Satu: Nama Pemuda di Bangku Belakang

2 0 0
                                    

Sebuah awalan baru dimulai pagi ini. Ajaran baru dimulai dan anak-anak kembali ke sekolah, setelah libur panjang. Pagi ini menjadi hari pertama Aila di kelas 12.

Langkahnya menuju ke arah mading sekolah, untuk melihat kelas mana yang akan menjadi tempatnya untuk tahun terakhir ini. Kelas XII IPA 4, teman sekelasnya akan sama seperti saat kelas 10.

Dia menuju ke kelas dengan langkah gontai, dan yang terjadi selanjutnya adalah sebuah kecelakaan. Ada tabrakan kecil yang terjadi di depan pintu kelas.

Aila meringis kesakitan dan menatap laki-laki yang menabraknya itu. Pemuda dengan ponsel di tangannya, earphone yang tersambung, dan masker putih itu terlihat terkejut.

"Maaf ...," katanya lalu berlalu masuk ke kelas. Meninggalkan Aila yang kebingungan dengan tingkah pemuda itu.

Dia lebih memilih untuk berjalan masuk, mengikuti pemuda tadi. Mereka sekelas. Ini hari pertama dan itu artinya akan ada keributan memilih tempat duduk. Dua deret bangku bagian depan sudah terisi oleh murid-murid pintar yang selalu menjadi pe-nanya di kelas. Sedangkan deret tengah masih kosong. Dan bagian bangku deret ke-lima, saat ini baru diisi oleh seorang siswa yang masih sibuk dengan ponselnya. Pemuda yang tadi.

Aila memilih untuk duduk di deret ke empat, tidak terlalu belakang dan pastinya jauh dari murid-murid rajin yang selalu menggila dengan nilai. Dia duduk dan langsung meletakkan kepalanya di meja, wajahnya menghadap ke arah pemuda tadi.

Untuk sesaat, fokusnya tertuju pada pemuda yang masih fokus dengan ponselnya itu. Sebelum akhirnya sebuah suara menghentikan kegiatan mereka berdua. "Pagi semua," sapa seseorang dengan suara yang memenuhi ruangan kelas. Itu teman dekat Alia.

"Eh? Kita sekelas lagi? Hore!" Sontak Alia menutup kedua telinganya.

"Dar, bisa pelan-pelan dikit gak? Masih pagi, kasian telinga orang bisa budek," tegur Alia. Dara, gadis muda dengan suara yang menggelegar itu menjawab, "Kalau gak ada gue, sepi kelas ini." Dan selanjutnya adalah dia menepati bangku di depan Aila.

"Terserah udah."

Lalu, ada dua orang siswa laki-laki yang memasuki kelas secara bersamaan. Bima dan Haskar. "Oi, Dik. Pagi banget lo," sapaan Bima dijawab dengan anggukan oleh pemuda tadi.

"Lu semalem online game sampai subuh ye?" Tanya Haskar sembari meletakkan tasnya di meja belakang Aila. "Yoi, tapi cuma sampai jam tiga doang." Mata pemuda itu hanya teralihkan sebentar.

"Biasalah, orang ambis naikin rank ya gitu," sahut Bima yang sudah sangat hafal dengan kelakuan temannya yang satu itu.

"Ambis kok ambis naikin rank," Dara menimpali seraya fokus pada cermin di genggamannya. "Sirik aja lu, darah suci." Haskar memberikan tanggapan dengan nada ketus.

"Tes tes ...," Suara terdengar dari speaker kelas. "Anak-anak dimohon untuk menuju ke lapangan sekarang, karena upacara akan segera dimulai." Lalu pengumuman itu selesai.

Dara menggerutu, "Kenapa harus ada upacara sih astaga." Aila yang sudah nyaman dengan posisinya, harus bangun sekarang juga. "Buruan, Ai!" Teriak Dara yang sudah di depan pintu kelas, dan tiga orang pemuda yang tadi juga sudah menuju ke lapangan

"Bentar, nyari topi ini loh." Aila yang sudah menemukan topinya langsung berjalan terburu-buru. Di pintu kelas, dia bertemu dengan seorang siswi yang terlihat masih membawa tasnya. "Ya elah, baru dateng lu? Buruan, udah disuruh ke lapangan tuh." Aila sempat mengomel sebelum pergi dari situ.

Di lapangan, semua murid sudah mulai berkumpul dan membentuk barisan sesuai kelasnya masing-masing. Setiap kelas memiliki dua baris, satu laki-laki, dan satu lagi untuk perempuan. Aila yang tinggi menempati baris bagian depan.

"Eih, maju! Lebih tinggi lu." Aila menyeret temannya yang lebih tinggi darinya untuk berada paling depan dan agar dia bisa sedikit mundur. "Ai, kamu aja yang di depan gimana?"

"Gak, aku lagi males di depan," jawab Aila sembari memberi isyarat agar temannya yang lebih tinggi itu maju dan berada di depannya.

Dara. Gadis itu ada di belakang Aila. "La, entar beli es kuy," ajaknya.

"Pulang sekolah? Ya udah ayo. Lu bawa motor kan?" Tanya Aila. "Iya gue bawa tadi. Janji ya entar pulang sekolah, awas aja kalau gak jadi." Dara memberi ancaman pada temannya itu.

Bima dan Haskar, dua orang itu masuk ke barisan dan menempati barisan bagian belakang. Untuk mencari tempat teduh tentu saja. Lalu, siapa sangka tiba-tiba seorang siswa yang tadi bertabrakan dengan Aila muncul dan sekarang ada di sebelahnya.

Para murid mulai berbisik-bisik setelah kedatangan pemuda bermasker putih itu. Mereka membicarakannya, lebih tepatnya bergosip dan menggunjing. Aila menyadari apa yang tengah terjadi sekarang. Dia menoleh ke belakang dan menemukan mata Dara yang juga melirik ke arahnya. Seolah mereka bertanya satu sama lain.

"Itu dia ya? Gue pikir dia gak bakal masuk sekolah lagi."

"Keluarganya udah hancur sekarang. Bahkan ayahnya aja udah keluar dari rumah. Buruk banget ya nasip dia, sama kayak luka yang ada di wajahnya sekarang."

Bisikan-bisikan itu tidaklah pelan, dan sepertinya pemuda itu juga mendengarnya. Alia dan Dara terlihat kebingungan, mereka tidak tau apa yang tengah terjadi sekarang ini.

Suara guru kesiswaan menghentikan semua bisikan itu. "Kalian bisa diam sekarang? Upacara akan segera dimulai."

Semuanya diam dan upacara di mulai. Aila kembali menghadap depan dan memasang topinya. Dia melirik ke arah pemuda yang ada di sebelahnya itu. Pemuda itu diam dan matanya fokus mengarah ke depan, dia tidak terlihat sedih, bahkan setelah bisikan-bisikan tadi.

Luka apa ya, bisik Aila di dalam hati.

°°°

Setelah upacara, semuanya kembali ke kelas. Hari ini memang tidak ada pelajaran, namun para murid tetap diharuskan masuk. Seorang guru perempuan memasuki kelas tersebut, membuat semua mata tertuju ke arahnya.

"Selamat pagi semua."

"Pagi bu ...,"

"Baik, perkenalkan saya Bu Indarsih. Saya mengajar PKN dan saya juga yang akan menjadi wali kelas kalian tahun ini. Sudah pada kenal saya kan ya?" Guru itu memperkenalkan dirinya. "Sudah Bu," jawab para murid yang ada di kelas itu.

"Sebelumnya ada yang pernah menjadi murid saya di kelas 11?" Beberapa murid mengangkat tangan mereka sebagai jawaban.

"Baiklah, akan saya absen dulu." Lalu setelah itu setiap nama mulai di panggil.

"Aila Arum Mahika." Aila mengangkat tangannya, "Hadir, Bu."

"Bima Elvan Hadrian." Bima menyahut, "Saya, Bu."

"Dara Nila Tanisha." Dara menjawab, "Hadir, Bu In."

Lalu, "Dika Dayyan Mahendra." Pemuda yang mengenakan masker putih itu mengangkat tangannya.

Ah, jadi itu namanya, bisik seseorang yang tadi bertabrakan dengan pemuda itu.

"Haskar Javas Fabian." Pemuda yang duduk di bangku belakang Aila menjawab dengan senang. "Di sini, Bu."

Dan tak lama kemudian, nama siswi yang tadi terlambat itu juga dipanggil oleh bu Indarsih. "Naila Yatna Sasmaya."

Bersambung ...
See You,

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CONFESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang