4. Luka, Ibu, Saksi Mata

44 16 26
                                    

Jocelyn menggigit kuku jempolnya, gelisah. Dua jam lalu rombongan yang dikirim untuk menangkap serigala di Red Woods kembali. Satu orang menerima luka parah, Tucker Prescott. Tubuhnya yang sudah bersimbah darah dipapah Seamus sampai kembali ke desa. Berita kepulangannya tersebar cepat seperti api melahap jerami. Pria itu pun kemudian dibawa pulang ke rumahnya, sejumlah wanita dan pria langsung mulai mengobati lukanya. Jocelyn tidak datang menjenguk. Belum. Dia masih menanti kepulangan Adam di rumah. Gadis berkulit kuning langsat itu berkali-kali berdoa pada Tuhan, berharap ayahnya yang berada di kelompok berbeda dari Seamus dan Tucker kembali dengan selamat.

Namun, sepertinya Jeremiah menyalahartikan raut gusar di wajah sang putri. Wanita berambut keriting yang diikat tinggi-tinggi itu duduk di atas ranjang Jocelyn, sebelah kiri. Jocelyn sedikit bergeser saat ibunya duduk. Perempuan bertubuh pendek itu meraih tangan Jocelyn, telapaknya yang kasar dan lebih kecil dari milik sang putri berusaha untuk menangkup kedua tangan kasar anaknya. Jocelyn menatap Jeremiah, menunggu wanita itu mengeluarkan serentetan kalimat penuh kekhawatiran untuk suaminya yang belum kembali.

Alih-alih dia malah berkata, "Kau tahu, tidak semua orang menikahi pria yang mereka cintai."

Jocelyn langung mengernyit dalam, tetapi dia tidak memotong saat melihat ekspresi serius di wajah ibunya. Gadis itu bertanya-tanya, apakah obrolan ini lebih penting daripada kenyataan kalau Adam belum kembali? Namun, gadis itu bergeming selagi ibunya melanjutkan.

"Aku dan ayahmu juga tidak saling mencintai awalnya. Nenekmu yang menjodohkan kami. Namun, perasaan cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Terutama ketika kakakmu lahir, lalu kau menyusul empat tahun kemudian. Setelahnya keluarga ini juga dianugerahi anak laki-laki. Saat itulah, aku dan ayahmu merasa bahwa kehidupan kami benar-benar lengkap."

Jocelyn menggeleng. "Kenapa Ibu mengatakan ini padaku?" Meskipun sedikit bisa menebak kenapa topik pembicaraan ini diangkat ke permukaan, tetapi gadis itu berharap bisa mendengar jawabannya dari Jeremiah sendiri. "Apa Ibu berpikir akulah yang merusak hubungan Naomi dengan Tucker?" Suaranya tajam, Jocelyn tidak bermaksud terdengar kasar. Dia berusaha menarik tangan, tetapi Jeremiah menggenggamnya makin erat. Gadis itu menunduk, menatap tangan mereka lalu ibunya.

"Kalianlah yang memaksakan perasaan Naomi pada Tucker, ketika dia terang-terangan lebih menyukai orang lain. Ibu, Ayah, Tuan dan Nyonya Prescott." Jocelyn terpejam, berusaha mengatur emosinya yang bergejolak. "Kalian selalu membuka kesempatan dan jalan untuk Naomi. Sementara, aku harus berjuang sendiri untuk mendapatkan apa yang kumau. Apa Ibu pernah menanyakan bagaimana perasaanku atau apa yang kuinginkan? Setiap waktu, aku harus bersabar demi hal-hal yang kemudian dibuang oleh Naomi. Boneka miliknya, pakaiannya, sepatu, mantel, bahkan mencicipi makanan yang tidak dihabiskannya."

"Tapi, berpacaran dengan tunangannya itu seratus persen salah, Jocelyn."

Jocelyn merasa denyut jantungnya melambat saat mendengar ucapan Jeremiah. Dia mengetatkan rahang. "Kenapa Ibu tidak mengatakan hal yang sama pada Tucker?" Gadis itu tersenyum kecil sambil menyisipkan rambut bergelombangnya ke balik telinga. Pikirnya hanya Jaydon dan Naomi sendiri—bonus, Seamus—yang mengetahui soal hubungan gelap mereka, tidak diduga Jeremiah juga sadar. Jocelyn menatap ibunya, baru menyadari betapa serupanya paras wanita tersebut dengan sang kakak. Rambut keriting panjang berwarna cokelat kemerahan—warna rambut semua perempuan di rumah ini—sepasang mata dengan iris gelap, bahkan letak tahi lalat di dekat alis kanan. Mungkin itulah alasan Jeremiah kekeh menjodohkan Tucker dengan Naomi, karena dia ingin putri kesayangannya itu menikahi pria yang dicintainya. Tidak seperti apa yang terjadi pada Jeremiah.

"Jocelyn—"

Ucapan Jeremiah terhenti ketika pintu mereka berderit dan terbuka. Jocelyn berbalik, mendapati pria berwajah kasar dan berambut hitam acak-acakan melangkah ke dalam. Gadis itu langsung berlari dan memeluk ayahnya sambil menggumamkan ucapan syukur berkali-kali. Jocelyn terpejam, menghirup aroma keringat bercampur debu dari pakaian yang pria itu kenakan. Perasaannya jauh membaik setelah merasakan usapan lembut di atas kepala.

"Terima kasih, Jo." Adam berbisik. "Kami berhasil mendapatkan serigalanya." Dia menangkup wajah sang putri dan mengangguk, mata kelabunya terlihat sedikit berbinar. "Seamus mendapatkan satu. Kelompok Ayah juga dapat."

Jeremiah berdiri dari atas ranjang Jocelyn. "Syukurlah." Rumah mereka tidak bersekat, sehingga semua ruangan—kalau bisa disebut ruangan—berada di satu tempat sekaligus. Kamar mandi letaknya terpisah dari pondok, di sana juga jadi tempat berganti baju.

"Aku akan menemui Seamus." Dan, Tucker, tambah Jocelyn dalam hati. Dia bergeser, memberi ruang pada Adam untuk merangsek masuk. Gadis itu mengambil jubah usang yang tergantung di belakang pintu dan mengenakannya. Sebelum sempat mendengar apa yang akan dikatakan Jeremiah, pintu mereka sudah tertutup kembali.


Jocelyn melewati bengkel pandai besi keluarga Prescott. Dia berhenti di depan gerbangnya yang terbuka. Di dalam, beberapa orang terlihat memenuhi teras dan halamannya. Jocelyn juga bisa melihat Frank Prascott tengah berbincang bersama beberapa pekerja yang tadi ikut menuju hutan. Pria bertubuh gemuk itu tidak turut serta, kakinya pincang akibat kecelakaan di tempat kerja. Jocelyn berbalik saat merasakan satu tepukan di punggungnya. Orang yang tidak disangkanya akan berada di tempat itu kini tengah tersenyum dengan raut meremehkan.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Jaydon mengedikkan bahu. "Apa salahnya menjenguk tetangga?"

"Harusnya kau malu karena tidak berpartisipasi sedikit pun. Padahal kondisimu sehat-sehat saja." Jocelyn mendelik. Melihat adik laki-lakinya selalu berhasil membuat gadis itu gusar.

Jaydon berdecak. "Jangan terlalu kasar," cibirnya. "Aku baru dari balai kota untuk melihat dua ekor serigala yang berhasil mereka bawa pulang, baru kemari untuk melihat kondisi Prescott. Biar kukatakan padamu. Dia baik-baik saja. Hanya luka cakaran di wajah dan bekas tusuk di bagian perut."

Tubuh Jocelyn terasa dingin, membayangkan seperti apa kondisi Tucker membuat tubuhnya bergetar pelan. "Bagaimana bisa kau berkata itu baik-baik saja." Jocelyn menggeleng, berharap bahwa Seamus tidak menerima luka serius apa pun. Pria itu kemungkinan besar sedang mendekam di biliknya sekarang.

Jaydon tertawa pendek. "Prescott beruntung. Dia tidak diserang serigala yang membunuh Naomi," katanya.

"Apa maksudmu?" Jocelyn mengernyit. Perasaannya tidak enak.

Jaydon meraih tangan kakaknya, membawa gadis itu ke dalam bengkel pandai besi milik Tucker yang tidak terkunci. Berbeda dengan tadi, wajahnya kali ini menggelap dan ekspresinya kentara serius. Laki-laki yang lebih tinggi dari Jocelyn itu memegangi kedua bahu saudarinya, dia sedikit membungkuk.

"Aku sudah lihat serigala yang mereka tangkap." Jaydon menggeleng. "Itu bukan serigala yang sama dengan yang menyerang Naomi malam itu."

Kepala Jocelyn berdenyut, dia merasa pening sekaligus tidak mengerti. "Apa maksudmu? Kenapa kau bisa bilang begitu."

"Karena aku sudah melihatnya. Aku sudah melihat hewan yang menghabisi Naomi." Laki-laki di depan Jocelyn terpejam. Dia menarik napas, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. "Jangan ceritakan pada siapa pun. Tapi, aku ada di sana saat malam kematian Naomi."

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang