3. Anak panah, Berburu, Serigala

49 19 25
                                    

"Kami semua akan pergi petang hari ini." Seamus mengintip malas ke arah Jocelyn yang sedang sibuk membenahi kamarnya. Meletakkan barang-barang yang berserakan menutupi lantai kayu ke tempat seharusnya. Pria berkulit kecoklatan itu menggeram lirih, menarik selimut sampai ke atas kepala. Dia sudah malas mengusir Jocelyn dan memohon padanya untuk membiarkan sejumlah anak panah kayu, sarung tangan yang sudah sebelah-sebelah, kaos kaki, sarung pisau, gunting, dan lingkaran target tetap pada tempatnya. Di lantai. Namun, Jocelyn memprotes kalau kebiasaan tidak beraturan Seamus hanya membuat tempat tinggalnya yang sudah seperti lubang tikus, jadi makin sempit.

Perempuan itu tidak bercanda soal lubang tikus. Secara harfiah, Seamus menumpang tidur di bilik ini lebih dari sepuluh tahun lalu, saat ayahnya meninggal. Rumah satu-satunya milik pria tua yang lebih pintar membidik hewan daripada membaca itu sekarang sudah menjadi lumbung.
Seamus menjualnya kepada tetangga yang mengelola sawah, sementara dirinya mengisi bilik reyot di belakang gereja tua usai ditawari pendeta yang sekarang juga menjadi ayah angkatnya.

Saking kecilnya tempat ini, dua orang di dalam saja sudah terasa sempit. Panjang di dalam kurang dari sepuluh langkah, lebarnya apalagi. Jadi kalau Jocelyn berkunjung dan mulai sibuk mondar-mandir untuk menciptakan ruang, seolah memindahkan benda-benda di lantai dapat membantunya memperoleh kelebihan tempat, maka Seamus hanya bisa duduk di atas kasurnya.

Dalam ruangan ini, dia hanya punya satu kasur dan satu lemari setinggi lutut dengan dua laci berisi pakaian dalam. Baju sehari-hari, pakaian dan alat-alat berburunya diletakkan di mana-mana. Seamus tidak keberatan berbagi tempat untuk barang kepunyaannya sendiri, jadi tidak jarang dia menindih pisau dan tidak sengaja melukai dirinya. Ini juga alasan kenapa pakaiannya selalu kusut.

Jocelyn memasukkan anak panah terakhir ke dalam tabung, lantas menggantung benda itu di atas paku sebelah kusen jendela. "Semuanya ikut?"

"Hanya pria dewasa yang masih kuat," ucap Seamus sambil menguap lebar. Dia mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang masih pecah belah. Meskipun setengah sadar, fokusnya saat diajak bicara cukup bagus. Kadang-kadang Jocelyn merasa Seamus menjawab pertanyannya sambil tidur. "Ini akan jadi acara berburu terbesar untuk desa kita."

Jocelyn tidak membalas, dia bersandar pada dinding kayu yang berderit dan memperhatikan temannya. Semalam ayahnya, Adam Brave, pulang terlambat. Sejak menemukan jasad Naomi dan mengikuti acara pemakamannya, pria itu langsung mengunjungi balai desa dan tidak kembali sampai matahari nyaris naik memulai hari baru. Adam hanya mengisi perut dengan sepotong roti hambar dan segelas teh dingin, setelahnya penebang kayu itu beranjak ke kasur dan tidur tanpa mengatakan apa pun. Bukan hanya Jeremiah yang merasakan guncangan kuat melihat putri pertama mereka tewas mengenaskan.

"Jaydon ikut juga?"

Seamus menahan tawanya di hidung. "Aku bertaruh dia bahkan tidak bisa memukul lalat. Kutu buku itu hanya akan menghambat kami. Kalau dia mau ambil bagian, bisa saja. Jadi umpan."

"Benar juga." Jocelyn tersenyum. "Jadi kalian akan memasuki Red Woods?"

"Iya, ramai-ramai." Seamus meraih keranjang dekat bantal kepalanya, menarik serbet merah dan tampak semrigah setelah melihat isi benda ayaman tersebut. "Awalnya banyak yang menetang, tetapi kita juga tidak bisa diam saja kalau ada makhluk mengerikan yang nyatanya berhasil melompati gerbang depan. Mengendap tanpa suara seperti seekor kelinci dan membunuh manusia." Tangan lebar Seamus menemukan jenis roti kesukannya, masih hangat dan mengeluarkan bau mentega juga keju. Dia berdecak, roti mahal. Tangannya terangkat ke depan wajah, memberi gestur seolah sedang menawari potongan roti itu kepada Jocelyn.

"Manusia bisa berpura-pura jadi predator berbahaya dengan senjata di tangan mereka dan mulai berburu lebih awal." Seamus menggigit sarapannya setelah Jocelyn menggangguk sebagai balasan ucapan terima kasih pria pirang itu. Bunyi renyah kulit roti yang super garing membuat Seamus bergumam puas. "Kau benar-benar harus membuka toko," gumamnya.

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang