5. Jaydon, Penjelasan, Ajakan

41 11 10
                                    

Ucapan Jaydon terdengar seperti dentang kematian yang bergaung-gaung dalam telinga Jocelyn. Kerongkongannya kering. Dia meremas gaunnya, berusaha membuat tangannya tidak bergetar.

Orang-orang bilang, Red Woods tidak hanya didiami oleh hewan-hewan pada umumnya, tetapi juga makhluk buas mengerikan yang mampu meratakan bangunan dalam sekejap mata dan mengalahkan sepasukan prajurit. Tidak pernah ada yang melihat makhluk tersebut, bahkan mungkin Monroe yang telah melewati Red Woods sebanyak dua kali dengan selamat--wanita itu tidak pernah kembali setelah kedatangannya belasan tahun lalu, kemungkinan besar tidak selamat dalam perjalanannya meninggalkan desa--belum pernah bertemu dengan makhluk ganas bernafsu makan besar tersebut.

Jocelyn menelan ludah, tubuhnya mengeluarkan keringat sekalipun udara dingin berembus masuk dari celah pintu bengkel. Menerbangkan beberapa keping salju tipis ke dalam. Gigi gadis itu bergemeletuk, dia membuang wajah seraya menggeleng. Membayangkan teror yang dirasakan Naomi pada malam itu selalu sukses membuat bulu kuduk sang gadis berdiri.

"Kalau kau memang ada di sana, kenapa makhluk itu tidak membunuhmu juga?" balasnya ketus. Mengucapkan kalimat itu terasa seperti menelan pil obat tanpa pelarut. "Bisa-bisanya kau menyembunyikan hal itu dari semua orang." Jocelyn meringis, menatap sengit anak terakhir keluarga Brave yang berdiri di depannya.

Jaydon menarik rambut hitamnya, mengerang lirih dan berdecak sebal. Dia berputar-putar sambil menyumpahi Jocelyn dan menendang-nendang tumpukan salju pendek depan sepatu. "Aku menceritakannya padamu, kan?" Remaja tujuh belas tahun itu berucap gusar, matanya memelotot sampai urat-uratnya terlihat. Dia tidak mau mengakui kalau dirinya mempercayai Joceyln lebih daripada yang mungkin gadis itu sadari. "Kalau aku bilang pada warga lain, kalau kulihat hewan itu menebas leher Naomi sampai hampir putus. Menurutmu apa yang akan warga desa lakukan padaku?" Alis hitamnya terangkat, ucapannya terdengar seperti sedang menantang. Jocelyn tidak menyahut, membuat Jaydon kembali menyumpah.

"Mereka akan memaksaku ikut berburu! Kita tidak mungkin bisa membunuh makhluk itu, Jocelyn! Mustahil! Aku sudah melihatnya sendiri." Jaydon mengguncang kedua bahu kakak perempuannya. Tubuhnya bergetar pelan, tatapan seperti memohon.

Jocelyn membayangkan Jaydon yang bahkan tidak bisa mengangkat kapak dengan benar, dibawa menuju arena berburu. Ke dalam Red Woods. Lengannya kurus seperti boneka pengusir burung di tengah persawahan, rupa dan tatapannya yang seolah minta dikasihani setiap saat, tetapi terlalu gengsi untuk menerima bantuan--seperti seekor anak anjing kelaparan yang terlalu takut meminta makanan--juga tubuhnya yang hanya menang tinggi saja, tetapi tidak ada otot dan hanya sedikit daging. Tidak salah kalau Seamus dan Jocelyn berpikir jika Jaydon lebih cocok menjadi umpan apabila dia ikut serta. Larinya anak itu lebih kencang dari rusa dikejar predator, salah satu dari sedikit hal yang bisa dibanggakan Jaydon.

"Kau masih belum menjawab pertanyaanku." Telunjuk Jocelyn menekan dada kiri Jaydon. "Bagaimana caramu kabur dari makhluk itu ... maksudku, bagaimana? Mustahil dia tidak melihatmu berdiri di sekitar sana!" Jocelyn berusaha menahan nada suaranya agar tidak berteriak.

Jaydon membuka mulut, hendak menjawab. Namun, sebelum kalimat keluar dari mulutnya pintu bengkel terbuka dan pria gendut pemilik tempat tersebut terlihat di sana. Jaydon sudah menggenggam lengan kakaknya kuat-kuat, menarik gadis itu mundur dengan tampang waspada yang kentara. Dia bernapas lega saat mendapati bahwa itu bukan makhluk buas atau apa pun yang berbahaya, hanya pria tambun pincang yang kebetulan pernah hampir jadi bagian dari keluarga mereka kalau Naomi masih hidup.

"Aku kira siapa, ternyata kalian berdua." Frank Prascott memamerkan senyum lebar.

Orang tua ini punya aura baik dan hangat yang mempengaruhi siapa saja. Suasana mencekam dan tegang yang tadi membungkus kedua bersaudara seolah luntur seiring kepulan asap tipis yang keluar dari depan mulut mereka. Terpaksa, keduanya menyunggingkan senyum tipis. Berharap pada Tuhan seolah dunia akan kiamat sejam lagi kalau pria setengah botak ini tidak mendengar obrolan mereka.

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang