09 - Istana Khalil

145 13 0
                                    

Happy reading

***
Sepulang mencari Maura, tapi hasilnya nihil tidak ditemukan. Akhirnya kedua sejoli itu kembali pulang.

"Kamar kamu di sana. Aku di sini." Khalil menjelaskannya pada Naluri. Gadis itu hanya mengangguk pelan.

Tidak pernah dia bayangkan menjalin bahtera rumah tangga seperti ini. Selama di pondok yang dikhayalkannya sebuah keluarga yang rukun dalam ikatan cinta suci.

"Bik Saroh," panggil Khalil. Tidak lama, datanglah seorang wanita paruh baya.

"Kalau kamu butuh apa-apa bilang sama, Bik Saroh aja ya."

Naluri mengangguk pelan sambil melemparkan seulas senyum pada asisten rumah tangga itu. Bik Saroh tampak senang menyambut nyonya di rumah besar yang dimiliki oleh tuannya, karena selama ini istana yang dimiliki tuan rumah sangat sepi seolah tidak berpenghuni.

"Iya, Neng. Bilang sama Bik Saroh ya kalau ada apa-apa." Sudut bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman.

"Makasih, Bik."

"Kamar yang saya tunjuk kemarin sudah dibereskan, Bik?" tanya Khalil, Bik Saroh mengangguk mantap sambil menunjukkan jari jempolnya ke arah sang tuan.

"Beres, Tuan."

Bik Saroh pun cepat membantu Naluri untuk membereskan barang bawaannya ke dalam kamar yang sudah disiapkan khusus untuknya.

Ruang persegi didominasi warna biru langit, tempat tidur rapi nan elegan ada di depan matanya.

"Mari masuk, Nyonya." Bik Saroh menyadarkan Naluri dari lamunan.

Bik Saroh begitu cekatan saat memasuki kamar yang didesain sedemikian rupa. Meski sederhana, tapi terlihat sangat elegan. Rumah suaminya memang mirip seperti istana, dan kini dia yang akan menjadi ratu di kerajaan itu. Wanita paruh baya itu memasukkan semua baju Naluri ke dalam lemari yang sudah disediakan. Menyusunnya dengan rapi.

"Bik, biar saya saja." Naluri tidak ingin merepotkan orang lain, biarkan dia mengurus dirinya sendiri.

Gadis itu hendak mengambil alih bajunya, tapi Bik Saroh cepat menepisnya pelan.

"Jangan, Nyonya. Ini tugas saya. Saya dibayar di sini." Bik Saroh sambil merapikan baju.

"Bibi udah lama kerja di sini?" tanya Naluri akhirnya.

"Udah lama atuh, Neng."

"Berarti Bik Saroh tahu banyak tentang dia ya?" tanya Naluri menyelidik.

"Tahu banget."

"Tahu tentang wanita juga?" tanya Naluri hati-hati.

"Wanita?" tanya Bik Saroh, dahinya mengernyit seperti kebingungan. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.

"Tuan Khalil belum pernah tuh bawa perempuan, Nyonya. Cuman yang bibi  tahu dia mau nikah. Udah gitu aja," jawab Bik Saroh.

"Bik Saroh tahu perempuan yang mau dinikahinya?" Naluri menatap wanita paruh baya itu dengan lekat.

Bik Saroh menggeleng pelan, Naluri merasa kecewa dengan jawaban itu. Dia hanya ingin tahu perihal kakak angkatnya yang sangat dicintai suaminya.

"Tuan Khalil orangnya tertutup jarang di rumah juga."

Naluri memahami profesi Khalil sebagai CEO di salah satu perusahaan ternama. Pastinya dia jarang pulang, tapi apakah akan seperti itu setelah dirinya menikah?

"Tapi kalau sudah menikah, pastinya dia akan meluangkan waktunya, Nyonya." Seulas senyuman dari Bik Saroh membuatku tenang. Akan tetapi, pernikahannya tidak didasari oleh cinta. Khalil pasti sangat membencinya, dia hanya mencintai Maura dan akan melakukan apa pun asal gadis itu bahagia.

Setelah membereskan semua barang-barangku, Bik Saroh pamit untuk membereskan pekerjaan rumah yang lain.

Naluri tertegun sendirian memikirkan cara apa yang akan menyenangkan Khalil. Selama tiga puluh hari dia hanya ingin memberikan yang terbaik sebagai seorang istri. Tidak mengapa jika sang suami tidak membalas cintanya, dia ikhlas. Bahkan jika Maura kembali, dia rela untuk melepasnya.

Meski semua kenyataan ini bukanlah pengharapan yang sesungguhnya. Akan tetapi, dia tidak bisa memilih takdir yang sudah disiapkan Alloh untuknya. Dia harus menerima segala kisah yang sudah ditentukan.

"Luri ...." Suara Khalil menggema di luar pintu kamarku. Bersamaan dengan suara ketukan yang membuatku beranjak melangkah tuk membuka pintu.

Saat pintu terbuka, tepat di depan Naluri seorang lelaki pemilik hidung mancung tengah berdiri. Menatapnya tanpa rasa kasih juga cinta. Gadis berwajah lesung itu berusaha untuk tetap tersenyum meski senyumannya tidak terbalas.

"Iya, Kak?" tanya Naluri.

"Kalau ada apa-apa bilang ke Bik Saroh, kalau mau sesuatu bilang ke Pak Marno satpam di rumah ini, kalau mau kemana-mana minta antar ke Pak Suryo." Setelah mengatakannya, dia hendak berbalik.

"Kakak emang mau kemana?" tanya Naluri, membuatnya menghentikan langkahnya.

"Saya mau pergi."

"Kak?" panggil Naluri pelan.

"Iya?" tanya Khalil.

Tanpa diduga, Naluri menyalami punggung tangan Khalil. Lelaki itu mematung saat melihat perlakuan sang istri, tapi dia tidak menghentikan aksinya.

"Kalau mau kemana-mana bilang. Meski pun aku bukan kekasih hatimu, tapi aku di sini menjadi tanggung jawabmu, Kak." Naluri menyampaikannya dengan sangat hati-hati.

Ucapannya membuat Khalil membisu, ada rasa iba dalam hatinya. Tidak seharusnya gadis sebaik dia mengalami hal sesulit ini, semua ini bukan salahnya.

Dengan ragu Khalil mengelus puncak kepala istrinya yang tertutupi oleh hijab. "Tunggu di sini, saya akan segera pulang."

Jleb!

Degupan jantung Naluri berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Rasa hangat terasa membuncah mengenai aliran darahnya, entah apa yang terjadi pada dirinya.

"Jika saya belum saja pulang, jangan ditunggu."

Setelah mengatakan pesan, Khalil pun pergi meninggalkan Naluri yang tengah dirundung kecemasan. Apa akan terjadi di masa depannya nanti? Akankah pernikahan mereka hanya bertahan selama dia berusaha mencintainya? Atau bertahan lebih lama lagi sampai menunggu kedatangan Maura?

Entahlah, hanya Alloh yang tahu sebagai perencana. Kita sebagai hamba-Nya hanya bisa berdoa dan berserah diri.

***
Cek cek cek readers ehem

PENGGANTI PERAN PENGANTIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang