08 - Maura

141 10 0
                                    


Tinggalkan jejak kalian ya readers

****
Seperti ajakan Naluri sebelumnya, kini dia kembali membelah jalan bersama suaminya. Mencari Maura yang pergi entah ke arah mana.

Kendaraan beroda empat itu dibuatnya berjalan lamban agar mempermudahnya dalam pencarian. Naluri begitu cekatan menyisir ke berbagai arah, banyak orang pejalan kaki yang berlalu lalang. Dia memandangi wajahnya satu persatu. Akan tetapi, usahanya nihil tidak ada Maura di sana.

Begitu juga dengan Khalil yang fokus dalam pencarian sang pujaan kekasihnya. Meski dalam hatinya masih ada luka yang belum sembuh, tapi dia tidak bisa jika harus berlama-lama membiarkan Maura begitu saja.

Dia takut ada sesuatu hal yang terjadi padanya. Jika saja ada insiden buruk yang menimpa kekasihnya, dia tidak akan mengampuni dirinya sendiri karena telah gagal dalam menjaganya.

"Kakak tahu tempat yang paling dia sukai?" tanya Naluri menyelidik.

"Tempat yang dia sukai itu banyak, Luri." Khalil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

"Gimana kalau kita coba ke semua tempat itu? Tapi, kunjungi saja tempat yang paling sering dia kunjungi saat ada masalah yang terjadi pada dirinya," ucap Naluri memberi saran. Khalil tampak berpikir, tapi beberapa menit kemudian dia menyetujui dan langsung bergegas ke tujuan pertama.

Sebuah taman bunga, di sana tumbuh banyak berbagai jenis tanaman bunga yang bermekaran. Naluri saja sampai takjub melihat keindahan yang baru pertama kalinya dia temui.

"Mauraku sangat menyukai berbagai jenis macam bunga," ucap Khalil menjelaskan sambil melangkah mengitari taman bunga.

Sesekali Naluri menghentikan langkahnya, sekadar menciumi harumnya bagai parfum Prancis. Tangannya menyapa dedaunan yang hijau, begitu asri hingga memanjakan kedua mata bagi siapa pun yang melihatnya.

"Kamu tahu tempat ini darimana?" tanya Naluri sambil memandangi keindahan sekitarnya.

"Tempat ini sengaja aku buat khusus untuk Maura." Jawabannya membuat Naluri mengatupkan bibirnya. Sebegitu cintanya Khalil pada kakak angkatnya, apa pun yang dia inginkan selalu saja dituruti dengan semaksimal mungkin.

"Jujur aku suka lihatnya."

"Baru kali ini aku membawa orang selain Maura. Karena sebelumnya hanyalah Maura yang kuperbolehkan menginjak taman bunga ini," ucap Khalil menjelaskan lagi.

"Terima kasih karena sudah mengajakku sebagai tamu," ucap Naluri pelan, sambil melemparkan senyuman termanisnya. Khalil hanya melemparkan tatapan tajam.

Dikarenakan Maura tidak ditemukan di taman bunga itu, Khalil jadi berpikir kekasihnya mungkin tidak bersembunyi di tempat yang pernah mereka kunjungi.

Ada rasa takut yang menggerogotinya, Maura tidak mungkin melarikan diri begitu saja. Khalil berpikir semua kejadian ini pasti ada dalang yang mempermainkannya.

"Apa Mauraku disekap oleh seseorang?" tanyanya lirih tapi masih bisa terdengar oleh Naluri.

"Apa kita meminta polisi aja untuk mencarinya, Kak?" tanya Naluri memberi saran.

Khalil tampak berpikir, tapi setelahnya dia mengangguk. "Kita hubungi dulu umi."

***
Tatapannya kosong mengarah pada jam dinding yang berputar pada jarumnya. Sesekali dia menyeka air matanya yang berjatuhan.

Kedua matanya tidak pernah mengering karena buliran bening itu selalu saja membanjiri sampai ke permukaan pipinya.

Rasa bersalah, takut dan dosa yang ditanggung olehnya seolah menghantui. Dia mengigiti jarinya gemas, terkadang sampai berdarah tapi tidak ada rasa sakit di sana. Sakit yang dirasakannya di dalam dada, sesak rasanya mendapatkan permasalahan yang serumit ini.

"Khalil aku rindu," ucapnya lirih nyaris tidak terdengar.

Setelah lama berada di bukit, dia memutuskan untuk menetap di salah satu apartemen. Menjauh dari keluarganya mungkin akan lebih baik, pikirnya.

Entah apa yang akan dilakukannya setelah ini, dia tidak tahu harus merencanakan apa. Jujur saja, Maura tidak bisa berlama-lama jauh dengan keluarga juga Khalil.

"Umi maafkan Maura," ucapnya. Dia terisak menangis, tidak kuat untuk menghadapi segalanya.

Beberapa bulan kemudian perutnya akan membuncit, dia tidak bisa untuk menemui keluarganya bahkan Khalil. Jika tidak secepatnya bayi itu dikeluarkan, masa depannya akan runtuh begitu saja.

Padahal dia sudah berusaha meminum penggugur kandungan, tapi usahanya tidak berhasil. Janin yang ada dalam perutnya malah sangat kuat, dia semakin yakin dengan rencananya. Melahirkan bayi itu sampai waktunya dan menitipkannya di sebuah panti. Mungkin akan lebih baik jika seperti itu.

"Setelah bayi ini lahir, aku akan melupakan segala kisah tangis ini. Dan akhirnya aku akan bahagia," ucapnya sambil terisak. Perlahan dia mengelus perutnya, lalu tersenyum samar.

Usia kandungannya sudah menginjak empat bulan, tapi masih terlihat sangat kecil karena kandungan pertamanya.

Janinnya sudah empat bulan, tapi dia mengetahui kehamilannya saat di hari pernikahannya. Hal itu terjadi karena Maura terlalu banyak pikiran. Dia merasa sangat jijik dengan dirinya karena telah melakukan hal yang seharusnya tidak di lakukan. Beberapa bulan dia sangat terpuruk, mengurung dirinya di kamar hanya saja saat membaur dengan keluarga, dia melupakan segala masalahnya. Hingga tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya.

"Kamu terlalu kuat," ucapnya lirih sambil terus mengelus perutnya.

Lima bulan lagi bayi itu akan segera lahir, mengganti statusnya sebagai seorang ibu. Akan tetapi, kenapa harus sekarang?

"Bagaimana aku menutupi kehamilan ini? Sedangkan dia akan semakin terlihat?" ucapnya lirih.

Meski tidak terlihat oleh orang yang dikenalnya, tapi tetap saja dia sangat malu jika nanti ditanya, berapa bulan?

Ditanyai soal kehamilan, hanya akan membuat hatinya sakit mengingat kejadian yang menimpanya. Bahkan menyadarkannya bahwa dia kotor dan menjijikkan.

Maura menyambar benda pipih di sampingnya, handphonenya dimatikan karena sudah banyak orang yang menghubunginya. Dia membuka kartunya agar tidak ada seorang pun yang bisa menanyakan keberadaanya.

Dia membuka layar handphonenya kembali menghidupkannya. Sekadar merefreshkan pikirannya yang terlalu banyak permasalahan. Sekadar melihat-lihat foto wajah sang kekasih dari galerinya, membuat sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk senyuman.

Ada juga foto dirinya dengan Khalil yang sangat tampak serasi, apalagi saat di atas pelaminan pasti aura keserasiannya akan semakin terlihat.

Setiap kali bertemu Khalil selalu saja mengatakan keinginannya untuk segera memiliki Maura sepenuhnya, karena itu salah satu impiannya.

Tidak bisa dia bayangkan keadaan kekasihnya sekarang bagaimana. Pastinya sangat terpukul karena impiannya dari dulu kini telah pupus yang dikarenakan oleh kekasihnya sendiri.

Maura semakin terisak saat mengingat dirinya telah jahat, mematahkan hati kekasihnya begitu saja, bahkan setelah melukainya dia ingin kembali pada Khalil.

Tidak mau larut mengingat kekasihnya, Maura mengalihkan foto itu pada kumpulan gambar dengan keluarganya.
Umi, abi, Rika, dirinya, dan Naluri adik angkatnya.

Di dalam gambar satu keluarga itu mengenakan pakaian seragam, batik solo. Maura berdiri di tengah antara kakaknya dan adik angkatnya. Dia jadi teringat pada kenangan itu. Di mana saat photograper membiarkan mereka untuk mengatur posisi, Maura memperebutkan posisinya dengan Naluri.

Seharusnya Naluri yang berada di tengah antara Rika juga dirinya, karena tinggi badan adik angkatnya itu pendek, sedangkan tinggi kedua kakak angkatnya melebihi bahu si adik.

Akan tetapi, Maura merebut posisi itu. Dia ingin dirinya yang berada di tengah, atas keinginan kerasnya akhirnya Naluri mengalah.

"Mbak Rika, aku rindu. Naluri, adik kecilku, pasti sekarang kamu kewalahan mencari kakak iya kan?" tanya Maura sambil mengekeh.

Tatapannya menangkap pada gambar seorang pria yang terduduk di samping umi. Wajahnya terlihat tegas,  Maura sangat merindukan sosoknya yang selalu memberinya nasihat juga kasih sayang yang tiada tara.

"Abi, maafkan putrimu. Maura rindu abi."

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang