PART 6

6 1 0
                                    


Aku melompat dan berlari langsung ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi makan malamku disana. Ku basuh muka untuk menyadarkan diri. Jantungku masih berdebar kencang saking terkejutnya. Sebelum keluar, kuputuskan untuk berwudhu dulu agar jauh lebih tenang dan melakukan sholat malam setelahnya. Saat keluar, suasana tampak sepi. Tampaknya semua sudah terlelap. Lagipula ini sudah jam satu malam.

Aku masuk ke kamar kecil lama yang kami gunakan sebagai mushola. Aku mengambil alat sholatku yang memang kuletakan di sana. Setelah memakai mukena berwarna putih dan menggelar sajadah, lekas aku membaca niat dan mulai shalat.

Semuanya berjalan lancar hingga aku dalam posisi ruku di rakaat terakhir. Sajadahku tiba-tiba di tarik oleh sesuatu ke belakang dengan keras hingga aku terjatuh dan kepalaku terbentur ke lantai lebih dulu. Aku berusaha bangun lagi dan menyelesaikan sholatku meski kepalaku terasa berdenyut. Terus ku ucap istighfar agar bisa tenang kembali.

Alhamdullilah aku bisa menyelesaikan sholatku. Hingga saat selesai, aku merasakan cairan kental mengalir di dahiku. Itu adalah darah. Sepertinya kepalaku terluka saat terjatuh tadi. Aku hanya bisa mengucap istighfar lagi dan lagi sambil terus menyapu darah di dahiku dengan jari.

"Tolong, siapapun kamu. Apa salah saya? Kenapa kamu terus mengganggu saya dan semua teman-teman saya." Selesai aku mengucapkan itu, terdengar suara geraman di belakangku. Aku terus berdzikir tanpa henti hingga tanpa sadar aku terlelap bersamaan dengan hilangnya suara geraman itu.

Adzan Subuh samar-samar terdengar di telingaku. Mataku terbuka dan mendapati diri tertidur di lantai dengan mukena masih di badan. Aku menoleh ke sana kemari, tak ada geraman atau siapapun di belakangku. Aku mengambil kembali sajadah merah bergambar Ka'bah di belakang tubuhku.

Aku memutuskan mengambil wudhu lagi, takut jika saat tertidur tadi wudhuku sudah batal. Saat membuka mukena, aku tersadar jika ada noda darah di mukena. Rupanya itu bukan mimpi, bahkan kepalaku mulai terasa berdenyut sekarang.

Setelah berwudhu, aku meminjam mukena milik Mbak Desi yang ada di sana untuk sholat. Setelah selesai, tak lama satu persatu karyawan di mess bangun dan menunaikan sholat subuh. Aku yang merasa sedikit pusing langsung menuju dapur dan menyeduh teh manis hangat. Membawanya ke balkon dan duduk sendiri di sana.

Aku juga mengambil cermin kecil dan plester yang selalu aku sediakan di tas. Tadi luka di kepalaku sudah dibersihkan lebih dulu di kamar mandi. Mukena juga sudah di rendam dengan sabun.

"Kenapa, May, kepalanya?" tanya Mbak Desi yang habis sholat menghampiriku.

"Oh, ini tadi pas sholat gak sengaja mukenanya keinjek terus aku jatuh, ha ha ha." Aku sengaja berbohong.

"Kok bisa? Aduh, kepalaku ikut sakit lihatnya. Sakit banget itu, May? Yakin gak apa-apa?" Mbak Desi tampak khawatir.

"Gak apa-apa. Luka kecil aja kok, meski tadi sempat berdarah, hehe."

"Kenapa?" Pandu ikut nimbrung bersama Rudi di belakangnya.

"Ini, si Maya jatuh tadi pas Sholat sampai kepalanya luka." Mbak Desi menjawabnya.

Sontak semuanya memasang muka khawatir dan langsung mengecek kepalaku satu persatu.

"Apa sih?" aku menyingkirkan tangan-tangan itu menjauh. "Minggir, ah. Aku mau pasang plester."

"Jadi, darah di kamar mandi itu tadi darah kamu, ya, May?" aku menoleh dan mendapati Siska—dari kelompok sif 1. Gadis berbadan langsing dengan wajah khas arab itu mendekatiku.

"Darah?" aku tak mengerti maksud Siska, karena aku merasa saat di kamar mandi darah di kepalaku sudah kering dan bekasnya tercampur air saat aku bersihkan. Juga kupastikan tak ada bekas apapun di sana.

"Bersihin yang bener dong darahnya. Jorok tau. Juga kalau malem, jangan lari-lari gak jelas di kamar. Ganggu orang tidur aja." Setelah mengoceh tak jelas ia kembali ke kamar. Aku dan yang lain di sana hanya saling pandang saja.

"Kenapa sih itu anak?" Mbak Desi membuka suara.

"Biasa, caper." Rudi menimpali.

"Udah, gak usah di peduliin, May," kata Rudi. Aku hanya mengangguk saja.

Ada yang mengganjal dengan kata-kata Siska tadi, bukan hanya tentang darah yang terlihat di kamar mandi, tapi juga tentang suara berlari di dalam kamar. Itu berarti bukan hanya aku dan Rika saja yang mendengarnya.

"Mbak Desi, tadi malem dengar ada yang lari-lari?"

"Enggak, May. Aku pules banget tidurnya. Emang kamu beneran lari-lari kayak yang Siska ngomong tadi, May?"

"Aku emang rada lari pas ke kamar mandi. Mungkin itu yang Siska maksud."

Iya juga. Mungkin saat aku berlari ke kamar mandi saja. Bukan apa yang aku dan Rika dengar. Mbak Desi saja tak mendengar hal itu.

Waktu berjalan. Saat siang memang jarang sekali ada kejadian ekstrim seperti saat malam. Saat siang aku bisa bernafas sedikit.

Suara mesin bordir yang nyaring mulai terdengar seperti alunan musik saat siang. Gedung tak terasa terlalu sepi lagi. Anak-anak yang masuk malam nanti, sebagian besar memilih tidur. Aku tak bisa tidur. Setelah mencuci baju dan mukena, aku ingin menjemur di atas. Akan tetapi bayangan mimpi saat pertama kali datang langsung terbayang. Membuat kaki ini tak mau melangkah ke atas tangga.

Aku mencoba untuk tetap tenang. Tidak ada apa-apa di atas. Anak-anak lain juga baik-baik saja saat ke loteng. Mereka sering bermain di sana. Aku harus yakin terhadap diriku sendiri dan tak boleh takut.

"Ngapain berdiri di situ?" tanya Pandu yang membawa piring dan gelas bekas makannya di tangan.

"Gak. Mau jemur doang tapi . . . ."

"Bentar, aku temenin. Tunggu bentar, ya. Nyuci piring dulu."

"Eh, gak usah aku naik sendiri aja," tolakku merasa malu sendiri. Akan tetapi Pandu tak mendengarkannya dan tetap berjalan ke dapur. Sementara aku tetap menunggunya di samping tangga.

Tak lama Pandu muncul lagi dan sudah menyalakan sebatang rokok di mulutnya. Ia berjalan lebih dulu di depanku. Menyadari aku yang belum melangkah naik, Pandu berbalik lagi.

"Ayo, katanya mau jemur baju," ajaknya.

Meski masih ragu akhirnya kuberanikan diri melangkah. Satu tangga, dua tangga, tiga tangga, hingga tak terasa aku sampai di atas. Bayangan mimpi itu kembali terbayang hingga tanganku langsung gemetar. Aku mencoba menatap sekitarku. Selesai tangga ada sebuah ruangan dengan dua buah jendela besar tanpa kusen dan penutup. Pintunya juga tak memiliki kusen. Di sana ada karpet dan meja dengan asbak berisi puntung rokok.

Di atas juga banyak tali jemuran berisi pakaian para karyawan yang tengah di jemur. Di luar juga banyak pakaian tergantung di tali jemuran yang terbuat dari kabel bekas.

"Di dalam jemuran punya anak-anak sif 1. Kalau kamu mau jemurannya cepat kering, jemur aja di sini," kata Pandu yang sudah berdiri di luar loteng. Aku keluar, karena masih pagi udara terasa sejuk dan tak terlalu terik. Areanya juga sangat luas, persis seperti rooftop sekolah di drama Korea atau anime Jepang.

Aku mulai menjemur di temani Pandu yang tengah menikmati pemandangan dengan bersandar di tepian tembok keliling yang hanya sebatas dadanya. Aku masih clingukan kesana-kemari karena masih merasa takut.

Setelah selesai, aku memangil Pandu untuk turun. Namun ia malah menarikku dan menyuruhku menikmati pemandangan sekejap.

"Udah, nikmatin aja dulu pemandangannya, jangan terlalu di pikirkan tentang semua yang sudah terjadi. Aku tahu dari kemarin kamu banyak pikiran sampai sakit gitu. Sekarang lepasin aja dulu mumpung lagi di sini. Tempatnya gak seserem yang kamu bayangkan, kan?" kata Pandu seolah mengerti apa yang aku pikirkan selama ini.

Aku tak menjawab pertanyaannya. Mataku menatap sekelling. Benar kata Pandu, pemandangan di atas sini sangat indah. Seolah aku bisa melihat seluruh Jakarta dari atas sini. Benar kata Pandu. Aku tak perlu terlalu merisaukan apa yang terjadi. Aku juga harus tetap tenang dan menjalani kehidupan nomalku yang biasa. Aku hanya berharap, semua ini akan di temukan titik terang jawabannya. Lelah jika selalu seperti ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GEDUNG TUA BERHANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang