Malam menyapa. Beberapa saat yang lalu Raya kedatangan tamu. Mereka adalah orang tua kandung Lina.
"Selamat datang bu," ucap Raya ramah.
"Terima kasih nyonya."
"Raya saja bu, ga enak didengar soalnya," balas Raya dengan senyuman.
"Bunda, udah siap makanannya," ucap Lina. Raya meminta Lina untuk bersalaman dengan Dadang dan Nani, orang tuanya. Namun Raya belum memberitahu kebenarannya.
"Kamu sudah besar nak," ucap Nani haru. Lina hanya tersenyum dan mempersilahkan keduanya masuk.
"Oh ya Aida ga ikut?" tanya Fajri. Ucapan Fajri mendapat tatapan tajam dari Fenly. Raya nya sih santai.
"Ngapain nanya cewe lain? Adik gua ga cukup?" ketus Fenly.
"Cuma nanya, kan yang tau Aida, takutnya tadi mereka nyasar," jawab Fajri santai.
"Berantem teroos," timpal Arkan.
"Arkan," tegur Raya.
"Maaf,"
Setelah makan malam, Raya banyak berbincang dengan Nani sedangkan Fajri nampak membicarakan hal yang amat serius. Sedangkan Fenly, ia nampak menggunakan jaket kesayangannya sejak menjadi ketua geng. Ia akan mengunjungi markas Ganapati, sudah lama ia tak kesana.
"Abang mau kemana?" tanya Raya.
"Markas, bentar kok," Raya hanya mengangguk pelan. Sejak Kaila meninggalkan mereka, Fenly terlihat begitu murung. Kaila telah tiada satu tahun yang lalu. Waktu itu terjadi penyerangan dirumah ini, tepatnya saat Fajri mengajak anak-anak untuk berlibur sebentar. Kaila melindungi tubuh Fenly dari peluru, karena ia tau Raya begitu trauma dengan penembakan yang terjadi pada Fenly. Tak hanya satu, namun beberapa peluru tembus kedalam tubuhnya. Dymasius, mereka lah pelaku utamanya.
"Bu, ini kan sudah malam, lebih baik ibu tinggal disini semalam, besok kami antar," ucap Raya ramah. Nani hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah meminta Lina dan Alya mengantar Nani kekamar tamu, Raya mengambil jaket dan kunci motornya. Motor ini sudah lama tak ia gunakan. Jaket dengan logo Cemal membuat Raya terlihat seperti anak muda.
Tempat yang ia tuju saat ini adalah markas Ganapati. Ia ingin memastikan kakaknya disana. Tanpa sepengetahuannya, Arkan membuntuti nya dengan diam-diam mengambil kunci motor. Motor Arkan sedang disita kalau kalian lupa.
"Loh Ray, mana Fenly?" tanya Gilang. Mereka berdua sudah sepakat untuk mengunjungi markas mereka setelah beberapa tahun ditinggal.
"Bang Fenly tadi ijin ke gua mau kesini," ucap Raya. Masih seperti Raya yang dulu.
"Kita malah nungguin dia kak," ucap salah satu anggota Ganapati. Tanpa berfikir, Raya langsung meninggalkan area markas Ganapati. Merasa ada yang tak beres, Gilang pun mengikutinya. Kini dua motor mengikuti Raya dari belakang. Raya tak memperdulikan itu semua, ia ingin cepat sampai ditempat tujuannya.
"BUNDA JANGAN NGEBUT!" teriak Arkan. Akhirnya ia mengeluarkan suara saat laju motor Raya meningkat drastis.
"Lah Arkan ternyata," gumam Gilang. Motor Raya berhenti di sebuah area permakaman. Ia mendapati motor Fenly disana.
"Arkan? Ngapain?"
"Khawatir sama bunda," jawab Arkan. Raya bergegas menuju sebuah makam dan benar saja, Fenly tengah merenung disana.
"Bang," Fenly menatap Raya dan segera menghapus air mata nya.
"Raya? Ngapain?"
"Raya khawatir sama abang, bilangnya mau ke markas, demen banget sih bikin khawatir," ucap Raya. Lebih tepatnya mengomel.
