Hari itu awan-awan kelabu mengisi ruang kosong di langit sejak pagi. Benda yang tampak seperti gumpalan kapas itu terbang pelan mengarungi angkasa, sembari membawa rintik hujan yang mulai membasahi bumi. Gemerisik suara hujan beradu dengan atap-atap rumah, namun suaranya tidak dapat meredam tangis pilu sepasang ibu dan anak yang mengenakan pakaian serba hitam, perlambang duka cita.
"Anakku! Anakku tidak mungkin meninggal! Ya tuhan kenapa Engkau ambil anakku."
Sang ibu terisak, ia tak berhenti meracau memanggil nama putrinya yang tersenyum dibalik kaca pigura. Pandangannya yang dipenuhi air mata tak lepas dari mayat sang anak yang telah terbujur kaku di dalam peti kematian, mengenakan pakaian terbaiknya. Bibir sang ibu terus merapal, meminta agar anaknya untuk segera bangun dari tidurnya.
"Kakak, ayo bangun! Jangan tinggalkan ibu sama adikmu, Kak. Katanya kamu mau kuliah kedokteran, kamu mau jadi dokter kan, Kak? Ibu sudah persiapkan semuanya." Tangis sang ibu makin keras, ia masih menolak fakta bahwa anak perempuannya telah meninggalkan dunia yang fana ini, mendahuluinya berjalan menuju keabadian.
Sedangkan anaknya lain, yang mulai sekarang menjadi anak semata wayangnya, berusaha menenangkan sang ibu yang menangis histeris. Tatapannya yang nanar mudah terbaca, jika ia juga merasa kehilangannya sama seperti yang ibunya rasakan. Dibalik bibirnya yang mengatup rapat, ada keinginan untuk berteriak kencang, melepaskan kesedihan yang mencengkram dadanya.
Teriakan-teriakan putus asa sang ibu terus memantul di dinding, menciptakan gema yang terdengar menyakitkan. Sebagian pelayat ikut larut dalam kesedihan, menyaksikan betapa menyedihkan keadaan ibu dan adik yang ditinggalkan. Sedangkan, sebagian lain menukarkan rasa empati mereka dengan menggunjing kematian tidak wajar si perempuan, bersama anak dalam kandungannya.
Kabar burung terlalu cepat menyebar. Tentang gadis muda yang meninggal bunuh diri dan membawa serta bayi yang ia kandung tanpa ikatan pernikahan. Tanpa surat perpisahan gadis itu pergi, menguatkan dugaan jika ia memilih mati setelah tak kuat ditinggal sang kekasih yang memilih wanita lain, dan memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Orang yang paling gadis itu percayai telah mengkhianatinya, bahkan ia tidak sudi menjadi ayah dari buah hati yang hadir atas kesalahan mereka.
Hatinya yang begitu teriris, memori bersama sang kekasih bagai belati yang menyayat semangatnya untuk terus melanjutkan hidup. Belum lagi kesalahannya yang tak termaafkan jelas mengecewakan hati sang ibu, yang selama ini susah payah berperan ganda menghidupi kedua anaknya tanpa sosok suami yang telah lama meninggalkan keluarga kecil mereka. Hingga maut yang terus menghantui di setiap hembusan nafasnya, ia pilih sebagai akhir paling bahagia untuk kisahnya.
"Kak."
Manusia mana di dunia ini yang tidak terpukul setelah melihat saudarinya sendiri mengakhiri hidup dengan cara yang tragis. Terlebih sang kakak sangat cerdik menyembunyikan calon anaknya yang sudah menginjak usia empat bulan kehamilan. Kenyataan mengerus hatinya. Ia masih menolak percaya jika kakaknya, seorang gadis berhati selembut salju, tutur kata sehalus sutra, pribadi sebaik malaikat, harus berakhir mengenaskan karena pria brengsek yang meninggalkan sang kakak tanpa tanggung jawab.
"Ibu nggak kecewa sama kamu, Kak. Tapi kita kecewa kenapa kamu memilih pergi. Kita bisa lewatin ini sama-sama."
Sang adik kini tampak kacau berlutut di hadapan pigura foto sang kakak, ditemani cahaya bulan yang merangsek masuk melewati jendela kecil kamarnya. Ia raih wajah sang kakak, syaraf jarinya hanya merasakan lapisan kaca yang dingin, memupus harapannya jika sang kakak masih akan mewarnai harinya esok pagi. Senyuman tipis itu ia tatap lamat. Sebutir kebahagian semu yang ia dapat kini menjadi segunung kesakitan yang menyadarkannya jika pembalasan setimpal harus diterima seseorang.
"Kakak tidak boleh menderita sendirian."
Aliran darahnya menderu keras sampai ke jantung, tiba-tiba merasakan adrenalin yang tidak pernah ia rasakan. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas hingga mencetak sebuah sunggingan menakutkan. Entah bisikan dari mana, keberanian itu kini ia hirup menjadi oksigen untuk paru-parunya, sebagai alasan untuk ia hidup dan alasan untuk kakaknya mati.
-satan's slave-
KAMU SEDANG MEMBACA
Satan's Slave (00 Line)
HorrorKematian Gisella menjadi awal dari keretakan lingkaran persahatan diantara Samudra, Karin, Nathan dan Yeremia. Saat ketiga sahabatnya berusaha melanjutkan hidup, Nathan -kekasih Gisella- tak mampu bangkit dari duka yang berkepanjangan. Sampai kejadi...