Serba hitam

1 0 0
                                    

Mendengar pernyataan bu yati tentang orang misterius. Orang berpakaian serba hitam berkeliaran di bukit haur. jiwa detektif ku meronta-ronta aku penasaran. Siapa dia?

Apakah gubuk yang aku lihat di lereng bukit ada kaitannya dengan orang serba hitam. Jangan-jangan! jangan berprasangka buruk dulu. Lebih baik aku cari orang yang pernah pa kasim jumpai itu. Tetapi apa orang misterius itu masih hidup. Berkeliaran di hutan entah apa yang sedang ia lakukan. Aku harus menemukannya.

Aku pun berpamitan kepada Bu yati dan Santi anaknya. Sungguh anak yang baik dan prihatin. Aku janji suatu hari akan ke sini lagi. Dengan satu syarat jika aku masih hidup.

Langkah ku kembali ke Sebrang sungai di bukit haur melewati jalan yang sama, aku ingat setiap jalan yang aku lalui tadi, menelusuri jalanan desa masuk gang-gang berbelok-belok. tiang listrik dan persimpangan itu. Sekitar setengah jam aku berjalan tibalah di kebun pisang yang luasnya kira-kira seukuran lapangan sepak bola.

Berbeda dengan tadi pagi, kali ini ibu-ibu bertudung sudah tidak ada. Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai ke titik yang membuatku hampir saja tenggelam.

Tempat dimana aku melihat sebuah Gubuk yang aku curigai menjadi tempat orang misterius itu tinggal. Aku menelusuri jalan yang cukup menanjak. Berbatu, aku sedikit terengah-engah.

"huuhff.. Sampai juga."

Lumayan capek juga bolak balik dari ujung ke ujung perbatasan Desa. Batas perbatasan Desa Haur dengan Desa Sebrang adalah sungai deras ini. Letak geografi desaku di atas dan desa Sebrang dibawahnya. Jadi akan terasa sangat lelah jika berjalan dari pemukiman sampai ke perbatasan. Posisi jalan yang menanjak. Apalagi dari kebun pisang itu.

Hari yang terik, cukup panas. Dahaga rasanya. Air sepertinya obat paling manjur pelepas dahaga. Aku membuka tas mengeluarkan botol minum. Aku haus.

"Aduh, air sudah hampir habis, Sedangkan perjalanan entah sampai kapan berakhir. Apakah tidak ada mata air disini? atau aku harus memasak air sungai ini."

Air seakan topik monolog ku kali ini, hampir satu dua menit memikirkan dimana sumber air, aku menoleh ke arah hulu sungai tepat di lereng bukit haur. Aku melihat ke dua kalinya gubuk tua yang sudah ditumbuhi lumut liar. O iya orang yang berkeliaran di hutan ini. Apakah itu benar tempatnya berlindung?.  Tempat sembunyi nya mahkluk serba hitam yang aku sebut orang misterius.

Aku duduk meneguk air, masih menatap ke gubuk itu. Bersiap. Mencabut belati dari sarungnya aku menuju gubuk. Melawan kompaknya rumput liar, semak belukar. Jangan menghalangi langkahku. Aku bersihkan habis sampai jalanku lebih cepat.

Pohon besar berjejer, daunnya besar-besar.

Sibuk membersihkan rumput liar hingga aku tersadar ternyata sudah didepan gubuk. Gubuk tua berlumut hijau. Nampak ada kehidupan di gubuk itu. Bekas kayu bakar masih menyala. Tetapi tidak aku jumpai seseorang. Lihatlah, banyak jejak kaki disini. Mungkinkah orang itu benar adanya, orang misterius yang berani bertahan hidup sendirian di hutan lebat seperti ini. Salut.

Aku berjalan di sekitar gubuk mengitarinya. Satu putaran aku sibuk mengelilingi memeriksa apakah ada orang atau tidak. Yang aku temukan perabot,perkakas kayu-kayu bakar bertumpukan dihalaman gubuk ini. Aku merangsak naik duduk di halaman. Sesekali mengintip jendela mengetuk pintu kayu

tok tok tok

"Apa ada orang didalam" Seru ku

Dua tiga kali aku mengulang perkataan itu. Hanya ada suara bising hewan tonggeret memecah keheningan. Pintu tidak terkunci aku yakin penghuninya tidak takut maling atau orang yang berniat jahat pada tempat ini.

Mataku melirik setiap pojokan tidak ada barang berharga disini. Hanya ada perabotan yang terbuat dari kayu dan bambu. Damar atau cempor yang menempel didinding bilik. Lihatlah!.

Ada baju kampret satu setel menggantung pada bilik gubuk. Iya. itu baju serba hitam Atasan dan bawahan berwarna hitam. Ciri khas orang sunda. Aku yakin orang misterius ini masih berkeliaran. Orang yang Pa Kasim pernah lihat di hutan ini. Tetapi sampai saat ini belum aku buktikan orang itu nyata atau tidak. Tapi dengan bukti bara api dan jejak kaki aku yakin bahwa ada orang yang tinggal di gubuk tua ini.

Selama ini hanya suara gemuruh angin, air sungai dan hewan-hewan burung berkicau riang menghiasi hutan. Baik. Aku akan istirahat beberapa menit disini.

Sambil memulihkan tenaga yang terkuras. Lesehan merebahkan badan. Santai. Terbesit dalam hatiku untuk tidak lagi mencari mata air. Aku melihat di perapian ada panci yang nangkring di atas tungku seadanya dari batu. Semakin tenang aku disini. Hingga aku tertidur pulas.

zzz.. zzz.. zzz..

"Jangan berleha-leha nak, sekarang kamu harus menjaganya. Jaga. jaga. jaga!."

Tidak!

Aku terperanjat bangun. Bunga tidur membangunkan ku dari kenyamanan yang membuatku diperbudak waktu. Suara hewan sekarang hilang. Sepi. Senyap. Kenapa ini? kok tiba-tiba sepi seperti di ruang kedap suara. Aku setengah sadar bangkit dari tidur beranjak duduk. Mengusap mata merapikan raut wajah kusut aku mulai sadar.

Tiga detik kemudian terdengar suara benda keras berbenturan. Seperti bising orang membelah kayu.

trok trok trok

Aku kaget lantas membuatku berdiri menoleh kanan kiri mencari sumber kebisingan. Lihatlah. Dihalaman gubuk dekat perapian itu seorang bertubuh kekar berpakaian serba hitam sedang sibuk memecah kayu-kayu gelondongan. Siapa orang itu? Maksudku orang yang berpakaian kampret itu sekarang nyata dengan jelas. Sangat jelas orang itu benar-benar ada.

"per permisi, punten ki sanak." Sahutku sedikit gugup

Orang berpakaian kampret itu seketika berhenti dari sibuknya, Menurunkan kapaknya, menoleh. Matanya melirik ke wajah asing yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Kita bertatapan selama satu dua detik.

"Sudah bangun rupanya, berapa lama engkau disini? tatapan nya sinis

" Ee... maaf ki sanak, Aku sudah lancang tidur, kira-kira tadi siang aku menemukan gubuk ini. Aku bermaksud mencari sumber air. Tapi aku malah ketiduran disini. Sekali lagi maaf sudah lancang." jelas ku panjang lebar sedikit gugup.p

"Iya tak apa. Siapa kamu? dari mana?" orang itu terus mengintrogasi.

"Aku Ari laya, dari Desa Cihaur."

Orang itu mengangguk.

"Sudah ketemu sumber airnya?" bertanya lagi.

"Belum." jawabku pendek

Orang itu menyudahi kesibukannya. Membawa bilah-bilah kayu, menyusunnya di tumpukan kayu sebelumnya. Dia kemudian menaruh kapaknya ditumpukkan kayu bakar. Menoleh lagi tatapan sinis bergerak mendekati ku.

"Ayo masuk, aku punya sedikit air. engkau tamu ku yang ke dua, Jangan takut aku tidak akan meracuni mu. Ayo ikutlah." mengajak so akrab.

"Iya."

Aku diajaknya masuk, gugup sediki masih tidak percaya. Aku beranikan diri ikut masuk. Lesehan di rumah panggung berlumut ini. Dia dingin tapi hangat. Bagaimana sih?. Ah sudahlah tetap tenang. Tetap patuhi pedoman bertamu. Kita duduk bertatapan. Jangan. Jangan interogasi aku. Aku tidak berniat jahat. Aku hanya mampir kesini. Meneguhkan hati.

"Siapa namamu?" orang itu bertanya lagi namaku.

"Ari laya."

"Oh Ari. Perkenalkan Ri aku Anwar. Lengkapnya Anwar Sanjaya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengembara Ari LayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang