Bagian 27

11.8K 955 65
                                    

Ibra memandang kosong kepada potongan puzzle yang berserakan. Sudah beberapa menit lamanya dia menelungkup diatas karpet tebal di ruang olahraga tapi Anin masih belum kembali hingga sekarang. Setelah mengantarnya tadi, Anin segera beranjak keluar dan meninggalkannya berdua dengan Yudha.

Selama hampir tiga bulan belakangan menghabiskan minggu pagi bersama, Ibra merasa terbiasa ditemani Anin. Dan ketika istri dari adik ayahnya itu tidak ada disini, Ibra merasa kurang lengkap. Rasa malas untuk bermain sendiri timbul di hatinya. Padahal sebelum mengenal Anin, Ibra merasa tenang-tenang saja ketika menyusun puzzle hanya ditemani Yudha. Meskipun keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dia dengan mainannya sementara Yudha sibuk dengan laptop hitam di pangkuannya.

Walaupun belum berusia enam tahun, Ibra tergolong anak yang cukup peka. Dia tahu siapa yang bisa dia dekati atau tidak. Ibra juga bisa merasakan siapa yang bersikap tulus padanya dan juga tidak. Oleh sebab itu dia merasa nyaman saat bersama Anin. Tantenya itu memperlakukannya dengan sangat baik. Dengan kedekatan itu lah yang membuat Ibra yakin ada hal aneh yang membuat Anin begitu berbeda hari ini.

Ibra mengalihkan pandangannya pada Yudha yang kini tengah duduk bersandar ke dinding. Satu lutut Yudha terangkat dengan tangan kanan yang terulur panjang dan menumpu disana. Bukan pemandangan duduk yang terlalu santai itu yang membuat Ibra menatap Yudha tertarik. Tapi wajah keruh sang paman yang diartikan lain oleh Ibra. Bahwa Yudha mungkin saja terpaksa untuk menemaninya.

"Om, apa aku punya salah?" tanya Ibra dengan suara yang terdengar lirih. Seakan-akan anak itu takut Yudha akan marah padanya karena pertanyaan itu lalu menendangnya keluar dan tidak mengijinkannya datang lagi ke rumah ini.

Meski pelan, Yudha masih mendengar dengan jelas apa yang Ibra tanyakan. Kepalanya segera menoleh. Ditatapnya Ibra dengan kening yang mengernyit dalam. "Tidak. Kenapa bertanya seperti itu?" Yudha bertanya dengan heran.

Ibra mengalihkan pandangan ketika merasa gugup ditatap Yudha. Hampir tiga bulan mereka tidak bertemu, jelas membuat anak itu merasa takut dan juga canggung. "Om sepertinya sedang marah padaku."

"Tidak. Om tidak marah padamu. Kenapa harus marah?"

"Om sejak tadi diam saja."

Yudha menatap Ibra heran. Anak itu terlihat berbeda dibandingkan biasanya karena lebih banyak bicara. "Biasanya kita juga saling diam kan? Kamu menyukai keheningan ketika menyusun mainan kesukaanmu itu."

Ibra kembali menatap Yudha. Kali ini anak itu lebih terlihat berani dibandingkan tadi. "Tapi Tante juga kelihatan marah tadi. Apa Tante Anin marah padaku?"

Yudha menghela nafas. Bukan hanya dia saja yang merasakan perbedaan pada Anin hari ini, ternyata Ibra juga. Sejak setelah bangun tidur pagi tadi, Anin terlihat berbeda. Saat sarapan pun istrinya itu tidak banyak bicara sehingga mertuanya juga dibuat heran. Dan ketika mereka diperjalanan pulang, Anin hanya menanggapi kalimatnya singkat.

"Tantemu itu tidak mungkin akan marah padamu," bantah Yudha. Sebab Anin jelas tersenyum saat menyambut Ibra meski senyuman itu tak selebar yang biasa Yudha lihat. "Mungkin dia marah pada Om," ucap Yudha tidak yakin.

"Kalau begitu Om harus minta maaf."

"Haruskah?"

Yudha masih mengingat respon Anin sebelumnya ketika dia meminta maaf namun tidak tahu apa salahnya. Dan jelas dia tidak ingin mengulangi hal yang sama karena Yudha tidak tahu apa kesalahannya.

Tidak mungkin Anin marah hanya masalah foto-foto tadi malam bukan? Karena sudah sewajarnya dia yang marah karena Anin masih memajang foto-foto pria lain di kamarnya padahal mereka sudah menikah.

"Tentu saja," seru Ibra terlalu antusias sambil menarik tubuhnya hingga duduk bersila. Raut wajah anak itu terlihat serius. "Karena Om yang salah, Om juga yang harus minta maaf."

Hold You in My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang