03

90 11 0
                                    

Stadium dua.

Vonis dokter membuatku lemas dan mataku mulai memanas. Bagaimana bisa aku tidak sadar akan hal ini ?

"Tubuh kamu sensitif Rosa, beruntungnya tubuh kamu ini mendeteksi kejanggalan di stadium awal. Biasanya penderita kanker itu merasakan gejala di stadium tiga."

"...saya turut bersyukur atas karunia Tuhan pada tubuh kamu. Jadi kita bisa mendeteksi penyakit dan ngasih penanganan sedini mungkin."

"Tapi saya bisa sembuh kan, dok ?" tanyaku menahan tangis.

Dokter Juniar menghela nafas didepanku. "Kebanyakan orang yang mengidap kanker ginjal dan diketahui di stadium dua ini, persentase sembuhnya lebih tinggi. Akan lebih baik kalau orangnya punya semangat sembuh. Tapi sekali lagi, kami sebagai dokter hanya bisa melakukan yang terbaik atas dasar kemanusiaan, Rosa. Untuk rezeki dan ajal tetap ditangan Tuhan."

Aku mengangguk dan berusaha tersenyum walau bibirku terus bergetar. Aku butuh Bayu sekarang, tapi aku tak ingin Bayu tau hal ini.

"...saya akan resepkan obat untuk kamu, kita lihat respon tubuh kamu, kalau memang merespon dengan baik, bisa kita lanjutkan terapinya, ya ? Kuncinya kamu harus tetap semangat!" dokter Juniar mengangkat tangannya ke udara. Berusaha menyalurkan semangat lewat kata-katanya.

Dokter Juniar, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dariku. Tapi entah kenapa rasanya seperti teman sebaya. Dia selalu memberiku semangat, seperti kemarin kala aku melakukan tes laboratorium. Dokter muda ini mengusap rambutku beberapa saat.

Baik Rosa. Tugasmu hanya tetap semangat dan simpan masalahmu sendiri. Seperti biasanya.

.

.

.

.

.

"Rosa, ayo jujur ke ibu. Kamu ke rumah temen atau ke rumah sakit setiap Sabtu ?" suara ibu diruang makan membuatku membeku.

"Aaaa,itu..."

"Jujur nak, kamu sakit ?"

Aku menghela nafas, "haaaah,,maaf ya Bu. Rosa, sebenernya nengok temen SMP Rosa. Udah lama lost kontak, tiba-tiba dikabarin anak kelas lain, dia sakit kanker." dustaku.

"Tapi ibu liat kamu nggak pernah bawain apa-apa buat dia,,"

Mati aku!

"Ya, Rosa kan mana tau apa yang boleh dan yang nggak boleh. Jadi Rosa seringnya bawain dia novel bacaan. Nih." aku mengeluarkan satu buah novel yang baru aku beli dua hari lalu bersama Bayu. Itu kulakukan agar ibu percaya.

Lagi-lagi aku bohong. Itu novel yang rencananya akan aku baca ketika menunggu dirumah sakit.

"Ya bawain brownies atau kue kering buat keluarganya. Kan kamu tinggal ambil di toko. Mana tau juga ada dokter atau perawat yang dateng, kan bisa ditawarin juga." suruh ibu padaku.

Semuanya hanya kuangguki seperti biasa.

Aku baru ingat kalau aku tidak bisa bohong pada supirku. Aku yakin laporan itu datang darinya. Tak apa, ibu masih percaya padaku untuk saat ini.

_________________

"Lo yakin nggak mau cerita ke Bayu aja ?" tegas Lecia padaku. Aku menggeleng.

"...sampai kapan ?" tanyanya lagi.

Aku menatapnya lurus. Sebenarnya aku tidak yakin untuk ini. Aku takut Bayu tahu kabar ini bukan dari aku, dan ia pergi karena marah. Sungguh aku tak ingin itu terjadi.

Tapi Bayu sedang dalam masa sibuknya. Pun sama denganku, kami tengah menghadapi fase sibuk mahasiswa yang dinamakan skripsi.

"Dia baru skripsi belum lagi wisuda, aku takut ganggu fokusnya. Apalagi setelah lulus dia mau kerja di perusahaan ayahnya, pasti butuh penyesuaian." jelasku pada temanku yang satu ini.

Dia, Bayu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang