March, 20th.

130 16 2
                                    

Entah apa yang terjadi pagi ini, tetapi semenjak Jeonghan pulang dari supermarket pukul sepuluh tadi, ia tiba-tiba memeluk erat badan Seungcheol dan menangis histeris. Seungcheol yang tadinya akan memperbaiki pot tanaman kini harus berhenti sejenak, ia mengangkat Jeonghan ke pangkuannya dan berusaha memahami apa yang terjadi pada Jeonghan. Kantong belanjaan pun sampai terbengkalai di pintu masuk rumah.

Tangan Seungcheol mengelus-elus pelan punggung Jeonghan, kebingungan harus melakukan apa untuk menenangkan kekasihnya. Jeonghan sama sekali belum mau bercerita dan ia harus sabar menunggunya mulai merasa tenang. Ia tidak bisa memaksanya untuk bercerita, karena pasti Jeonghan malah ingat dengan trauma lamanya dan akan semakin histeris. Seungcheol hanya bisa menunggu sambil bersabar. Entah sampai kapan.

Dua puluh menit berlalu dan Jeonghan hanya sesenggukan di bahunya. Setidaknya kondisi Jeonghan lebih baik daripada sebelumnya. Seungcheol masih mengelus-elus punggung Jeonghan dengan tenang, diam-diam mengatur nafas agar Jeonghan bisa mengikutinya. Ia tetap berusaha untuk membuat Jeonghan rileks, dan kalau bisa hingga tertidur meski kakinya nanti akan terasa kebas.

Mungkin Seungcheol terasa agak hangat di pelukan Jeonghan. Kebetulan pemanas ruangan sedang dinyalakan daritadi ditambah dengan cuaca di luar yang mulai berawan. Seungcheol bersenandung pelan dan perlahan-lahan menggoyangkan badannya ke depan dan belakang secara bergantian, agar Jeonghan merasa lelah hingga mengantuk di pangkuannya.

Posisi mereka terasa sangat nyaman. Tangisan Jeonghan hanya tersisa isakan dan cegukan pelan, namun Seungcheol masih saja mengelus punggungnya. Ia akan berhenti jika Jeonghan mulai merasa terganggu, namun sepertinya Jeonghan tidak akan meminta dirinya untuk berhenti.

"Seungcheol."

"Hmm?" Seungcheol menyisir pelan rambut Jeonghan, "ada apa Jeonghan? Kamu membutuhkan sesuatu?"

Jeonghan menggelengkan kepala. Gerak badannya terlihat ragu, seperti menahan diri untuk tidak mengucapkan apa-apa. Posisinya masih memeluk Seungcheol, sehingga yang dipeluk tidak terlalu bisa melihat ekspresi wajahnya. Jeonghan terdiam selama beberapa saat sebelum mendongak dan menatap kedua mata Seungcheol lekat-lekat.

"Kenapa Jeonghan? Ada yang ingin kamu bicarakan?"

Jeonghan mengangguk.

"Mau bicara sekarang?"

Jeonghan mengangguk lagi.

Seungcheol tersenyum tipis sambil memeluk badan ringkih tersebut. Ia merasa bahagia karena Jeonghan semakin hari semakin terbuka untuk bercerita kepada dirinya, meski itu hanya cerita kecil tentang kesehariannya atau saat Jeonghan berada di luar rumah. Namun perasaannya berubah menjadi agak waswas karena Seungcheol tidak bisa menduga cerita apa yang akan diucapkan oleh Jeonghan.

"Apa lain kali kamu bisa menemani aku ke supermarket? Aku tidak ingin diganggu lagi oleh gerombolan laki-laki jelek di dekat pembuangan sampah." ujar Jeonghan sambil meremas ujung bajunya, "aku takut, Seungcheol. Seharusnya aku jujur tentang ini sejak kemarin tetapi aku tidak mau membuatmu khawatir."

Pandangan Seungcheol jatuh ke bawah. Kedua matanya berubah menjadi kosong ketika ia mendengar Jeonghan mengucapkan semua kalimat tersebut. Bahkan nafas Seungcheol mulai terasa hampa, seperti ada yang menikam dadanya berkali-kali. Ia mendekap erat badan Jeonghan dan berusaha untuk memfokuskan pandangannya yang mulai buram. Matanya tidak mau melihat Jeonghan yang kini sedang menunduk.

Ia tidak tahu kalau Jeonghan sedang menyeringai, tetapi tidak apa-apa. Apa yang Seungcheol tidak tahu, tidak akan membuatnya meninggal karena itu. Hal tersebut kelewat mudah untuk Jeonghan.

Seungcheol tiba-tiba merasa tidak berguna. Ia menjawab pertanyaan Jeonghan dengan menggumam kecil sambil menganggukkan kepala. Kepalanya sedang tidak bisa menyusun kata-kata yang pantas untuk diucapkan kepada Jeonghan, karena Seungcheol tidak mau salah ucapan. Yang ia inginkan hanyalah jawaban agar bagaimana ia bisa melindungi Jeonghan meskipun selalu berada di dalam rumah.

Diganggu oleh gerombolan laki-laki? Dan yang menjadi kata kunci kalimatnya adalah 'lagi'. Jadi selama ini ada lebih dari dua orang yang mengusik Jeonghan di perjalanan dari supermarket dan Seungcheol hanya diam saja? Keparat. Rasanya Seungcheol ingin memukul seseorang tanpa alasan, bahkan ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan ini kepada Jeonghan. Ia merasa benar-benar kesal entah kepada siapa.

Jeonghan kembali mendongak dan ia menepuk-nepuk pelan pipi Seungcheol. Pria yang sedang memeluknya terlihat tenggelam dalam pikirannya, tidak tahu sedang memikirkan apa. Mungkin Seungcheol sedang memikirkan betapa kasihannya Jeonghan, atau mungkin memikirkan bagaimana cara agar bisa pergi dan pulang dari rumah ini menuju rumah miliknya. Jeonghan berharap Seungcheol sedang memikirkan pilihan pertama.

Sebenarnya, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada yang mau mengganggu Jeonghan dengan kantong plastiknya yang berisi belanja bulanan dan sekotak Marlboro di saku jaketnya. Tidak ada yang mau mendekati Jeonghan yang berambut hitam dengan luka di tengkuknya. Tidak ada manusia waras yang masih memiliki akal yang mau menyapa Jeonghan. Itu semua hanya akal-akalan remeh milik Jeonghan karena akhir-akhir ini ia merasa Seungcheol tidak peduli kepadanya.

Yah, mungkin ada.

Hari ini Jeonghan melihat Wonwoo di lorong kopi dan teh saat di supermarket. Pria tersebut sedang memilih antara teh hijau atau teh mawar untuk dibeli. Jeonghan membeku di tempat karena ini adalah kali pertama ia melihat Wonwoo lagi setelah berbulan-bulan tidak melihat wajahnya.

Rambut Wonwoo terlihat jauh pendek daripada sebelumnya, ditambah dengan pakaian Wonwoo yang kasual dengan jaket kulit dan juga sepatu boots. Ia terlihat rapi karena sekarang sudah mendapatkan gelar impiannya. Wonwoo kini sudah menjadi dokter.

Dan Jeonghan ingin sekali memeluk Wonwoo lagi untuk terakhir kalinya.

Sebelum Jeonghan dapat menghampirinya, Wonwoo sudah pergi terlebih dahulu menuju kasir dan meninggalkan Jeonghan dengan kebingungan. Rasanya seperti ada kereta api penuh memori dan harapan lewat di hadapan Jeonghan untuk pergi begitu saja. Jeonghan lagi-lagi ditinggal sendirian oleh Wonwoo dan ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah kepergiannya.

Maka karena itu, setelah Jeonghan membayar semuanya dan berjalan pergi dari supermarket, ia buru-buru berlari pulang untuk menumpahkan semua emosinya kepada Seungcheol yang tidak tahu apa-apa. Seungcheol tidak tahu sosok Wonwoo dan Jeonghan tidak memiliki niat untuk memberitahunya tentang Wonwoo dan segala masa lalu yang pernah ia alami dengan Wonwoo.

Seharusnya Jeonghan bisa melupakan Wonwoo dengan Seungcheol, tetapi kenapa sekarang semua rencananya malah berbalik arah untuk menusuk punggungnya berkali-kali dengan pisau tajam? Apa memang seharusnya Jeonghan tidak perlu mengalami hal-hal yang membahagiakan? Atau jangan-jangan, Jeonghan memang tidak berhak untuk merasakan bahagia seperti Wonwoo sekarang?

Tangis Jeonghan kembali pecah setelah memikirkan hal tadi. Seungcheol tiba-tiba sadar dari lamunannya dan ia kembali berusaha untuk menenangkan Jeonghan yang kini sudah menangis histeris dalam pelukannya. Rambut Jeonghan ia elus berkali-kali sambil bertanya kepada Jeonghan jika ia membutuhkan sesuatu. Seharusnya Jeonghan bisa menjawab itu semua karena ia yakin seratus persen kalau Seungcheol tidak akan meninggalkannya sendirian seperti bagaimana Wonwoo meninggalkannya di taman.

Tapi mengapa setiap Jeonghan berusaha untuk berhenti menangis, bayangan Wonwoo yang sedang menyeringai puas ke arahnya selalu saja berdiri di belakang Seungcheol?

What a mess.


thank you for reading and supporting confound!
dont forget to vote & comment, thank you♡

confound | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang