00.05

96 18 1
                                    

When you're looking at me
I've never felt so alive and free

When you're looking at me
I've never felt so happy


Eren Yeager. Sebut saja dia pemuda yang luar biasa. Sebab, di seluruh pelosok kampus, para gadis maupun mahasiswa dan dosen mengenal pemuda bermata Emerald tersebut. Kecuali, Mikasa.

Pertama kali Mikasa berjumpa Eren adalah saat Armin memintanya menunggu di Kafe selama lima belas menit. Yakin, bahwa Eren adalah pemuda yang hanya mementingkan gaya busana dan mengandalkan wajah tampannya untuk tebar pesona. Namun, Mikasa salah.

Eren adalah Mahasiswa Jurnalistik tingkat akhir dengan segudang Prestasi. Walau hidup dalam kesederhanaan, Eren tak pernah mengeluh tentang kondisi keuangannya. Mikasa baru tahu setelah mendengar cerita tentang Pemuda itu dari Sahabatnya, Armin.

"Setelah lulus SMA, dia bekerja part time di sebuah bar dan di gaji dengan jumlah yang lumayan. Dia menabung sekitar 50% dari gajinya," ucap Armin

Pemuda berambut pirang dengan mata birunya yang khas, kembali meneguk kopi di cangkirnya. Menatap ke arah luar etalase kaca, dimana begitu banyak kendaraan berlalu lalang.

"Dia bilang, dia punya Kakak?"

"Ya, Tuan Zeke Yeager. Eren bukan berasal dari keluarga yang begitu miskin. Ayahnya seorang Dokter Bedah, Ibunya adalah mantan Kepala Pelayan di Kafe ternama, sementara Kakaknya adalah seorang Dokter Hewan di Pusat Karantina Hewan Liar yang terancam punah."

Mikasa ber-oh ria, bibir delimanya mengulas simpul tipis. Jari telunjuk dan jempolnya menggenggam erat sedotan plastik di tangan, mengaduk dengan pelan isi dari secangkir es kopi yang ia pesan.

"Armin, aku ingin mengenal Eren lebih jauh. Apa itu salah?" 

"Kalau kau ingin lebih mengenalku, harusnya ajak aku bukan malah mengajak Armin, kan?"

Wajah Eren yang tiba-tiba saja muncul di samping Mikasa, membuat gadis bermarga Ackerman itu berjingkrak kaget. Menahan napas ketika Eren mendekatkan wajahnya dan terkekeh geli mendapati ekspresi Mikasa yang begitu menggemaskan.

Pemuda itu menarik kursi tepat di sebelah Mikasa, menumpu dagu sembari menatap Si Empunya manik sekelam jelaga dibalik bulu mata lentik yang terawat.

"Jadi, Miss. Ackerman, kau ingin lebih mengenalku? Seberapa jauh? Aku cukup pandai memperkenalkan diri pada seseorang, benar, kan, Armin?" ucap Eren

Yang ditanya hanya terkekeh samar dan mengangguk, memilih untuk beralasan bahwa Annie mungkin saja sudah mencarinya dan ia harus segera menemui kekasihnya tersebut. Meninggalkan Mikasa yang menjadi salah tingkah akibat ucapannya beberapa menit yang lalu.

Ada begitu banyak presepsi yang Mikasa jabarkan perihal Pemuda di hadapannya kini. Bagaimana cara pandang Eren pada dunia yang berbeda, bagaimana Pemuda itu menjalani hidupnya tanpa membiarkan orang lain mengekang. Atas segala presepsi tersebut, Mikasa menyimpulkan bahwa Eren adalah Pemuda dengan segudang pesona yang tak dimiliki banyak Pemuda lain di luar sana.

"Semakin keras kamu bekerja untuk sesuatu, semakin besar perasaanmu saat mencapainya."

Angin berhembus diantara mereka saat Eren berkata demikian. Pemuda itu menariknya keluar dari Kafe beberapa menit yang lalu dan berakhir menyambangi taman yang biasa anak remaja gunakan menjadi tempat latihan skateboard.

"Dan kau bekerja keras untuk mimpi mu?"

"Well, setiap orang pasti bekerja keras untuk mimpi mereka masing-masing. Begitu pun denganmu, kan?"

Eren menatap sejenak, sebelum mengalihkan pandang sembari merogoh saku celana. Mengeluarkan kotak rokok dan mengambil sebatang, kemudian menyalakannya dengan sebuah korek api di saku lainnya.

Kepungan asap abu-abu menggupul ketika Eren menghembuskannya ke udara. Aroma khas tembakau tercium diantara angin yang berhembus kala itu.

"Namun, ada beberapa orang yang mimpinya terlalu kecil sehingga ia hanya berakhir menjadi objek kekangan orangtuanya. Pernah lihat hal seperti itu?" ucap Eren

Mikasa menggeleng sebagai jawaban, ia memilih berjongkok saat Eren melompat turun dari tembok setinggi pinggul Eren.

"Orang-orang yang hidup dari mimpi orangtua mereka, walaupun mereka tak menginginkannya." ucap Eren

Ia berbalik memunggungi Mikasa, "Ayahku pernah berkata bahwa, Jangan pernah menyesali sehari dalam hidupmu. Hari-hari baik memberimu kebahagiaan dan hari-hari buruk memberimu pengalaman. Walaupun aku sempat membangkang saat mereka meminta ku untuk menjadi Dokter, Ayahku tetap memberikan dukungan walau ia sempat marah dan nyaris menganggap ku bukan anaknya lagi."

Tawa Eren menguar bersama dengan asap rokok yang menggupul. Mikasa bisa melihat bagaimana senyum Pemuda di hadapannya ini terlukis, walau ia hanya menatap figur Eren dari sisi samping, nyaris membelakanginya.

"Walau Kakek, Ayah dan Kakakku adalah seorang Dokter. Bukan berarti aku juga harus menjadi seperti mereka. Hidup dan bahagia itu ditentukan oleh kita sendiri. Butuh waktu lama untuk ku menjelaskan hal itu kepada Beliau." sambung Eren

Ia melepas batang tembakau tadi dari celah bibirnya, berjalan mendekati Mikasa dengan senyum yang terlukis di wajahnya yang rupawan. Melihat hal itu, Mikasa tidak bisa menahan rasa malu dan semu merah muda yang kini menghias kedua pipi.

"Apa itu sudah cukup untuk membuatmu mengenal ku lebih jauh, Mikasa?" tanya Eren

"Entahlah. Aku merasa kau masih memiliki banyak kejutan lain dari caramu menjalani hidup. Apa aku salah?"

Tawa Eren kembali menguar, kedua lengan kekarnya mengunci Mikasa. Wajahnya sedikit mendongak untuk bersitatap langsung pada dua iris jelaga dibalik kelopak berbulu mata lentik milik Mikasa. Eren menemukan fakta bahwa mungkin ia bisa dibuat mabuk akan asmara hanya sekedar menatap dua iris indah dihadapannya kini. Begitu berkilau, begitu indah, sangat cantik, Eren ingin itu menjadi utuh miliknya seorang.

"Ayahku bilang, aku pantang menyerah dalam meraih kebebasan yang aku impikan. Memangnya, kau bisa sanggup menerima lebih banyak kejutan dari Pemuda yang mencari kebebasan ini, Miss. Ackerman?"

Sembari menyelipkan anak poni ke belakang telinga, bersama seutas senyum manis yang turut melukis kurva Mikasa. Gadis itu membalas tatapan dari sepasang manik Emerald indah milik Eren.

"Why not?"

Tbc.

Makassar, 07 Juli 2022

-Nuii Matsuno

DANDELIONS [√] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang