53. Pelampiasan Emosi

48.3K 2.2K 59
                                    

"Kamu kok kayaknya seneng banget kalau dikirim magang jauh?" tanya Zein. Ia tidak suka dengan jawaban Intan barusan.

"Hah? Seneng gimana, sih?" Intan balik bertanya. Ia tidak merasa senang atau apa pun.

"Ya kita kan baru nikah, terus kamu kayak santai banget meski dikirim ke perbatasan. Harusnya gimana, kek," sahut Zein, sebal.

Intan tersenyum. "Ya terus aku harus gimana? Nolak? Kan gak mungkin. Sebagai dokter muda, aku cuma bisa nerima aja apa pun keputusan yang diberikan," jelas Intan.

Zein menghela napas. Padahal ia ingin mendengar Intan mengeluh. Dengan begitu Zein merasa dibutuhkan. Namun ternyata Intan tak merasa keberatan sama sekali.

"Setidaknya kamu bisa protes jika memang keberatan. Tapi kalau kamu memang senang jauh dari saya, ya silakan!" ucap Zein, kesal.

Intan mengerutkan keningnya. "Hem ... kayaknya Mas yang keberatan jauh dari aku, ya?" tuduh Intan.

Zein terkesiap. "Kamu gak usah ge'er!" sahutnya, salah tingkah.

"Bukannya ge'er, sih. Cuma kan selama ini emang Mas yang selalu butuh aku. Wajar sih, kalau gak ada aku, mau minta jatah sama siapa lagi. Hem ... nasib, jadi istri cuma dibutuhin pas lagi pingin aja," gumam Intan sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.

"Oh, jadi kamu merasa seperti itu? Jadi apa yang saya lakukan selama ini gak kamu anggap?" Zein semakin kesal dibuatnya. Ia merasa selama ini dirinya sudah memberikan perhatian lebih pada Intan. Namun ternyata Intan malah bicara seperti itu.

"Entahlah, antara perlakuan dan ucapan Mas tuh gak sinkron. Jadi aku bingung dan gak bisa menyimpulkan. Yang aku tau, Mas itu gak cinta sama aku dan pernikahan ini emang cuma karena perjodohan. Jadi untuk apa aku harus memikirkan nanti magang mau dikirim ke mana? Toh gak ada orang yang bakalan merasa kehilangan, kan?" sindir Intan sambil melirik ke arah Zein.

Niat hati ingin mengaku, tetapi ucapan Intan malah semakin menyebalkan. Akhirnya Zein mengurungkan niatnya. Ia merasa momennya belum tepat.

"Kalau kamu hamil, bagaimana?" tanya Zein.

"Ya gak gimana-gimana. Toh hamil pun gak akan merubah keadaan. Kalau emang aku harus pergi jauh, ya tetap pergi," jawab Intan lagi.

"Tapi kan nanti di sana kamu pasti repot. Kalau kamu ngidam, mau minta sama siapa? Terus kalau kamu kenapa-kenapa, siapa yang mau nolong?" tanya Zein, serius.

Intan mengerungkan wajahnya. "Mas kok emosi? Kenapa serius banget bahasnya? Lagian kan belum tentu juga aku magangnya jauh. Atau jangan-jangan Mas sudah tahu sesuatu?" tanya Intan.

Zein gelagapan saat ditanya seperti itu. "Tau apa?" Ia balik bertanya.

"Entahlah. Dari sikap Mas, sepertinya Mas sudah tahu kalau aku mau dikirim ke tempat yang jauh," tuduh Intan.

Zein menghela napas. "Saya ini hanya antisipasi. Hidup itu kan harus ada antisipasinya. Saya cuma gak mau kalau nanti istri saya terlantar di perbatasan." Zein kelepasan.

"Perbataasan?" tanya Intan.

"Y-ya maksudnya di tempat yang jauh. Perbatasan kan jauh," jawab Zein, gelagapan.

"Ooh, gak masalah, sih. Aku yakin di sana pasti banyak yang bantu aku. Apalagi di perbatasan itu pasti ada pasukan khusus yang menjaga. Jadi aku pasti aman," sahut Intan.

Zein langsung menoleh ke arah Intan. "Oh, jadi itu alasannya kamu pingin pergi jauh? Kamu sengaja pingin ketemu cowok lain?" tuduh Zein.

"Ih, Mas ini apaan, sih? Ngomongnya udah ngelantur ke mana-mana. Kenapa? Mas cemburu? Kalau cemburu tuh ngomong aja, Mas! Gak usah marah-marah gak jelas!" ucap Intan, kesal.

Kebetulan saat itu mereka sudah tiba di rumah. Intan pun langsung turun dan membanting pintu mobilnya.

Brug!

"Argh!" Zein memukul stir mobil karena terlalu kesal.

"Bagaimana caranya aku membatalkan permohonan itu?" gumam Zein sambil menjambak rambutnya sendiri.

Tidak mudah baginya untuk membatalkan permintaannya tersebut. Sebab, image dan profesionalismenya akan dipertaruhkan.

Zein pun turun dan mengejar Intan. Jika sedang emosi seperti itu, gairah Zein memuncak. Sehingga ia menarik Intan ke kamar.

"Mau apa, Sih?" tanya Intan, kesal. Saat tangannya digandeng oleh Zein.

"Mau bercinta," jawab Zein, jujur. Lalu ia membuka pintu kamar.

Ceklek!

"Mas aneh banget. Kita kan baru sampe rumah. Lagian tadi juga abis berdebat. Masa langsung pingin begitu?" keluh Intan. Namun Zein tidak menjawabnya dengan ucapan. Ia langsung membungkam bibir istrinya itu.

Intan mencubiti dan memukuli tubuh Zein karena kesal. Namun Zein tak terpengaruh sedikit pun.

"Karena kamu sangat menggairahkan ketika sedang marah. Jadi sering-seringlah marah jika kamu mau saya bergairah seperti ini," sahut Zein tanpa melepaskan tautan bibirnya. Kemudian siang itu mereka pun melakukan pergulatan panas.

Benar apa kata Zein. Jika sedang marah seperti itu, gairah mereka semakin terbakar. Seolah bercinta adalah cara untuk melampiaskan seluruh emosi mereka. Sehingga mereka melakukannya dengan sangat panas.

"Terima kasih," ucap Zein sambil mengecup kening Intan setelah mereka selesai bergulat.

"Mulai sekarang, kalau kamu ajak saya berdebat, saya anggap artinya kamu mau kita bercinta," lanjutnya sambil mengusap kepala Intan. Lalu ia beranjak menuju ke kamar mandi.

"Mau marah, tapi enak. Hiks," gumam Intan, pelan. Bagaimanapun ia menikmati permainan mereka siang itu. Sehingga Intan tidak mungkin marah pada Zein.

"Tapi bener juga ya yang dia bilang. Emang sensasinya beda sih kalau begitu pas abis marah, tuh. Kayak udah lama gak ketemu," ucap Intan sambil tersenyum. Wajahnya merona karena malu.

Hari berlalu, Intan pun semakin sibuk dengan ujiannya.

"Gimana persiapannya? Apa sudah matang?" tanya Zein sambil menghampiri Intan yang sedang serius belajar untuk menghadapi ujian.

"InsyaaAllah, Mas," sahut Intan. Ia sedang duduk di meja kerja milik Zein yang ada di rumah itu. Sebab Zein mengizinkannya menggunakan meja tersebut selama ia belajar.

Satu tangan Zein memegang sandaran kursi yang diduduki Intan. Sebelah lagi menyentuh tepi meja. Sehingga posisinya seperti sedang mengungkung Intan.

"Mau saya batu test, gak?" tawar Zein sambil menoleh ke arah Intan.

Intan pun mendongak. "Dengan senang hati," sahutnya sambil tersenyum. Ia senang karena Zein mau membantunya.

"Ya udah, sini!" ajak Zein sambil menuntun Intan. Setelah itu ia duduk di sofa dan meminta Intan duduk bersandar di lengannya. "Kok begini?" tanya Intan. Ia bingung mengapa Zein harus merangkulnya.

"Supaya rileks. Kalau terlalu serius, nanti kamu gak konsen," jawab Zein. Ia menarik tuas sofa tersebut sehingga extentions sofa itu terangkat. Zein pun meluruskan kakinya.

"Oke, mari kita mulai!" ucap Zein sambil menyentuh buku Intan dengan kedua tangannya. Sehingga posisinya seperti sedang memeluk Intan dari belakang.

Zein pun melontarkan pertanyaan demi pertanyaan dan Intan berhasil menjawabnya.

"Ternyata kamu pintar juga, ya?" gumam Zein karena Intan mampu menjawab hampir semua pertanyaan Zein.

"Kalau gak pintar, gak mungkin dapat beasiswa, Mas," sahut Intan.

"Iya juga," sahut Zein sambil menutup dan menaruh bukunya.

"Terima kasih ya, Mas," ucap Intan sambil tersenyum. Ia pun beranjak dari rangkulan Zein.

"Tapi ini gak gratis," sahut Zein.

Intan terkesiap. "Hah?"

"Saya gak akan minta sesuatu yang merepotkan. Saya cuma mau goyangan yang mantap seperti biasanya," jawab Zein sambil menarik Intan agar duduk di pangkuannya.

Dinikahi Profesor Galak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang