kami di depan, karena memang kebetulan di rumah hanya ada Ummi dan Abah.

Turun dari mobil.  Aku mengekor dari belakang saat Ustaz Alkaf berjalan lebih dulu, mengitari halaman rumah. Lalu masuk melalui ruang tengah yang luas, berbelok masih melewati lorong. Sebenernya entah mau dibawa ke mana diri ini, sampai langkahnya yang lebar sulit sekali kujangkai. Menyebalkan.

Tiba di ruang makan. Tatapanku malah terpaku pada bingkai foto keluarga Ummi lengkap dengan cucunya. Perempuan berkerudung salem yang menggendong bayi mungil itu adalah putri pertama Ummi--Mbak Reika. Seorang designer terkenal di daerah Jakarta. Karena hasil tangan ajaibnya, banyak sekali artis ibu kota yang menjadi pelanggannya. Keren sih. Pantes Ummi pakaiannya bagus-bagus.  Aku yang sebagai followers-nya di IG dan remahan rengginang hanya bisa meneteskan air liur, kagum dengan setiap karyanya.

Kapan ya bisa seperti beliau?

"Dek Kaira kenapa di sana? Ayo, kita sarapan dulu." Aku menoleh ketika Ummi memanggilku dengan mukena yang masih dikenakannya. Sementara Ustaz Alkaf sudah lebih dulu duduk di kursi dengan ekspresi tak peduli.

"I-iya, Mi." Aku segera mencium tangannya. Lalu bergantian pada Abah yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

"Ambil lauknya yang banyak. Ummi sengaja suruh Mbak Yuni supaya masak pagi buta. Jangan sungkan," katanya saat aku duduk. Dengan tangan gemetar, aku mengambil beberapa lauk yang ada di depan saja. Sebenarnya aku ingin sekali mencoba semua menunya, tapi begitu sadar ini di rumah mertua, aku tidak mungkin menampakkan kerakusanku. Malu yang ada. Ditambah bisa-bisa lelaki di sampingku akan mem-bully habis-habisan.

"Aw ...! " Aku meringis saat tak sengaja, saat potongan bakwan jagung mengenai gusiku yang lecet.

"Kenapa, Dek Kaira?" Abah dan Ummi bertanya beriringan. Keduanya tampak khawatir.

"A-anu itu gusi saya lecet. Tadi sikat giginya beberapa kali," ucapku sejujurnya.

"Kenapa harus beberapa kali? Bukannya sekali saja cukup?" tanya Ummi heran.

Aku melirik ke arah Ustaz Alkaf. Entah kenapa, naik pitam sudah melihat gelagatnya yang so' merasa tidak bersalah.

"K-karena katanya mulut Kaira bau!" Tanpa sadar aku mengadu.

Ummi melirik sebentar pada putranya, kemudian menatapku sambil mengulum senyum.

"Memangnya siapa sih yang tega bilang Dek Kaira bau?"

Lagi-lagi tanpa sadar aku berdecak.

"Siapa lagi kalau bukan Ustaz Alkaf. Padahal mantan Kaira tidak pernah tuh, bilang kalau Kaira  bau mulut," ungkapku.

Dan detik kemudian, suasana menjadi hening.

GARA-GARA OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang