“Lalu, rencana selanjutnya apa?”
“Kamu ikuti saja, ya. Kalau diceritakan akan panjang.”
Fanya mengangguk. Erwin mengambil earphone dan memasangnya. Menelepon Arsyad sambil mengemudi.
“Sudah siap?”
“Siap, Pak. Semuanya sudah beres.”
“Kamu tunggu di sana sampai saya datang. Jangan ke mana-mana, saya masih ada tugas buat kamu.”
“Baik.”
Setengah perjalanan, Erwin memutar setir ke kiri. Kemudian mengendarai mobilnya lurus mengikuti jalan sempit yang sepi.
Di ujung, terlihat rumah kecil. Ada mobil juga di depannya.
“Ayo, turun!”
Fanya yang masih bengong memikirkan sesuatu mengangguk tergesa. Kemudian ia turun mengikuti langkah Erwin yang menggendong Angeline.
Di depan pintu, Arsyad berdiri. Mengangguk ke arah Erwin dan tersenyum ke arah Fanya.
Setelah Erwin masuk ke rumah kecil itu, Arsyad hendak menyusul. Tetapi Fanya menarik lengan jasnya sehingga lelaki itu berhenti.
“Hm?” Arsyad menaikkan alis. Memandang datar ke arah sekretaris bosnya.
“Kita enggak mau ngapa-ngapain Angeline, ‘kan?”
“Kita lihat saja.”
Fanya mendengkus, kemudian mengikuti langkah Arsyad yang juga masuk ke dalam rumah kecil itu.
Fanya seketika menutup hidung, rumah ini cukup berdebu. Bagaimana bisa Arsyad mengatakan tempatnya sudah siap jika debunya saja tidak dia bereskan.
Erwin sudah mendudukkan Angeline di kursi kayu.
“Perlu diikat, Pak?”
Erwin menoleh. “Tidak perlu.”
“Saya ada tugas untuk kamu,” tambahnya. Arsyad maju, berhadapan dengan Erwin. “Apa, Pak?”
“Sebentar.”
Erwin meninggalkan Arsyad, kemudian berjalan pelan mendekati Fanya. “Berikan KTP itu!”
“Ah, baiklah.” Fanya merogoh tas dan menyerahkan KTP ke Erwin.
“Kamu bisa datang ke alamat ini, kemudian ajak orangnya secara baik-baik, tapi seperti biasa, jika dia tidak mau, paksa!”
Arsyad mengangguk lalu pergi, siap menjalankan tugas.
“Pak? Kita mau ngapain Angeline?” cemas Fanya.
Erwin berusaha tersenyum. Mendekati Fanya. “Hei, kenapa mesti cemas?”
“Pak, masih ada cara lain selain menyakiti.”
Erwin tidak lagi menjawab. Lelaki itu sibuk membuka tas Angeline. Kemudian membuka ponselnya.
“Saya akan menelusuri ponselnya. Siapa tahu masih ada jejak pengiriman video itu.”
°•°
Di sebuah kamar yang luas, berdiri seorang lelaki. Tatapannya menerawang jauh. Memandangi keramaian kota dan lalu lintas di sore hari yang terlihat lengang.
“Adrian!”
Lelaki itu menoleh. “Ma?” sapanya. Tangannya mengusap sudut mata.
Sarah berjalan mendekati putranya setelah sebelumnya sudah menaruh makan di atas nakas.
“Kamu baik-baik saja? Tadi dengar dari Bi Ina, kalau seharian ini belum makan. Kamu juga tidak berangkat kerja.”
Adrian melepaskan napas kasar. Kemudian duduk si sofa panjang dalam kamar.
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomansaKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...