Telah sebulan berlalu sejak Shaka mengungkapkan perasaannya pada Natha. Tidak ada yang berubah selain mereka yang semakin hari semakin dekat.
Ancaman yang diberikan Arga terakhir kali tidak berdasar sama sekali. Sampai sekarang, Natha tak mendapatkan hal aneh sedikitpun. Arga tak membuktikan ucapannya sampai Natha menyadari bahwa saat itu Arga hanya mengancamnya.
Tak seharusnya Natha ketakutan, tak seharusnya Natha membuang-buang waktu untuk memikirkan ucapan Arga. Faktanya cowok itu telah benar-benar jauh darinya. Tak ada sekalipun Natha bertemu dengan Arga setelah berakhirnya hubungan mereka.
Mungkin, Arga telah bahagia dengan selingkuhannya.
Natha tak masalah dengan itu. Justru ia senang karena Arga tak mengganggunya dan membiarkannya hidup tenang. Natha sadar bahwa bersama Shaka, ia lebih dari sekedar bahagia. Natha pikir ... ia telah menyukai Shaka sebagaimana cowok itu menyukainya?
Ah, entahlah. Natha tak pernah benar-benar yakin pada perasaannya sendiri. Semuanya terlalu abu-abu, meskipun setiap kali Shaka melakukan hal romantis padanya, Natha selalu merasa berdebar. Hanya saja ... Natha masih meragukan perasaan Shaka padanya.
Ia menatap pantulan dirinya yang ada di depan kaca. Matanya meneliti dirinya sendiri dari atas kepala sampai ujung kaki. Kerutan heran muncul di wajahnya. Apa yang Shaka sukai darinya? Apa hal dari dirinya yang membuat Shaka tak mirip gadis lain?
Bagi Natha, ia terlampau biasa saja. Jika berbicara tentang fisik, masih terlalu banyak gadis yang lebih cantik darinya dan mengagumi Shaka. Jika berbicara tentang sikap, bukankah justru Shaka akan kesal dengan segala sikap merepotkannya? Lalu, kenapa Shaka sampai menyukainya? Apa hal dari dirinya yang bisa dijadikan alasan? Tidak ada. Tidak ada sedikitpun hal menarik dari dirinya. Natha tak punya kelebihan apapun, kecuali mulut yang selalu mencerocos dan lemak di pipi.
Natha mendengkus, ia berjalan mundur, lalu duduk di pinggir kasur seraya merenung. "Jadi, ini bisa disebut anugrah atau musibah?" tanyanya pada diri sendiri.
"Seneng sih ditaksir sama Shaka, tapi ... emang dia beneran naksir gue?" Natha menggigit kuku-kuku jarinya setelah merebahkan badannya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar selagi berpikir. "Kalau gue ditembak Shaka, gue pasti terima dong? Siapa juga yang gak mau dapat cowok kaya Shaka?"
Mendadak kekehan terdengar darinya. "Gue juga bisa sekalian manfaatin dia," ujarnya asal. Lantas cepat-cepat memukul mulutnya sendiri saat menyadari apa yang baru saja ia ucapkan. "Astaga! Gak boleh kaya gitu."
Natha lanjut berpikir, sampai kantuk mendatanginya, dan tak lama, kesadarannya telah hilang sepenuhnya.
•••
Malam ini, Shaka mengajaknya keluar untuk membeli jajanan pinggir jalan. Kebetulan cowok itu memilih memakai motornya yang lama tidak dipakai.
Keduanya sedang berada di perjalanan pulang ketika Natha merasakan ada air yang menetes dari atas sana. Cewek itu mendongak, lalu melihat gerimis yang mulai datang membasahi kota.
Tangannya menepuk bahu Shaka kencang, "Shaka! Ini mau hujan deh kayanya, gerimiss," ucapnya.
"Iya," balas Shaka singkat. Lantas cowok itu menepikan motornya di sebuah ruko yang sudah tutup.
Natha dengan lekas turun dari motor Shaka, lalu berlari untuk melindungi dirinya dari gerimis.
Sesaat setelahnya, hujan turun dengan deras, membasahi kota Bandung yang beberapa hari terakhir ini tidak didera hujan. Natha memeluk badannya sendiri yang hanya memakai kemeja yang sedikit basah karena terkena air hujan.
Natha tersentak saat merasakan ada jaket yang melingkupi punggungnya. Ia menoleh cepat, menatap Shaka selalu orang yang baru saja memasangkan jaket itu pada Natha. "Ngapain? Gak perlu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake✔️
Dla nastolatkówBagi Arshaka, hanya ada dua perempuan yang menjadi prioritas di hidupnya. Pertama adalah ibunya, dan kedua adalah Zeanatha Aileen. Bagi sebagian orang di kampus, Natha adalah cewek paling beruntung. Memangnya siapa yang bisa membuat Shaka luluh se...