Chapter 21 : Kaze

122 15 2
                                    

俺 たち が 欲望 を 持ってるけど 状況 に 和 現実 が ある。

"Kita mempunyai keinginan namun keadaan mempunyai kenyataan."



Aku dan Eri memutuskan untuk pergi ke Shina untuk mencari Yeon-Hwa di Istana Matahari sementara Elias, Louis dan Shuu akan tetap mencari di Jungdo. Kami berangkat malam itu juga dan aku membawa Eri terbang bersamaku.

Tapi Istana matahari tampak kosong. Hanya ada para penjaga dan pelayan yang bersiap untuk kembali ke kamar masing-masing untuk tidur karena malam sudah sangat larut. Sepertinya benar bahwa semua orang sudah kembali ke Jungdo.

Aku dan Eri memutuskan untuk mencarinya dengan berpencar karena Istana Matahari sangat luas. Aku mencari ke bagian kamar-kamar tamu di lantai bawah sedangkan Eri mencari di lantai atas. Andaikan saja Yeon-Hwa adalah salah satu Naga, maka akan sangat mudah bagi kami mencarinya. Eri terlatih untuk melacak naga, bukan melacak mata-mata yang hilang.

Istana Matahari memiliki luas yang hampir sama dengan Dong-gung. Bukan Dong-gung kedai kami, melainkan Dong-gung yang asli, Istana Timur, tempat ibunya Yeon-Hwa dulu tinggal. Tapi tentu saja Istana Timur jauh lebih indah dari Istana Matahari. Satu-satunya yang indah dari Istana ini hanyalah pemandangan perbukitan dan lembah-lembah yang mempesona saat matahari terbit. Selebihnya, Istana Matahari hanya bangunan megah yang kuno dan penuh dengan ruangan-ruangan yang tak kuketahui isinya.

Istana ini membingungkanku seperti sebuah labirin. Aku selalu merasa salah berbelok, selalu merasa sudah melewati jalan ini sebelumnya, akan sulit sekali mencari seseorang di sini. Aku heran bagaimana Yeon-Hwa bisa memata-matai anggota keluarga Kaisar di sini tanpa tersesat sekali pun. Dia pasti mata-mata yang sangat ahli.

Aku sedang melewati ruang pemujaan di sayap kanan Istana, ruang yang digunakan anggota keluarga Kaisar untuk menyalakan dupa dan menaruh persembahan untuk arwah leluhur dan para Naga, saat aku melihat lukisan yang tak asing bagiku. Lukisan wajahku. Lukisan Aerinear.

Bukan wajahku yang sekarang. Wanita yang ada di lukisan itu sudah dewasa, jika dia manusia biasa, usianya mungkin lebih dari dua puluh tahun. Dia tidak mengenakan alas kaki dan tampak seperti sedang melayang di atas langit. Gaunnya yang terdiri atas kain sutra lembut berwarna putih dan warna-warni pastel tampak beterbangan diterpa angin. Tidak ada gaun seindah itu di zaman sekarang. Rambutnya yang panjang hingga mata kaki berwarna perak, tampak selembut hembusan angin. Dia mengenakan mahkota yang diletakan di antara sepasang tanduk putih miliknya. Tanduknya tampak seperti tanduk rusa jantan, namun jauh lebih indah dan anggun dihiasi perhiasan dari berlian yang berkilauan. Sepasang telinganya, yang menyembul di antara rambutnya yang tertiup angin, tampak runcing di bagian ujungnya. Ada lingkaran halo di sekitar kepalanya. Bibirnya yang berwarna merah melengkung membentuk senyuman damai nan menentramkan. Matanya berwarna merah seperti kobaran api. Seperti darah. Tatapannya tampak menggetarkan jiwa siapa pun yang melihatnya. Aku dulu terlihat seperti itu. Cantik dan mematikan. Mempesona sekaligus mengerikan. Dipuja sekaligus ditakuti. Berbeda dengan sekarang. Aku yang sekarang dikejar dan dikurung serta dijadikan senjata.

"Sedang memuja diri sendiri, Naga Angin?"

Seluruh bulu kudukku meremang saat mendengar suara yang khas itu.

"Yi-Zhuo..."

Dia menyeringai lebar. Crossbow dibidikkan ke arahku. "Halo, Kaze. Senang bertemu denganmu lagi, manis."

Bagaimana bisa Yi-Zhuo tahu aku ada di sini? Kenapa dia ada di sini?

Aku tidak langsung lari. Jika aku lari, Yi-Zhuo akan menembakku. Aku yakin sekali panahnya sudah dilumuri racun Morta. Aku berjalan mundur perlahan menjauh darinya, menuju pintu belakang ruang pemujaan. Tapi baru beberapa langkah aku berjalan, punggungku menabrak sesuatu yang tajam. Ujung tombak.

Lotus of East PalaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang