Sebuah Sambutan Jahat.

7.9K 906 48
                                    

Raden Paradikta Djati Danendra, Prisha kira dia tak kan melihatnya lagi—selain di tayangan televisi kemarin, itu pun dia tak sampai bersemuka kan. Bagaimana pun, dunia milik Prisha saat ini dan dunia yang Paradikta huni praktis bertolak belakang. Kemungkinan mereka untuk saling bergesekan sangatlah kecil.

Selama ini, Prisha jelas lebih banyak menghabiskan waktunya di Bogor. Bahkan, jika kemarin Prisha tega menolak Mona yang memintanya untuk tinggal demi bantu-bantu di florist, malam ini Prisha tentulah sedang duduk di teras rumah kontrakannya sembari melihat kunang-kunang yang cuma tinggal satu-dua berterbangan dalam kegelapan di kampung tempatnya menetap.

Namun, sayangnya semua itu hanya terjadi dalam bayangan liar nan sarat sesal Prisha. Realitasnya, dia justru di sini. Duduk bagai seonggok batu di atas keramik dingin di ruang kos-kosan yang Jesika sewa.

Tak seperti rencana awal di mana mereka harusnya makan malam dengan menyantap pecel lele, Prisha yang seakan tuli, tak mendengar cacing-cacing di perutnya yang sejak siang belum kunjung dia pakani, malah cuma lurus-lurus menatapi ranjang kecil Jesika yang kini ditiduri oleh sesosok pria yang semestinya tidaklah berada di sana.

Yah.

Bukan cuma tubuhnya yang kebesaran untuk kasur lusuh Jesika hingga kakinya terpaksa Prisha ganjal menggunakan tumpukan selimut supaya tetap sejajar dengan anggota tubuh lain ketika dia berbaring. Melihat Paradikta yang kulitnya kendati tak putih pucat, tapi bersih. Em, biar pun sekarang tepat di kawasan bawah matanya agak menghitam bukti betapa kurangnya dia beristirahat. Lalu, kemejanya yang meski hitam polosan, tapi harganya udah jelas pricey. Bukan di sini sih, Paradikta tempatnya minimal ya tiduran di hotel bintang 5. Darah birunya bisa alergi kalau berdekatan dengan sesuatu yang merepresentasikan kemiskinan semisal kos-kosan ini atau bahkan Prisha, seperti yang dulu sempat laki-laki itu umbarkan saat tahu-tahu mengusir Prisha dari hidupnya.

Benar.

Sebelum memutuskan memohon pada Jesika untuk membawa serta Paradikta yang masih jatuh pingsan pulang ke indekosnya dengan dibantu oleh seseorang di sekitar tenda pecel lele yang Jesika kenal, harusnya Prisha mikir dulu. Kalau nanti Paradikta bangun apa memang yang bakal dia katakan?

Masih untung kalau laki-laki itu tidak bikin onar. Bagaimana jika kebenciannya kepada Prisha ternyata masih menggunung sampai sekarang? Dengan mudah dia tentu bisa mengacak-ngacak kosan Jesika.

Huh, memang ya penyesalan selalu muncul di akhir sehingga kebanyakan dari mereka udah tak ada lagi gunanya kalau dipikir-pikir.

"Mbak? Pssst, psstt! Mbak Prish?"

Prisha dengan defensif sontak menarik jauh-jauh lengannya yang barusan saja terasa dicolek-colek pelan. Dia kaget, tapi lantas mendesahkan samar napasnya begitu melihat Jesika yang masih lengkap dengan kerudung merahnya lah, yang kini tengah menatapinya sambil lebar-lebar menyengir—which is dia mengaku juga bahwa dialah sang tersangka.

"Jes ngagetin ya, Mbak?" tanyanya kemudian, hanya dibalas Prisha melalui sebuah gerakan menaikan alis yang super-minimalis.

Tak ayal cewek itu langsung menggaruk-garuk kepalanya yang seratus persen grogi bukannya gatal untuk lanjut berujar tak enak, "Maaf ya kalo Mbak Prishnya jadi ngederegdeg barusan. Padahal Jes udah berusaha manggilnya pelan-pelan." Bibir Jesika yang gincunya udah pudar pun mengerucut. "Ini Jes mau ngasih tahu aja kalo Jes udah taro pecel ayam punya Mbak Prish ke piring. Nasinya juga hangat. Mbak Prishnya udah duduk di sini dari tadi jadi mending makan dulu, yuk?" bujuknya antusias.

"Apa perlu ke dokter?" Prisha menimpali datar.

"Hah? Gimana? Mbak Prish perutnya nggak enak? Mau Jes anter ke dokter aja? Punya maag emang Mbaknya? Dari tadi padahal kita makan dulu biar Mbak nggak kumat," Jesika menyerocos, dia bahkan udah berdiri dan terlihat pontang-panting membereskan barang-barangnya; handphone, dompet, bahkan juga bedak serta lipstik, untuk dimasukan kembali ke dalam tas. Pikirnya, mereka bakal segera ke dokter kali.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang