Melina (2 Maret 1938)

9 7 1
                                    

Terlahir dari keluarga miskin membuat ku tak putus harapan menyusuri jalan terjal dan berliku menuntut ilmu di kota Jombang. Wong cilik ini terus bercicit sepanjang jalan mau berangkat sekolah.

Hari itu suanasa sekolah tampak asing. Semua siswa SD luntang berkerumun dekat tembok di ujung aula. Apa yang terjadi?

Rasa penasaran menuntun ku menuju sana. Aku heran Dita dan Bagus juga ikut berada disana. Ada apa ini, kenapa ini, apa yang mereka lakukan ? Beribu pertanyaan muncul di benakku.

Aku terdiam melihat teman ku Yohana 'anaknya kepala sekolah' berdarah kakinya, Karna berlari tidak memakai sepatu sehabis olahraga.

" Hai, dikau kenapa?" Teriakku

"Jangan banyak tanya kau, cepat tolong aku, bantu aku berdiri" omelnya

Kupatuhi ucapnya, ku bantu dia berdiri. Seragamnya lusuh, kakinya kotor, lututnya bercucuran noda bewarna merah.

Mataku melongo melihat kakinya.
" Hai ayo kita ke UKS!" Ujarka sambil memapahnya.

"Tidak usah bawa saja aku ke WC, akan dibersihkan luka ku sendiri, jangan manja kau, apa-apa harus ke UKS, kapan kau mau mandiri?"

"Apa kau bilang? Aku manja? Hai asal kau tau aku hanya khawatir kau kenapa-kenapa, aku takut kalau nanti kaki mu itu berjamur Karna tidak diobati dengan benar, bisa bisa merengsek pula bapak mu itu, dan dia tutup sekolah kita Karna anaknya tidak mampu pergi sekolah Karna kaki.."

" Ahhh diam kau jangan mengoceh terus, cepat antar aku" tuturnya sambil mengeratkan pegangan tangan nya dileherku.

Setelah mengantar Yohana, aku kembali ke ruang kelas. Tampak anak-anak sudah duduk rapi menunggu pak Ahmad datang. Betapa senangnya hati anak anak disini. Bisa bersekolah seperti mendapat sebuah mukjizat Tuhan bagi kami. Setiap hari orang meninggal, koran koran menampilkan kesadisan, anak-anak merintih kehilangan ibuk bapaknya, tapi disini kami masih bisa bersekolah dengan senyap. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah di di Jombang yang masih berdiri. Semua sekolah telah hancur karena perang.

Bapak ku merupakan seorang prajurit, sehingga aku diperbolehkan bersekolah disini. Tidak semua orang atau anak bisa bersekolah, hanya kalangan elit kerajaan dan atas saja yang bisa bersekolah. Pun anak-anak Belanda .

Walaupun anak pribumi aku tak kalah cantik dengan wanita-wanita asing yang kutemui di daerah ini. Mereka berkulit putih, mata sipit, dan berpostur tinggi Ataupun Noni Noni Belanda.

Banyak anak-anak disini mengira aku bagian salah satu dari mereka Karna mata ku yang sedikit sipit. Padahal tidak. Ayah ku merupakan orang Jombang asli dan ibuku merupakan orang Solo.

Abang ku yang paling besar juga bersekolah disini. Cuma dia sering kali berbuat onar. Bapak sering datang ke sekolah Karna ulahnya. Aku tak tau kenapa Abang ku Sampai sepeti itu.

Dulu dia anak baik. Setelah adik ku yang bayi tertembak saat aku dan ibuk melarikan diri dari solo, dia menjadi seperti itu. Ia menyaksikan langsung proses kematian adik ku Dirjo.

Setelah kematian adik ku itu, 'mas Aryo' Abangku selalu bertingkah aneh dan suka mengamuk. Tingkah nya buakn seperti bocah kelas 6 SD. Padahal kejadian satu tahun silam sudah aku lupakan.

Aku sangat sedih melihat Mas Aryo. Abang ku satu-satunya muslim bertingkah aneh.

Ibuk sering menasehati mas ku. Namun dia sering melawan bahkan membentak ibuk, dan berteriak.

" Engkau jahanam wahai penjajah, bukan hanya kemerdekaan kami, sekarang nyawa adikku kau renggut mati."

Setiap Mas Arti seperti itu aku hanya masuk ke kamar, sambil menyender di balik pintu, bulir bening itu menetes di pipiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

malinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang