Aliza berdiri di depan pintu kelas, matanya menatap ke dalam kelas dengan cemas. Hatinya berdegup kencang, tak tahu harus mulai dari mana. Di dalam kelas, Dikri sedang duduk di bangkunya, tampak sibuk dengan bukunya, meski sesekali ia melirik ke arah Aliza dengan ekspresi yang sulit dibaca. Aliza menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan diri.Ini waktunya, pikirnya. Aulia tadi sudah memberikan semangat yang cukup untuknya, meskipun rasa takut dan ragu itu masih ada. Tapi ia tahu, jika tidak sekarang, mungkin tidak akan pernah ada kesempatan lagi. Setiap detik yang berlalu semakin membuatnya terbelenggu oleh rasa penasaran. Ia harus tahu apakah perasaannya benar, apakah perasaan itu juga berbalas.
"Za," suara Aulia memanggilnya dari belakang, menarik Aliza dari lamunannya. "Lo siap?"
Aliza menoleh, mencoba untuk tersenyum meskipun hatinya gelisah. "Gue gak tahu, Lia. Tapi ini yang terbaik, kan?" jawabnya, suaranya bergetar.
Aulia menepuk bahunya, memberi dorongan kecil. "Yang penting lo jujur sama perasaan lo, Za. Kalau nggak, lo cuma nyiksa diri sendiri."
Aliza mengangguk, lalu melangkah menuju tempat duduk Dikri. Setiap langkah terasa begitu berat, namun di setiap langkahnya, ia merasa semakin dekat dengan jawaban yang selama ini ia cari.
Ketika ia sampai di depan meja Dikri, ia berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan penuh harapan dan kebingungan.
Dikri yang sedang membaca buku, perlahan menoleh dan tersenyum. "Aliza, ada apa?" tanyanya dengan suara lembut, tetapi ada sedikit keheranan di baliknya. Seolah ia merasa ada yang berbeda dari sikap Aliza hari ini.
Aliza menelan ludahnya, berusaha mengumpulkan keberanian. "Dikri, aku... aku ingin bicara," ujarnya pelan, hampir tak terdengar.
Dikri mengangkat alis, menutup bukunya dan menatap Aliza dengan perhatian. "Tentang apa?" tanyanya, kini duduk lebih tegak, memberi perhatian penuh pada Aliza yang terlihat semakin gugup.
Aliza merasakan jantungnya berdegup semakin cepat, namun ia mencoba untuk tetap tenang. "Tentang... tentang perasaan aku. Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi... aku suka sama kamu, Dikri," ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar.
Keheningan menyelimuti mereka. Mata Dikri terbelalak, dan ia tidak langsung menjawab. Aliza merasa perasaannya tiba-tiba terhenti, menunggu reaksi yang tak kunjung datang.
Dikri menatap Aliza dalam diam, kemudian menghela napas panjang. "Za, aku... aku nggak tahu harus bilang apa," ujarnya, suaranya terdengar berat. "Gue gak tahu kalau kamu merasa seperti itu. Sebenarnya, aku... aku juga suka sama kamu. Tapi ini lebih rumit dari yang kamu bayangkan."
Aliza merasa jantungnya seakan terhenti mendengar kata-kata itu. "Maksud kamu?" tanyanya, suara terputus-putus, mencari kepastian.
Dikri mengangguk pelan. "Aku juga merasa ada yang berbeda dari kita, Za. Tapi... ada sesuatu yang menghalangi aku buat bilang ini semua. Aku nggak tahu apa yang harus gue lakukan."
Aliza menatapnya bingung, semakin terperangah dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Dikri. "Apa yang menghalangi kamu, Dikri? Kalau kamu juga suka sama aku, kenapa nggak langsung ngomong?"
Dikri terlihat bingung dan ragu, ia menunduk sejenak, lalu berkata dengan suara lebih pelan. "Karena... karena aku nggak ingin kamu salah paham. Ada hal yang nggak bisa aku jelaskan sekarang. Aku takut, kalau aku bilang ini semua, malah bakal merusak segalanya."
Aliza merasa sebuah perasaan asing menyelimuti hatinya. "Merusak segalanya?" ulangnya pelan. "Apa maksud kamu?"
Dikri terdiam, sepertinya ia tengah berusaha menyusun kata-kata. "Za, ini tentang Aulia. Aku nggak ingin membuat segala sesuatunya lebih rumit, apalagi kamu dan Aulia sudah sangat dekat. Aku nggak mau kalau perasaan aku ini merusak hubungan kalian."
Aliza merasa seolah seluruh tubuhnya terhentak mendengar kata-kata itu. “Aulia?” Aliza berbisik, matanya terbuka lebar. "Jadi, kamu suka sama Aulia?"
Dikri mengangguk pelan, "Iya, Za. Aku juga suka sama dia, dan aku takut kalau perasaan ini akan mengacaukan segalanya."
Aliza merasakan dadanya sesak. Ada campuran antara sakit, bingung, dan marah yang tiba-tiba muncul. Jadi selama ini perasaan yang aku pendam ternyata tidak ada artinya? pikirnya. Aku sudah terlalu lama terjebak dalam ilusi.
Matanya mulai memanas, dan ia berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku tidak tahu harus bilang apa, Dikri," ujar Aliza, suaranya terdengar hampa. "Aku sudah mencintaimu sejak lama, dan ternyata aku hanya menjadi bagian dari persaingan yang tak akan pernah aku menangkan."
Dikri terlihat bingung, mencoba meraih tangan Aliza. "Za, jangan salah paham. Aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Aku cuma merasa... semuanya terlalu rumit."
Aliza menarik tangannya perlahan, mencoba menghindari kontak mata. "Aku ngerti. Aku cuma salah kalau berharap kamu akan merasa sama," jawabnya, meskipun hatinya hancur. "Terima kasih sudah jujur, Dikri."
Dikri tampak tak tahu harus berkata apa lagi. Keheningan panjang menyelimuti mereka.
Setelah beberapa detik, Aliza menarik napas dalam-dalam. "Aku harus pergi," katanya, berbalik dengan cepat, melangkah keluar dari ruang kelas.
Langkah Aliza terasa seperti berjalan dalam kabut tebal. Di luar, angin sore menyapa wajahnya, namun tak bisa menghilangkan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Perasaan yang telah lama ia pendam, yang akhirnya ia ungkapkan, ternyata bukanlah jawaban yang ia inginkan.
Terkadang, pengakuan itu bukanlah jawaban yang membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik. Kadang, pengakuan justru membuka luka yang lebih dalam.
Dan sekarang, Aliza harus belajar untuk menerima kenyataan. Cinta yang ia harapkan ternyata tak akan pernah terbalas. Tapi ia tahu, meski perasaan itu berat, hidup harus tetap berjalan.
![](https://img.wattpad.com/cover/306048324-288-k251153.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Tak Terucap [END]
Teen FictionCerita ini mengisahkan perjalanan emosional Aliza El Assegaf, seorang gadis remaja yang terjebak dalam konflik cinta segitiga dengan sahabat terbaiknya, Aulia Steffani, dan dua cowok yang mengisi hari-harinya, Reyhan dan Dikri. Persahabatan mereka y...