"Shift kamu mulai sejam yang lalu," Jaemin berujar sambil menekan beberapa keyboard yang terkoneksi dengan layar lebar komputer dihadapannya. Jemarinya mulai menghitung beberapa lembar uang kemudian memasukan kedalam laci kasir.
Renjun yakin Jaemin sedang menyinggungnya tetapi dia tidak perduli. Toh, biasanya Renjun juga sering menggantikan shift pemuda dengan rambut oranye itu. Renjun ingat dirinya harus menggantikan Jaemin karena temannya itu tidak sengaja tertidur pulas sehabis melakukan project fotografi untuk kelasnya yang sering dikumpul pemuda bermarga Na itu pada jam-jam kritis.
Dia melirik jam digital yang tergantung diatas kepala Jaemin. Jam satu pagi. Renjun menghela napas. "Aku gantiin shift kamu selama seminggu, ngorbanin tidur, nggak bisa nonton film, apalagi series, shoo. Terus sekarang kamu mau hitung-hitungan?"
Renjun meletakan tas punggung berwarna cokelat terang diruang staff yang berada disamping meja kasir. Renjun melihat Jaemin sedang menatapnya dengan senyum lebar ketika dia keluar dari ruangan.
Renjun menekan kedua bola matanya dengan punggung tangan. Setelah menyelesaikan esai yang dibuatnya hanya dalam kurun waktu dua jam lebih, Renjun merasa matanya akan keluar dari soket, dia tidak tidur sama sekali dan merasa matanya dipenuhi pasir. Sangat kering.
"Kamu nggakpapa?" Tanya Jaemin pelan.
Renjun membuang napas. "Udah, pergi aja Jaem,"
Jaemin mendecih. Tidak menghiraukan cara Renjun mengusirnya.
"Kamu tau aku tadi becanda." Itu pernyataan bukan pertanyaan. Dan tentu saja Renjun tau. Dia dan Jaemin bukan lagi individu yang hanya mengetahui satu sama lain hanya sebatas nama depan atau kelas mana yang mereka ambil semester ini hanya untuk sekedar basa-basi. Jaemin dan Renjun bisa dibilang teman dari kecil, itu sih yang selalu diceritakan Jaemin kepada orang-orang yang sedikit penasaran dengan sejarah pertemanan keduanya.
Jaemin tau keadaan emosional Renjun bahkan hanya dengan helaan napasnya saja. Renjun tidak bercanda. Bahkan ketika dia berusaha menyembunyikan rasa lelahnya dengan tertawa kecil terhadap candaan yang biasa dilontarkan Jaemin disela-sela waktu istirahat antar kelas.
Renjun juga tidak mengerti, apa Jaemin mempunyai keturunan penyihir? Karena Renjun tau dirinya bisa berlagak baik-baik saja dengan orang lain dan selalu berhasil tapi tidak dengan Jaemin.
Jadi sekarang Renjun selalu terbuka dengan Jaemin. Seperti sekarang, Renjun membiarkan Jaemin melihat seberapa gelap kantung mata yang menggantung dibawa mata, membiarkan Jaemin melihat keadaan dirinya yang sudah tidak bisa memikul beban untuk hari ini.
"Injunie--"
"Jaem," Ucap Renjun pelan sambil memakai rompi biru dengan ukiran namanya dibagian dada sebelah kiri. "Udah sana pulang, besok kamu ada kuis loh." Renjun kemudian mendekati Jaemin dan mengusirnya keluar dari area kasir.
Jaemin membiarkan tubuhnya didorong. "Hari ini bukan besok." Balasnya dengan senyum kecil. Matanya melirik jam yang berada diatas kepala, seakan menyuruh Renjun untuk mengecek waktu. Renjun hanya bisa memutar bola mata.
Jaemin menarik jaket kulit dari punggung kursi didekat jendela besar disamping kanan toko. Renjun melihat ada dua bekas mangkok ramen dimeja dan menghela napas lagi karena dia tau Jaemin yang memakannya.
"Tapi beneran kamu nggakpapa? Aku bisa nemenin kamu disini. Kuis buat kelas ini juga nggak penting-penting amat,"
"Udah dibilangin jangan makan ramen terlalu sering Jaem." Ujar mereka berdua secara bersamaan. Renjun mengurut pelipisnya. Sekelebat memori dirinya yang membopong tubuh Jaemin yang tidak berdaya melalui lorong-lorong rumah sakit kembali memasuki pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ours
FanfictionLima jam lagi sebelum jadwalnya selesai untuk hari ini dan Renjun sudah bertemu dengan orang yang menyebalkan. Ya, bahkan wajah tampannya tidak bisa menyelamatkan kepribadiannya yang buruk. Renjun menggeleng. Tuhan memang adil. [Story about our lov...