Arsyad berulang kali mengetuk pintu rumah Sutrisno, hanya rumah kayu tak seberapa luas yang bila dibuka pintunya akan sedikit terhuyung hampir roboh.
Wanita paruh baya berdaster lusuh memicingkan mata, menatap lelaki dengan setelan jas yang berdiri tegap tengah menatapnya.
“Maaf ...?"
“Saya Arsyad, kalau boleh tahu. Apa benar ini rumah Bapak Sutrisno?” tanya Arsyad, dasarnya kaku. Lelaki itu makin terlihat menyeramkan di mata paruh baya itu.
“Be-betul. Saya istrinya.”
Menyadari bahwa wanita di depannya gemetar takut, Arsyad mendekat maju. Dia tersenyum. “Saya boleh bertemu?”
“Kebetulan dia sedang pergi ke kebun, Pak. Tidak jauh dari sini. Sebentar lagi juga pulang, kalau berkenan, Bapak bisa masuk dulu ke dalam.”
“Saya menunggu di sini saja.”
Lima menit menunggu, Arsyad duduk di bangku rotan depan rumah Sutrisno. Kakinya pegal karena kursi itu sangat rendah untuk ukuran kakinya yang jenjang. Tak berapa lama, seorang lelaki bertubuh gagah dengan kulit legam berjalan menghampiri. Ada cangkul di tangan kanan, sedang kaus tersampir di pundak. Dia bertelanjang dada, menampakkan tato di sebagian tubuh.
Napas lelaki yang disangka Sutrisno itu masih naik turun. Pun ada beberapa bagian tubuh yang terkena lumpur.
“Siapa, ya?” Sama seperti reaksi sang istri, Sutrisno juga memicingkan mata menatap Arsyad yang sudah bangkit berdiri.
Dari kacamata Arsyad, lelaki paruh baya yang masih gagah ini hanya butuh uang. Karena dilihat-lihat, rumahnya masih kayu menyerupai gubuk, sedangkan pekerjaan sehari-harinya hanya seorang petani. Namun dilihat dari bentuk tubuh dan tato yang menempel di tubuh, lelaki ini juga bukan orang biasa pada masanya.
“Benar dengan Bapak Sutrisno?” Lelaki itu mengangguk.
“Saya menawarkan bantuan untuk keluarga Bapak, dengan jumlah seluruhnya ada 100 juta uang tunai,” ujar Arsyad, sekadar mengiming-imingi. Namun tak diduga, reaksi lelaki di depannya begitu antusias.
Sutrisno meletakkan cangkul. “Benarkah?”
“Tapi ada beberapa hal yang perlu dilalui untuk mendapat uang tunai ini, Pak. Bapak bisa ikut saya ke kota untuk melakukan beberapa survei terkait dengan pengadaan bantuan ini.”
“Bagaimana, apa Bapak bersedia?” Tak ragu, Sutrisno mengangguk mantap.
Lelaki itu langsung saja membasuh bagian tubuh yang kotor melalui selang di samping rumah. Kemudian masuk ke rumah.
Dia kembali keluar dengan membawa tas punggung, ada sang istri juga di sampingnya. Setelah berpamitan , Arsyad gegas membawa Sutrisno berjalan ke arah mobil yang ditinggal di depan komplek. Rumah Sutrisno masuk ke dalam gang sempit, lingkungannya kumuh. Dia berada di ujung, di mana seperti saluran-saluran air mengarah ke rumahnya.
“Kalau boleh tahu, sebelumnya apa pekerjaan Bapak?” tanya Arsyad setelah mereka sudah berada di mobil.
“Sebelumnya saya sering main judi, sampai akhirnya harta saya terkuras habis dan seperti sekarang, terpaksa tinggal di tempat kecil yang kumuh dan bekerja sebagai petani.”
“Sejak kapan Bapak tinggal di tempat tadi?”
“Sudah beberapa tahun, Pak. Semenjak anak saya satu-satunya sakit dan perlu biaya pengobatan. Tapi untung, kemarin sempat mendapatkan pekerjaan dari seseorang dan dibayar, sehingga bisa membiayai anak.” Arsyad mengangguk, sebisa mungkin dia menanyakan hal-hal yang tidak membuat Sutrisno curiga.
“Apa Bapak ada kehilangan sesuatu?”
Sutrisno terlihat berpikir. Kemudian lelaki itu menggeleng ragu.
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...