Arin dan Arka sudah bersiap duduk di meja makan ingin menyantap makan malam mereka. Sepertinya semua energi mereka sudah terpakai untuk hari ini. Sehingga tubuhnya minta diisi nutrisi segera.
"Mas ..." panggil Arin menghentikan suapannya.
"Iya, kenapa? Kepala kamu sakit lagi?" tanya Arka bingung.
"He he, nggak dong. Masa kepala aku sakit terus. Kamu kan lihat sendiri aku sehat gini, masa dibilang sakit," protes Arin.
"Maaf, maaf."
Arka juga ikut meletakkan sendoknya serta menoleh ke arah Arin. Kali ini ia benar-benar ingin menyimak ucapan istrinya.
"Kamu mau ngomong apa tadi?" tanya Arka santai.
"Aku mau minta izin. Boleh nggak kalau aku pakai cadar? Aku mau menutup arahku secara sempurna. Biar nggak ada yang bisa melihat diriku, kecuali kamu. Iya, walaupun aku tau akhlak dan agamaku belum sesempurna yang lain. Namun, nggak ada salahnya kan kalau aku mau belajar menjadi lebih baik dari sebelumnya? Kata Ustadz, jangan menunggu sempurna untuk menjadi lebih baik. Jangan menunggu pantas untuk berubah. Melainkan mulailah untuk berubah dan memperbaiki diri sampai kita menghampiri tahap sempurna dan pantas tersebut, karena itu dimulai dari diri sendiri bukan ditunggu begitu aja," jelas Arin mengutip salah satu perkataan ustadz.
"Boleh ya, Mas?" timpal Arin melanjutkan ucapannya.
Arka manggut-manggut mendengar satu per satu penjabaran dari istrinya. Tanpa ada satu kalimat yang ia bantah. Ia hanya tersenyum dan terlihat kagum dengan sosok perempuan muda di hadapannya. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa perempuan itu memiliki pemikiran yang luas.
"Iya, kalau itu yang jadi permintaan kamu. Asal kan kamu niatnya karena Allah bukan karena yang lain dan kamu juga yakin bukan karena paksaan. Aku kasih izin," jawab Arka menganggukan kepalanya.
"Huwaa, makasih Mas. Udah ngasih aku izin untuk mengenakan cadar."
Arin tersenyum bahagia mendapat izin dari Arka.
***
Mulai hari itu Arin sudah memakai cadar. Hatinya sudah yakin dengan keputusannya yang memilih untuk memakai kain penutup ini. Tidak ada alasan lain yang bisa meruntuhkan tekadnya.
"Arin, Mas berangkat kerja dulu, ya. Kamu istirahat di rumah dan jangan ke mana-mana. Obatnya juga jangan lupa diminum," pamit Arka.
Kali ini, Arka tidak langsung pergi. Namun, ia ke garasi dulu menyiapkan salah satu mobil yang ingin ia bawa. Mesinnya harus dipanas kan kan terlebih dulu. Sedangkan, Arin hanya menunggu di ruang tamu.
Tok ... Tok ... Tok ...
Arin bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Kamu kayak orang baru aja deh, Mas. Pakai ngetuk pintu segala," omel Arin menarik pintu kacanya.
Mata Arin membulat sempurna ketika melihat sosok yang datang. Ternyata dugaannya salah. Sosok itu bukanlah Arka suaminya. Melainkan seorang perempuan muda yang pernah mampir ke rumah sakit beberapa hari yang lalu.
"K-kak Na-dia?" sapa Arin terbata-bata.
"Arka mana?" tanyanya tanpa menghiraukan sapaan yang diberikan.
"Mas Arka udah pamit kerja, Kak. Ada apa ya cari dia?" tanya Arin penasaran.
"Owh, bagus deh kalau Arka udah pergi. Ntar aja gue nyusul dia ke sana dan lo jadi penunggu rumah yang sama sekali nggak spesial di hati Arka, karena di hati Arka cuma ada gue. Jadi, lo jangan pernah berharap Arka jadi milik lo selamanya. Dasar penyakitan! Urus aja tuh penyakit kanker otak lo," umpat Kak Nadia habis-habisan.
Belum sempat Arin menjawab cacian itu, Kak Nadia sudah berlalu meninggalkannya yang memaku di ruang depan. Pandangannya mendadak berubah buram mengingat kata-kata perempuan barusan.
Setelah mencoba menahan sakit di kepalanya, Arin tergeletak di lantai. Ia Tidak sadar diri.
Langkah Arka terhenti ketika melihat pintu rumah masih terbuka lebar. Ia menautkan kedua alisnya saat melihat Arin sudah pingsan. Ia membawa Arin ke kamar dan berusaha memberikan pertolongan pertama di sana. Namun, setelah sadar Arin bertingkah sedikit aneh yang berhasil membuat Arka kebingungan.
"Aku di mana?" tanya Arin dengan suara lemah.
"Kamu lagi di rumah, Sayang. Tadi kamu pingsan di pintu."
Arin memandang setiap sudut kamarnya dan berulang kali menggeleng. Ia sama sekali menolak bahwa ini rumah dan kamarnya.
"Kamu siapa?"
Satu pertanyaan Arin membuat dunia Arka hancur seketika. Istri yang sangat dicintainya kini tak mengenali sosoknya lagi.
"Saya-"
"Saya dokter yang memeriksamu tadi dan ini rumah saya," jawab Arka ragu.
Arin tetap bertahan dengan diamnya. Sedangkan Arka baru mengingat sesuatu. Ia membuka salah satu laci dan mengambil buku yang ada di dalamnya. Dulu, Arin pernah mengingatkan untuk memberikan buku itu saat sosoknya melupakan apa pun.
"Hm, ini bukumu." Arka menyerahkan buku biru itu dan berbalik meninggalkan kamar.
Arin dengan wajah kebingungan meraih dan mulai membaca satu persatu halamannya.
"Mas Arka? Maaf kan aku."
Arka kaget karena tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang.
"Iya, nggak papa kok. Kamu nggak salah," jawab Arka membalas pelukan dari Arin.
"Terima kasih udah mengingatkanku akan sosokmu."
Arin tersenyum dan mengeratkan pelukannya. Seakan ia bahagia sudah kembali mengingat sosok Arka. Namun, faktanya ia masih melupakan hal lain yang belum ia temui.
To be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomanceKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...