"Tetapi ini bukan mengenai kisah saya yang payah."
-------Satu dari sekian banyak hal yang terjadi dalam hidup saya. Satu dari sekian banyak hal yang saya cintai dalam hidup saya. Satu dari sekian banyak hal yang saya syukuri dalam hidup saya. Jawabannya adalah, ayah saya.
Tangannya kasar, sangat kasar dan besar. Kulitnya gelap, terlalu rela dipanggang mentari tiap harinya. Ubannya banyak, bukti nyata bahwa waktu memang berjalan terlalu cepat. Posturnya tinggi dan kurus, begitu kata teman-teman saya. Kalau makan bisa sangat banyak nasinya. Kalau melihat anaknya bosan, membelikan jajan untuk si anak ialah hobinya. Saya masih ingat kalimat legendarisnya yang terlalu sering diucapkan kepada saya.
"Mau beli jajan?"
Saya sering menjawab, "Nggak, ah."
Dia juga selalu tidak menggubrisnya, dan kembali bertanya, "Mau apa? Wafer kayak biasa?" Lalu ia melenggang pergi ke warung dengan santai, pulang-pulang selalu membawa satu kantung plastik penuh jajanan.
"Nih," dan saya selalu nyengir kelewat lebar sebagai pengganti ucapan terima kasih.
Ayah saya baik, terlalu baik mungkin. Terkadang galak juga, sih. Kalau sudah marah, bukan hanya omelannya yang menyeramkan. Raut wajahnya saja sudah seperti memancarkan energi-energi kegelapan.
Ayah saya perhatian, sangat perhatian. Kalau saya belum makan atau bahkan malas makan, ayah saya pasti akan menggelar sesi ceramah dadakan yang malah punya kesan lucu. Karena ya itu, mukanya tertekuk, dan cara bicaranya cepat seperti rapper kenamaan dunia. Bayangkan saja, bagi saya sih itu lucu. Tetapi, semua itu pasti ditutup dengan kalimat tanyanya yang lembut, "Mau mie ayam?" Lalu saya akhirnya makan mie ayam dengan gembira.
Ayah saya pria bertanggung-jawab. Sangat dan amat bertanggung-jawab. Rasanya beliau adalah satu-satunya pria yang pernah saya lihat bisa sekonsisten serta sebertanggung-jawab itu. Bahkan terkadang saya berpikir, kalau saya melihat ada laki-laki di jalan yang punya pegangan kelewat kuat atas semua tanggung jawab yang dipunya seperti ayah. Mungkin akan langsung saya lamar di jalan tanpa tedeng aling-aling.
Ayah saya orang baik. Tapi apakah kalian ingat mengenai pandangan legendaris tentang, "Kenapa orang baik sering meninggalkan dunia lebih cepat dari yang lain?" Katanya sih, supaya para orang baik itu tidak terlalu lama berdiam diri di dunia yang jahat ini. Supaya mereka bisa cepat kembali ke rumah Tuhan, karena Tuhan sudah rindu berat. Jauh lebih berat ketimbang rindu Dilan kepada Milea sang pujaan hati.
Nyatanya, ayah saya termasuk ke golongan mereka-mereka itu. Ayah saya pulang ke rumah Tuhan. Saat tahun baru. Pantas saja, sehari sebelumnya ayah membombardir saya dengan tanya.
"Kamu mau apa? Gak mau apa-apa? Mau beli apa gitu? Ayah belikan."
Saya sudah menjawab, "Nggak mau apa-apa." Anehnya, ayah terus dan terus bertanya begitu di hari itu. Terus, tanpa akhir. Senantiasa diulangi lagi dan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Jiendra! | Park Jisung
Hayran KurguSatu dari sekian banyak hal yang terjadi dalam hidup saya. Satu dari sekian banyak hal yang saya cintai dalam hidup saya. Satu dari sekian banyak hal yang saya syukuri dalam hidup saya. Jawabannya adalah, ayah saya. Nama saya Nata, tetapi ini bukan...