Bagaimana bisa aku melupakan perasaan ini, jika di saat kesusahan dia selalu datang tepat pada waktunya.
Khayra.
// About Readiness //
Ayra menopang dagu dan menyangganya di pembatas balkon sembari kedua netranya menatap awas pada dua lelaki yang sedang bermain basket di bawah sana. Bukan, tatapannya bukan tertuju pada kedua lelaki itu, melainkan hanya pada salah satu dari merekalah yang sedari tadi Ayra tatap dengan penuh kekaguman.
"Kak Akhtar buat aku heran, deh. Kapan, sih jeleknya? Perasaan kalau diliat ganteng mulu, makin diliat malah makin ganteng. Kaaan ... aku makin tambah cinta juga. Aaaa, mama ...." Gumaman itu keluar begitu saja dari bibir kecil Ayra dengan tatapan yang masih tertuju pada Akhtar.
"Ayra."
Panggilan itu sontak membuat Ayra menoleh dan menemukan persensi mamanya yang berdiri dua langkah di belakangnya. "Kenapa, Ma?"
"Ini loh, tadi Bintang baru aja nelpon Mama, katanya dia telepon kamu dari tadi, tapi sama kamu nggak diangkat-angkat," ujar Aina sembari menunjukkan ponselnya pada Ayra.
"Nggak kedengeran, Ma. HP-ku ada di kamar," ucap Ayra sembari memamerkan cengirannya.
"Sana, kamu telepon Bintang. Katanya ada hal penting yang mau dia kasih tahu ke kamu," titah Aina.
Ayra menggeleng seraya menunjuk ke arah lapangan basket yang ada di bawah sana. "Nanti aja, Ma. Aku masih mau nonton Kak Akhtar main basket dulu."
"Ya Allah, kamu cuman ke kamar buat ambil HP terus ke sini lagi itu nggak makan waktu lama loh, Ra," jelas Aina, tetapi lagi-lagi mendapat gelengan oleh Ayra.
"Nggak bisa, Ma. Entar balik-balik Kak Akhtar udah selesai mainnya. Nggak ah, nanti aja aku telepon Bintang, paling juga dia bohong kalau ada hal penting yang mau dia kasih tahu ke aku."
"Astagfirullah anak ini ... Ra, pergi ambil HP kamu sekarang atau kamu nggak akan mama kasih izin lagi buat masuk ke kamar Mama buat nonton Akhtar main basket. Pilih mana?" ancam Aina.
Ayra seketika cemberut, lalu mengembuskan napas dengan berat. "Mama mah gitu, suka banget pake ancaman itu. Kalau gitu kita tukeran kamar aja gimana, Ma?" Seketika raut wajah Ayra berubah semringah kala mengajukan sebuah negosiasi pada Aina.
"Ayra ...."
"Oke, Ma. Oke, aku ke kamar dulu." Ayra yang hendak melangkah, seketika berbalik dan kembali mendekat pada pembatas balkon. "Kak Akhtar, semangat ya mainnya!" Setelah itu barulah Ayra pergi dan meninggalkan Aina yang hanya bisa menggeleng pelan melihat tingkah putri kesayangannya itu.
"Semoga kamu bahagia selalu ya, Nak. Semoga aja kamu nggak akan ngerasain patah hati kayak mama dulu," gumam Aina setelah persensi Ayra tidak terlihat lagi di manik matanya.
// About Readiness //
Ayra membuka sedikit pintu kamar Adit, kemudian gadis itu menyembulkan kepalanya guna mencari keberadaan sang empu kamar. Saat dia sudah menemukan sosok Adit yang terlihat sedang sibuk dengan laptop dan beberapa kertas yang berserakan di mejanya, membuat Ayra langsung urung meminta bantuan pada Adit.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Readiness
SpiritualSpiritual-fiksiremaja "Maaf, aku nggak bisa kayak Sayidah Fatimah yang bisa tahan dengan cinta diam-diamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Aku juga tidak seberani Bunda Khadijah yang melamar Rasulullah lebih dulu ... yang kubisa hanya menjadi seperti Zu...