3. 'Mereka' Setelah 16 Tahun Berlalu

197 25 4
                                    

Selamat membaca dan semoga suka. 🦋

.

Kalimat tauhid menggema di antara gemerisik daun yang tertiup angin. Sinar matahari berpendar sempurna, turut menyilaukan prosesi pemakaman dari salah seorang pengusaha terkenal.

Para pejabat, beberapa anggota TNI sampai polisi pun turut hadir berduka cita. Hingga kemudian putra pertamanya turun ke liang lahat, untuk mengumandangkan azan terakhir. Khidmat, semua orang menunduk mendengarkan suara yang merdu itu. Sebagian terhanyut mengingat kematian sampai meneteskan air mata. Memang, sebaik-baiknya nasihat adalah kematian.

Setelahnya papan pun di susun menutupi jasad yang sudah berbaring di liang lahat. Kemudian ditimbun kembali oleh tanah. Surya Putra Adinaja, beberapa kali ia mengusap air bening dari sudut matanya. Istrinya Salsabila mencoba menenangkan dengan mengusap bahunya. Sedang kedua adiknya yaitu Ilham dan Haris. Turut menunduk mengaminkan doa yang dipanjatkan oleh sang ustaz.

Lalu ke lima cucu Arya menunduk. Tiga dari mereka berdoa, sedang ke dua lainnya bersikap biasa saja. Mungkin sudah memaklumkan, bahwa hidup memang bukanlah kuasa mereka. Yang suatu hari jikalau rezeki di dunia sudah selesai diberikan, maka tugas malakul maut akan datang menjemput. Bukan hanya kematian, bahkan yang masih hidup pun bisa dipisahkan karena alasan takdir.

Ah, Harsa bosan. Ia menarik kacamata yang terapit di kancing kemeja. Lalu kembali memakainya sambil memerhatikan situasi. Baru setelah memastikan keadaan aman. Harsa perlahan berjalan mundur ke belakang, berbalik meninggalkan pemakaman sendirian. Meski tanpa sadar aksinya sudah tertangkap basah oleh kakak ketiganya. Sampai ia geleng-geleng. Tidak habis pikir dengan kelakuan Harsa.

Alkhalifi, atau kerap di sapa Alkha. Ia kembali mengalihkan perhatian pada sekitar. Satu per satu para pelayat bubar. Beberapakali mendapat pelukan dari sahabat yang datang sembari mengucapkan turut berduka.

"Ma, Mama gak apa-apa?" tanya Alkha, pemuda berusia dua puluh satu tahun itu membantu mamanya berdiri dengan benar. Pucat begitu kentara di wajah cantik Salsabilla.

"Mama gak apa-apa, mungkin kecapekan. Kepergian Kakek kamu gak mudah untuk Mama. Beliau sangat baik, mudah-mudahan Kakek diterima di sisi-Nya."

"Aamiin," lirih Alkha.

Kemudian mata Alkha menyipit di balik kacamata yang ia pakai, memfokuskan pandang pada sosok lelaki bertubuh tinggi, bahu kokohnya yang tegap sempurna dan sangat ia kenal itu mulai menjauh meninggalkan area pemakaman. Diikuti seorang wanita yang mengejarnya di belakang.

"Yah, pasti dicuekin lagi sama Bang Hazza," celetuk Alkha tidak sadar.

"Hm? Kamu bilang apa?" sahut Salsabilla, kontan membuat Alkha menggeleng cepat.

"Nggak, Ma. Bukan apa-apa."

Salsabilla tersenyum pahit, hatinya kembali terluka menyadari ikatan persaudaraan para putra-putranya semakin renggang meskipun Kakek mereka sudah meninggal. Para putranya lebih mementingkan urusan di luar sana ketimbang keluarga. Kurangnya keakuran mereka pun kontan menjadi buah pemikiran yang terus bersarang di kepala Arya. Sampai beliau jatuh sakit lalu akhirnya meninggal.

Kalau saja, kalau saja Kaira tidak menghilang dengan membawa putri Angga yang diidamkan keluarga Adinaja. Mungkin rakit-rakit keluarga besar ini akan tetap terikat kuat. Bukan justru merenggang, menyisakan hubungan kosong bak udara yang tak tergapai.

Dan Rafanza, Hazza, Alkha serta Harsa. Hubungan mereka akan tetap baik-baik saja sampai sekarang. Terlepas apapun tragedi yang pernah terjadi dengan beberapa anggota keluarga ini. Karena Zira akan menjadi pengikat kuat, dari jahitan yang kian terputus.

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang