𝓣𝓾𝓳𝓾𝓱 𝓫𝓮𝓵𝓪𝓼

1.1K 140 10
                                    

Tidak ada sangkut-pautnya dengan realita kehidupan karakter

Hanya fiksi belaka
.

.

.

.

.

Watanabe Haruto
Kanemoto Yoshinori

.

.

.

.

.

BxB
A/B/O [Omegaverse]
Typo(s)

BxBA/B/O [Omegaverse]Typo(s)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


NINU NINU pls

Jangan salahkan Yoshinori berpikir macam-macam terus menerus tanpa putus seperti acara televisi yang tak kunjung bertemu episode terakhir. Sepanjang kalimat Haruto tadi sore serius menyergap seluruh bagian tubuhnya; otak, jantung, saraf-saraf mini penghantar rasa. Kenapa pula ia merasa kembali menjadi anak remaja yang baru saja mendapat pengakuan dari salah satu pengagum rahasia. Yoshinori berdecak dan dengan ribut menghentakkan kaki menuju dapur.

Barangkali jus jeruk dingin mampu meringankan otaknya dari asumsi-asumsi aneh yang muncul bagai biji padi di musim panen.

Memang belakangan ini pelukan dari Haruto tidak bisa dihitung oleh jari, lalu tangan besar itu kalau Yoshinori ingat pasti tak lepas dari menggenggam tangannya. Oh, belum lagi emosi tanpa kontrol apabila Yoshinori memperlakukan Haruto seperti anak kecil namun sebaliknya adiknya bersikap seolah ia adalah bocah lugu menggemaskan yang butuh banyak proteksi.

Ganjil kelakuannya, tapi Yoshinori bisa luput.

"Kak..."

Buku kuduknu meremang seakan ada pesta dansa besar-besaran. Yoshinori baru ingin membalikkan badan dan secara mendadak Haruto hadir menempel pada punggungnya dengan suara berat yang serak. Ingin marah tentunya karena terkejut bukan main namun, menyadari suhu tubuh tak wajar yang merambat dari tubuh besar Haruto justru menampilkan raut khawatir.

"Kamu sakit? Kepalanya pusing? Haru?" Panik bukan main merasakan napas hangat Haruto menerpa kulitnya, belum lagi saat tubuh mereka saling menempel meski terlapisi piyama dan kaos Yoshinori bisa merasakan panas dari badan adiknya.

Disaat absennya orangtua, bisa-bisanya Haruto jatuh sakit.

"Ayo ke kamar! Jangan begini, badanmu sekarang lebih besar. Ayo, Haru!"

Jadilah kakak beradik itu menaiki tangga menuju kamar si bungsu. Yoshinori tidak jadi minum jus jeruknya, gelas setengah penuh dibiarkan duduk manis di atas meja sampai bulir-bulir air menetes membasahi kayu. Tergopoh-gopoh Yoshinori membantu Haruto berjalan menapaki anak tangga lalu bagaimana adiknya itu terus menempel memeluk lengannya.

Haruto sama sekali tidak langsung mempertemukan punggungnya pada kasur yang empuk, sebaliknya terduduk dengan wajah lesu.

"Sudah. Haru, tunggu di kamar dulu. Aku coba hubungi mama soalnya tidak tahu obat mana yang harus—"

Sumpah. Kalau ada kata-kata yang bisa Yoshinori keluarkan untuk Haruto maka itu adalah sebuah makian. Belum selesai kalimatnya, sudah terkesiap lebih dahulu Yoshinori kala Haruto menarik tanganya sampai mereka sejajar. Cengkraman pada lengan dan bahunya cukup kasar, panas menjalar ibarat percikan api pada aliran kabel listrik.

Napasnya tersendat. Merasa seperti nitrogen yang terjebak di dalam balon. Penuh ingin bebas namun terjebak.

"Kakak..."

Biasanya Yoshinori akan sebal sendiri bagaimana bodohnya pemain film tidak bergerak se-inchi ketika sedang ketakutan padahal ada peluang untuk berlari. Sekarang justru ia merasakan. Terlebih ketika sebutan kakak dari bibir Haruto terlantur seperti kapas tertiup angin, ringan namun sedalam jatuhnya batu yang dilempar di tengah samudra. Alisnya semakin merapat atas respon bagaimana Haruto menelusuri belakang daun telinga sampai perpotonhan lehernya.

Kenapa seakan jiwa Yoshinori terhisap secara suka rela? Dimonopoli oleh sosoknya yang lain.

Lantas ia bawa dirinya tuk kembali. Menatap tajam Haruto yang keadaannya sungguh memprihatinkan. Tergesa-gesa Yoshinori keluar dari ruangan sampai dibantingnya pintu kayu.

Satu-satunya yang terpikir olehnya sekarang adalah menelpon Noa atau Junkyu. Yoshinori yakin yang tengah terjadi pada adiknya. Maka dengan  jemari yang masih gemetar, ia gerakkan pada layar ponsel; mencari nomor Noa atau pun Junkyu—hanya mereka yang bisa membantu Haruto.

Berkali-kali nada menyambungkan menyapa pendengaran si sulung Kanemoto sedangkan tidak ada satupun panggilannya terjawab. Yoshinori hampir menangis karena panik, takut, juga bingung. Tubuhnya jatuh pada sofa depan televesi, badannya diguyur keringat padahal sebelumnya Yoshinori kerap menggosokan kedua telapak tangan, sungguhan ingin menangis rasanya.

●○●○●○●○

Barangkali. Barangkali belum terlambat.

Maka berdirilah Yoshinori di depan pintu kamar Haruto padahal tungkai-tungkainya gemetar luar biasa, kepalanya pula pusing akibat teh hitam Haruto menembus kayu tebal berkeliling di bawah hidungnya.

Sebagai seorang Kakak bagaimana bisa Yoshinori tega meninggalkan—acuh tidak acuh—adiknya tengah demam melewati masa Rut. Jika diproses kembali, statusnya lah yang lebih menghawatirkan—mengenai label omega dan peristiwa sebelum saat ini—namun mantap sudah pilihannya. Tidak ada siapapun yang bisa membantu Yoshinori sekarang. Kepalan tangannya menguat pada obat-obatan yang selalu mama sediakan di dalam kotak P3K.

Yoshinori buka penghalangnya sembari menutupi indra penciuman. Wanginya mengintimidasi, semerbak, memenuhi satu ruangan penuh. Wangi. Wangi sekali teh hitam yang menguap dari kelenjar feromon adiknya.

Hidungnya tidak bisa meraup udara leluasa sedangkan dadanya sesak melihat Haruto, wajah memerah, mata berair—habis menangis, meraung-raung sambil memeluk bantal di atas kasur. Sejujurnya Yoshinori bukan pemberani namun kalau harus bertindak akibat sakit yang mendesak maka ia tidak ingin duduk manis berdoa agar semuanya membaik.

"Haruto, aku bawa—Hei, lihat aku dulu! Aku bawa obatmu—ugh,"

"Kak Yoshi...—hhh,"







.
.
.
.
.
.
Ternyata kalau dipaksa, akhirnya tetep kurang memuaskan ya... Udah gitu dikit lagi nulisnya
Buru-buru mau habisin book ini sebelum puasa—nggak tau bisa atau nggak :"

Makasihh yang udah baca ✌

Pimpernel || HaruNori ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang