Pukul delapan malam, Rea masih berkutat dengan laptop dan kertas-kertas kuliahnya.
Pekerjaan rumah sudah selesai dikerjakan. Mulai dari beres-beres dapur, kamar, ruang tv, sampai masak makan malam pun sudah.
Nggak lama dari mencatat materi terakhir pada hari itu, pintu unit apartemennya terbuka. Menampilkan seorang lelaki yang tidak lain adalah suaminya, Galih.
Masuk ke dalam unit dengan penampilan seperti biasanya balik kerja; kemeja dengan lengan digulung sampai siku, rambut yang acak-acakan juga kancing terbuka dua, dan jangan lupakan muka kusutnya yang kelelahan.
Rea masih diam di tempat, Galih menghampiri dengan jarak yang lumayan agak jauh.
"Rea. Kamu udah makan?" Tanya Galih.
Rea menggelengkan kepala. "Belum, tapi udah masak. Nggak sempet makan gara-gara dosennya ngulur waktu kelas."
"Yaudah, aku mandi dulu. Habis itu kita makan bareng." Setelah itu, Galih langsung masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.
Rea merapikan bekas belajarnya dan beranjak menuju dapur, mempersiapkan makan malamnya dan juga Galih. Hari itu, Rea tidak masak banyak karena bahan masakan mulai menipis. Rea baru ingat kalau sudah lewat sebulan, Galih belum belanja keperluan rumah.
Lauk dan nasi sudah siap. Galih menghampiri meja makan dengan tubuh yang lebih segar, tidak seperti saat pulang kerja tadi.
Duduk di area berseberangan dengan Rea. Mereka mulai menikmati makanan yang telah Rea siapkan.
"Bahan masakan udah habis, ya?" Tanya Galih di pertengahan makan malamnya.
"Udah, ini sisa terakhir." Tutur Rea.
"Maaf, aku lupa belanja kemarin karena di kantor lagi sibuk. Besok aku cuti, buat beli keperluan rumah. Jangan lupa buat catatan belanjanya."
"Kenapa harus cuti? Kan ada aku. Kamu fokus aja sama kerjaan, biar aku yang belanja."
Galih menghela nafas.
"Rea, biar aku aja ya yang belanja?"
"Aku tuh kesannya jahat sama kamu. Tugas aku sebagai istri jadi kamu semua yang ngerjain. Kamu udah kerja nafkahin aku, ditambah mengurus keperluan rumah yang seharusnya aku sebagai istri yang ngelakuin itu." Rea terdiam sejenak, menahan air matanya agar tidak keluar.
"Aku kasihan sama kamu, Galih. Aku takut kamu capek. Aku takut kamu ngerasa terbebani walaupun kamu nggak pernah anggap itu beban."
Niat Rea memang baik, tetapi Galih selalu tetap pada pendirian.
"Hari ini kamu masuk ke banyak kelas kan? Pasti capek banget. Habis makan, kamu langsung tidur ya? Nanti aku buatin susu hangat buat kamu biar tidurnya nyenyak."
Dan berakhirlah—seperti biasa—dengan Galih sebagai pemenangnya. Selalu saja seperti itu, keputusan Galih tidak bisa di bantah.
Awal sebelum mereka menikah memang bisa dibilang unik atau aneh? Orang-orang biasanya sebelum menikah, mereka melakukan pendekatan seperti pacaran dan sebagainya. Tapi, lain dengan Galih dan Rea.
Waktu itu, Rea sedang berada di sebuah kafe untuk mengerjakan tugas dari waktu awal-awal semester baru. Saat keadaan kafe sepi, orang asing—Galih, dengan setelan kemeja dan celana bahan, datang menghampiri Rea dan duduk di hadapan perempuan tersebut.
"Kamu, Rea?"
"Iya, saya Rea. Apa Ada perlu dengan saya?"
"Menikahlah dengan saya dalam waktu dekat."
Ungkapan dari orang asing seperti Galih waktu itu bisa dibilang tidak sopan. Rea langsung menghadiahi Galih dengan tatapan tidak sukanya.
"Maaf, kita baru beberapa detik yang lalu bertatap muka. Apa kamu nggak salah orang?"
"Saya bisa buktikan sama kamu kalau saya nggak salah." Galih menatap Rea dengan seksama. "Kamu anak dari Surya Danadipta, bukan?"
Rea terkejut, lalu mengangguk kaku. Lalu, mereka berdua beranjak dari kafe untuk menuju ke kediaman Rea. Entah mengapa, firasat Rea tentang Galih tidak buruk. Saat sampai di kediaman Rea, sang ayah, Surya. Langsung menyambut dengan hangat dan dengan mudah menerima Galih saat lelaki itu meminta izin untuk menikahkan Rea dalam waktu dekat.
Pernikahan mereka berlangsung beberapa hari setelahnya dengan sederhana dan hanya dihadiri oleh orang-orang terdekat saja.
Tentu saja terlalu mendadak menurut Rea.
Rea tidak tahu apakah Galih mencintai dia atau tidak dan begitupun sebaliknya. Rea takut jika mereka berakhir dengan meja hijau.
Setelah menikah pun, mereka tidak tidur sekamar. Rea juga nggak dibolehin keluar apartemen barang sejengkalpun. Dan yang paling parah, mereka nggak boleh terlalu dekat jika di rumah. Hanya boleh jika di ruang makan yang berdekatan dengan dapur atau ruang tv.
Aneh sekali bukan?
Tapi, Galih bilang. Dia mengatur semua itu untuk menjaga Rea katanya. Karena nggak mau bantah juga nggak ngerti apa-apa, Rea nyerahin semuanya sama Galih karena nggak ada gunanya dia nanya lebih jauh. Jawabannya pasti sama, mau jaga Rea.
Kadang-kadang, Rea berontak. Hampir menginjak dua tahun dia di dalam apartemen nggak ngapa-ngapain—pengecualian kuliah sama ngurus rumah.
Seperti saat makan malam itu contohnya.
Keputusan Galih mutlak. Rea bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan makan malam. Menuju dapur dengan perasaan campur aduk yang sering ia alami dan duduk di atas kasur sambil menutup tubuhnya dengan selimut.
Pintu terketuk dari luar, menandakan susu hangat buatan Galih telah berada di depan pintu.
Dengan cepat ia keluar kamar, berharap Galih masih berada di sana. Tapi ternyata nihil, Galih telah lebih dulu masuk ke kamarnya sendiri.
Malam itu, seperti biasanya. Rea harus mengalami lagi rasa sesak dan menangis sampai tertidur, menghiraukan susu buatan Galih yang hanya ditatap gelasnya saja membuat Rea begitu sakit.
[02.06.2022]
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW TO EXPLAIN?
Narrativa generale[ ꜰᴇᴀᴛᴜʀɪɴɢ ᴄʜᴀɴɢʙɪɴ ] Ada sesuatu dibalik perlakuan Galih yang membuat Rea bertanya-tanya, apa maksud semua ini? 𝙨𝙝𝙤𝙧𝙩 𝙨𝙩𝙤𝙧𝙮 -𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞 [ 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭 𝐰𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠 ] violence and etc. 𝐡𝐨𝐰 𝐭𝐨 𝐞𝐱𝐩𝐥𝐚𝐢𝐧? 𝟐𝟎𝟐𝟐 © 𝐬𝐜...