“Namaku Widia, Bu Dokter. Tubuh saya tidak mengizinkan kami berhubungan badan. Rasanya sakit seperti di tusuk-tusuk jarum. Kalo saya memaksakan, jantung saya berdegub kencang, pinggan terasa kaku, dan sekujur tubuh ikut nyeri. Sulit saya menjelaskan lebih detil, karna mungkin orang lain tak paham.
Dulu teman saya bilang kami hanya kurang rileks. Kami pun mencoba rileksasi dan berbulan madu, namun nyatanya tiada perubahan sama sekali.
Orang bilang malam pertama itu sakit. Tapi, rasa sakit itu menghantui saya sampai tiga tahun lamanya usia pernikahan kami saat ini, Bu Dokter.
Kami punya mimpi memiliki anak, karna suami saya anak tunggal. Tapi karena rasa sakit ini, rasanya tak mungkin.”
Dokter Aisyah mengangguk setelah mendengar keluhan Widia.
“Berapa usia ibu?”
“Sekarang 28 tahun, Bu. Bahkan saya mencoba, maaf sebelumnya, Bu Dokter, bukan maksud saya porno atau membahas hal tabu, tapi saya merasa harus curhat sejujurnya agar Njenengan bisa menilai.”
“Memang harus begitu, Bu. Jangan malu, Ibu harus cerita apa adanya jika ingin diagnosa akurat.”
Widia mengangguk dengan mantab. Keraguannya juga langsung hilang berganti rasa percaya diri lagi.
“Saya sampek mencoba memasukkan jari, rasanya sakit sekali. Bagaimana jika seterusnya seperti ini, Bu? Saya nggak bisa melayani? Lalu Saya nggak bisa punya anak?” Melinang air mata Widia karena perasaaanya dikuasai rasa takut.
“Ibu tenang … segala penyakit insyallah ada obatnya.”
Widia menarik napas panjang, dan mengembuskan perlahan. Sisa air matanya juga diseka, wajahnya pun nampak lebih rileks karena ucapan dokter cukup menenangkan.
Kini dokter Aisyah menatap lelaki berwajah kalem dan berkemeja biru muda yang ada di samping Widia.
“Bapak, saya juga perlu observasi pada Bapak. Njenengan usianya berapa?”
“Saya 35 tahun, Bu Dokter.”
“Untuk Bapak, apa yang Bapak rasakan saat berhubungan?”
“Saya merasakan seperti menabrak dinding. Kalo saya berusaha terus, Widia menjerit kesakitan.”
“Baik. Tadi ibu mengatakan sudah merasakan selama tiga tahun. Sebenarnya waktu yang cukup lama ya, Bu. Apa belum periksa ke Dokter?”
Widia dan Azam saling menatap, lelakinya itu kemudian mengangguk untuk mempersilahkan istrinya.
“Pernah, Dokter. Waktu usia pernikahan kami menginjak enam bulan. Kami bingung kenapa rasa sakit yang saya rasakan nggak hilang juga? Dokter melakukan USG, rahim saya sehat dan ada masalah.
Dokter mengatakan saya hanya kurang rileks. Dan malah memberi warning jika saya tetap nggak bisa, saya harus siap dicerai atau dimadu karena nggak bisa melayani suami.
Hati saya sakit. Mental saya jatuh karena saya sudah berusaha mati-matian melayani, tapi saya malah trauma dengan rasa sakitnya.
Siapa wanita yang nggak pengen melayani dan membahagiakan suaminya? Saya kira semua wanita ingin. Sejak saat itu saya malas ke dokter lagi.”
Air mata Widia melinang lagi tersebab hatinya nelangsa karena merasa gagal menjadi istri. Tapi suaminya langsung merangkul dan mengelus pundaknya untuk menenangkan.
Dokter kandungan itu mengangguk dan diam untuk memberi waktu pada pasien yang baru pertama kali datang ke kliniknya itu.
Beberapa detik berlalu, wanita bergamis ungu muda dengan padanan jilbab segi empat warna senada motif bunga itu nampak sudah tenang dan mengelap air matanya menggunakan tisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vaginismus
RomanceTubuhku tidak mengizinkan kami berhubungan badan. Rasanya sakit seperti di tusuk-tusuk jarum. Kalo aku mencoba memaksakan, seketika jantungku berdegup kencang, pinggang terasa kaku, dan sekujur tubuh ikut nyeri. Rasanya sulit menjelaskan lebih de...