"Maaf," Fenly melirik Arkan dan Gilang yang ada dibelakang Raya.
"Udah dibolehin naik motor?"
"Kabur jalan yang ku tempuh," ucap Arkan.
"Raya ke markas tadi, udah Fen, ikhlasin," ucap Gilang.
"Maafin Raya bang, kalau aja Raya ga trauma sama pistol pasti Raya nolongin Kak Kaila," ucap Raya dengan pandangan ke tanah
"Bukan salah kamu Ray, udah pulang yuk, Lang kerumah gue, banyak yang mau gue omongin," Gilang tersenyum sumringah. Lumayan makanan gratis.
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai dikediaman, eum Maulana Fajri atau Fenly Alfenzo? Soalnya beli nya patungan. Oke lupakan.
Mereka disambut dengan tatapan Fajri. Tatapan tersebut tepat mengarah ke putranya, Arkan. Arkan bersembunyi dibalik badan Fenly, berharap mendapat perlindungan.
"Dia jagain Raya tadi," ucap Gilang, seakan tau maksud tatapan Fajri.
"Masuk," Gilang berdecak. Seperti itukah menyambut tamu?
"Lang, keruangan gua," pinta Fenly. Gilang hanya mengangguk dan mengikuti langkah sahabatnya.
"Ikhlas Fen, lo masih punya Raya," ucap Gilang setelah mereka sampai di ruangan Fenly.
"Susah Lang, lo taukan gimana gue sama Kaila dulu? Bahkan lo yang jadi saksi gue nembak Kaila dulu."
"Iya gue tau, tapi cara lo yang kayak gini buat Raya merasa bersalah. Kaila tau bagaimana jadinya kalau dia ga lindungi lo, bisa jadi lo diposisi Kaila dan-"
"Lebih baik gitu Lang," potong Fenly.
"Kemungkinan Raya di RSJ, lebih baik itu?" ucapan Gilang membuat Fenly mengeluarkan tatapan elang nya. Gilang hanya terkekeh.
"Lo marah? Silahkan, tapi itu kemungkinan terbesar. Lo koma aja Raya hampir bunuh diri, apalagi liat lo terkubur Fen. Lo tau, Fajri iri sama lo, dia suami Raya, tapi perhatian Raya ke lo semua, jangan bikin Raya khawatir terus Fen. Raya punya Fajri, Arkan, dan Lina yang juga butuh perhatian Raya. Sekarang lo pikirin gimana cara lo jadi papa sekaligus mama buat Anis sama Alya. Mereka butuh kasih sayang lo Fen," Gilang menang bisa diandalkan. Ntah masuk atau tidak kalimat panjang lebarnya, yang penting ia sudah menasehati sahabatnya ini.
"Melupakan tak semudah yang dibayangkan, Lang," gumam Fenly.
"Lah itu lo tau, Raya juga gitu Fen, buat lupa sama kejadian penembakan dulu itu susah, apalagi kakak kesayangannya hampir mati. Come on boy, jadi Fenly yang dulu, anak lo butuh lo Fen," lanjut Gilang. Fenly memijat pangkal hidungnya. Ia memejamkan matanya sejenak.
"Lang, kok gue ngerasa Raya pembawa sial," Gilang membulatkan matanya dan
Bugh
"Gila lo, kenapa lo ngomong gitu, dia adik lo, permata lo, lo sering ngomong itu ke gua!" bentak Gilang.
"Andai dulu gua ga ngelindungin dia, pasti trauma itu ga ada Lang, dan ga tau kenapa gue perhatian banget sama dia si anak pelakor," lanjut Fenly.
"FENLY CHRISTOVEL ALFENZO!"
Weh koko nyebut, ngapa ngomong gitu sih
Jangan lupa vote ya biar makin semangat ngetiknya
KAMU SEDANG MEMBACA
AA Davendra : End ✅ [Proses Revisi]
Novela JuvenilRexsan Series 1a Kelakuan anak usia 5 tahun yang sudah mengerti banyak tentang dunia luar. siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mengajari. ia didik agar bisa melindungi yang lemah dan membela kebenaran, ia juga diajari beladiri sejak dini. ya walaupu...