tak Terduga

1.4K 103 11
                                    

GARA-GARA OPEN BO
07

Abah  pamit ditemani santrinya, untuk menghadiri walimatul urs'. Tidak sampai 2 menit, Ustaz Alkaf pun ikut pergi dengan dalih sudah ada jemputan.  Sementara bersamaan itu, Ummi masuk kembali ke kamar guna melaksanakan salat duha. Tidak ada percakapan lagi di antara kami seusai aku menyeret nama mantan. Sebenarnya tidak maksud membandingkan sih. Hanya saja kan, semua itu keluar begitu saja tanpa kuduga.

Aku pun sampai tak menyangka, jika kalimat ini akan berhasil membuat orang seisi rumah tak bersuara. Kembali melanjutkan lagi sarapan tanpa banyak bertanya. Aku sempat canggung dan bingung dengan suasana ini. Namun ketika melihat wajah mereka yang datar, bisa saja mungkin, bagi mereka perkataanku sama sekali tidak berarti apa-apa.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Tapi sama sekali belum ada tanda-tanda Ummi mau keluar dari kamarnya. Padahal beliau masuk sekitar satu jam lalu. Aku yang tengah duduk kursi sedari tadi, hanya bisa bergerak gelisah. Sesekali melihat handphone, memastikan panggilan masuk dari Juragan Salim. Takut beliau sudah menunggu di kontrakan. Secara ini adalah hari terakhir dia memberi tenggat waktu padaku.

Ting!

Ting!

Aku beranjak dari kursi, mengambil handphone yang tengah ku-charger, begitu mendengar suara notifikasi masuk. Pasti itu tidak lain, tidak mungkin pesan dari Juragan Salim. Dan dugaanku rupanya tepat, karena begitu kubaca, ternyata beliau sudah berada di rumahku.

Haish, bagaimana ini?

[Saya sudah di rumahmu. Mia bilang kamu belum pulang. Saya tunggu satu jam lagi. Kalau tidak datang, saya yang akan menemukamu!]

Aku menggigit bibir. Menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Lantas mengembuskan napas gelisah. Kalau sudah diancam begini, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus segera menyerahkan uang, lalu kembali menjalani hidup tenang tanpa dibawah tekanannya. Segera kuraih tas di meja,  kemudian memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ummi hati-hati.

Tok!

Tok!

"Ummi ... "

"U-ummi, maaf menganggu. Kaira mau meminta izin ke ke luar," kataku lagi. Sampai tak butuh lama Ummi keluar dengan sorot mata bertanya.

"Dek Kaira mau ke luar ke mana?"

"I-itu mau ke kontrakan dulu. Kemarin belum sempat beres-beres. Tidak apa kan?"

"Sudah minta izin Alkaf?" tanyanya menyelidik.

Aku terdiam. Bingung harus beralasan apa?  Kalau semisal aku bilang sudah izin, pasti nanti bakalan ditanyain ke orangnya dan berujung masalah.  Sudah cukup rasanya aku menimbun dosa pada mereka, kali ini aku tidak  ingin lagi membuat mereka kecewa. Tapi kalau aku bilang belum, besar kemungkinan Ummi akan menyuruhku menghubungi putranya. Sedangkan aku sendiri, sama sekali tidak punya kontak Ustaz Alkaf yang mana.

Bagaimana ini?

"Dek Kaira?"

"I-iya, Mi?  Kaira belum hubungi." Akuku jujur.

Kulihat Ummi menggeleng kepala. "Nomor handphonenya punya kan? Apa tidak?" Tebaknya. Mau tak mau aku menggeleng lemah.

"Gimana sih. Masa tidak punya handphone suami sendiri. Yasudah pakai handphone Ummi saja. Sebentar," sahutnya lagi sembari masuk ke kamar.

Tuh kaan, kalau sudah begini pasti Ummi curiga dan mikir aneh. Tapi kan mau bagaimana lagi, cuma itu satu-satunya jawaban yang tepat agar aku secepatnya pergi dari sini.

"Ini istrimu mau bicara. Bukan itu bukan. Iya-iya, Ummi paham sekali. Dek Kaira ini ..." Ummi tiba-tiba muncul, menyerahkan handphone padaku.

Dengan rasa enggan, mau tidak mau aku pun menerimanya. Menempelkan benda pipih ini pada telinga.

GARA-GARA OPEN BO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang