Jurnal 1

170 24 49
                                    

Entry No. 1

Hai, aku Razaq, biasa dipanggil Raz. Sebenarnya aku tidak pernah membuat catatan atau jurnal seperti ini, tetapi sekarang, sepertinya harus. Seperti para pelaut yang menuliskan setiap kegiatan mereka di perjalanan dalam logbook untuk memberitahukan bila ada masalah yang terjadi. Aku juga. Perjalanan yang berbahaya ini mungkin—tidak, pastinya akan mengancam nyawa. Jurnal ini nantinya akan sangat penting kalau aku tidak selamat di petualanganku nanti, untuk identifikasi mayat misalnya? Uh, aku jadi merinding sendiri saat memikirkannya. Sebenarnya aku belum siap untuk mati, amalku belum banyak. Namun, kalau sudah takdirnya apa boleh buat, bukan? Setidaknya aku sudah berbuat baik ... seingatku.

Bicara tentang kematian, katanya kilas kehidupan kita akan terputar seperti video sebelum ajal menjemput? Mungkin ada baiknya orang-orang nanti yang akan menemukan jurnal ini di dekat mayatku (lagi-lagi bulu kudukku meremang) tahu tentang satu-dua hal tentang diriku agar mereka yakin aku ini siapa.

Aku pernah punya keluarga. Kami pernah tinggal secara harmonis meskipun akhirnya mereka direnggut oleh takdir. Iklim yang semakin ganas mengharuskan kami berpindah-pindah untuk mencari oasis yang lebih layak. Selama bertahun-tahun, kami hidup nomaden. Aku, Abi, Ummi, dan Nisya—adik perempuanku. Takdir yang buruk menimpa kami saat berada di salah satu koloni yang ternyata sangat barbar. Mereka dapat membunuh hanya untuk sebotol air atau sekerat daging. Kami melindungi satu sama lain, tetapi sialnya aku dan Nisya terpisah dengan orang tua kami. Aku masih ingat sekali kata-kata terakhir Abi, "Lindungi adikmu dan tetap teguhlah pada jalan Tuhan!" katanya, kemudian mereka tenggelam dalam lautan manusia yang saling menumpahkan darah.

Untuk beberapa tahun setelahnya, hanya aku dan adikku yang hidup terlunta-lunta dari satu koloni ke koloni lain. Aku kerja serabutan hanya untuk sekeping roti. Hidup kami tidak bisa disebut baik, tetapi kami bahagia karena punya satu sama lain. Setidaknya itulah yang kupikirkan sebelum Nisya jatuh sakit. Di hari Jumat saat titik cahaya matahari pertama datang menerpa, adikku mengembuskan napas terakhirnya di pangkuanku. Sekarang, satu-satunya hal yang tersisa dari keluargaku hanyalah selembar syal biru yang selalu terkalung di leher pemberian dari Ummi.

Oh, sial. Lagi-lagi aku menangis saat mengingat mereka kembali.

Setelah keluargaku tiada, aku hidup sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk belajar membela diriku agar tidak ada lagi korban seperti orang tuaku yang meninggal terinjak-injak. Aku belajar dari para pemburu dan para tentara bayaran. Sesekali membantu mereka dengan imbalan beberapa potong roti. Tempaan gurun dan pacuan adrenalin saat jadi umpan hewan buas merupakan makanan sehari-hari. Bertahun-tahun aku melakukan itu, sampai akhirnya aku sendiri menjadi tentara bayaran.

Merasa tidak sepaham dengan para pemburu—aku terlalu takut untuk pergi saat itu, karena masih muda—aku akhirnya pergi dan debut solo sebagai mercenary. Berbagai pekerjaan aku tekuni, dengan memegang prinsip yang selalu Abi tanamkan, "Tidak penting apa pekerjaannya, asalkan baik."

Berpindah-pindah koloni untuk bekerja membuatku setidaknya mengetahui bagaimana karakteristik setiap tempat. Ada yang dingin, ada yang hangat. Ada yang apatis, ada yang peduli. Aku tidak pernah acuh sebelumnya, sampai aku menemukan keluarga baruku, koloni AX-0976. Memang bukan tempat yang sempurna, tetapi aku nyaman tinggal di sana. "Menjadi orang yang bermanfaat" seperti yang selalu Abi terapkan, meskipun terkadang aku lebih seperti dimanfaatkan. Miris sekali, bukan? Tapi, tidak apa. Aku masih bermanfaat.

Koloni ini hangat, peduli, dan lumayan baik. Namun, di setiap kelebihan pasti ada kekurangannya. Aku tidak ingin mengatakan keburukannya. Jadi, cukup sebut saja begitu. Kekurangan yang membuat aku ingin ke tempat yang lebih baik, tetapi juga enggan. Kalau bisa, aku ingin membawa mereka yang peduli denganku dan saling mengasihi. Ke mana? Liberté. Sebuah tempat yang katanya seperti utopia. Aku selalu bermimpi pergi ke sana sejak pertama mendengarnya. Oasis penuh kehidupan di tengah padang gurun mematikan.

Tapi, tahu tidak? Mimpi itu akhirnya akan segera terwujud. Pada suatu hari yang panas, desas-desus berdesir bagai badai pasir. AYX Corp. datang untuk merekrut orang-orang. Antusias? Sangat. Namun, aku kembali mengingat orang-orang yang amat aku kasihi dan sama-sama menyayangiku. Mimpi itu ada di depan mata, tetapi aku ragu untuk menggapainya. Sampai seseorang yang selalu aku hormati menyemangatiku.

"Raih apa yang kau inginkan," katanya. "Kau sudah menantikan ini seumur hidupmu, bukan? Jangan jadikan kami halangan."

Saat itu, aku masih belum yakin. "Bagaimana dengan kalian?" tanyaku.

"Kami akan baik-baik saja. Tidak perlu khawatir." Dia tersenyum padaku. "Sekarang cepat, sebelum mimpimu dilahap kadal gurun."

Aku langsung memeluknya disertai air mata.

Aah, kalau ingat-ingat masa itu aku jadi selalu terharu!

Aku langsung ke tempat di mana berita dari mulut ke mulut itu berasal. Di sana, banyak orang yang berkumpul untuk bisa keluar dari tempat ini. Setiap orang yang mendaftar ditanyai oleh ketua konvoi yang ada.

Aku tidak bisa membendung antusiasme saat giliranku ditanya. Sebisa mungkin aku menyembunyikan euforiaku. Aku masih ingat—karena ini adalah salah satu peristiwa yang bersejarah—saat wawancara itu terjadi.

"Apa kelebihanmu sampai berani mendaftar ke sini?" tanyanya tegas.

"Aku seorang mercenary yang biasa membantu pengawalan dan membantu perburuan," jawabku mantap sambil menempatkan kepalan tangan di depan dada. Ketua konvoi melihatku dari atas sampai bawah. Aku sempat deg-degan saat dia melakukan itu. Dia kemudian mengangguk, lantas menyuruh aku untuk bersiap saat waktunya tiba.

Aku langsung kembali ke tempatku dan memberitahukan berita besar ini.

Kemudian, hari yang kunanti akhirnya datang. Hal yang tidak aku sangka adalah ternyata hanya ada tiga orang yang berhasil lolos. Aku dan dua orang gadis. Seorang anak perempuan mungil yang bekerja sebagai kurir bernama Xi dan gadis dari bengkel yang kukenal sebagai Edda. Dua perempuan dan satu lelaki. Apa aku bisa bertahan? Tentu saja aku harus bisa. Abi selalu bilang untuk menjaga pandangan terhadaplawan jenis. Akan tetapi mereka kan, pakai baju tertutup seperti aku. Harusnya bisa, 'kan? Bisa, lah. Pasti bisa.

Ah, jurnal ini malah jadi bahan curhat bukannya seperti logbook. Namun, tidak apa-apa kan? Kalian yang menemukan mayatku nanti (semoga jangan dulu, Ya Tuhan, aku belum siap), bisa lebih tahu tentang kisah seseorang yang kalian temukan. Ceritaku setidaknya bisa jadi pelajaran—semoga. Oke, sepertinya sudah cukup, kalau dilanjutkan akan lebih panjang dan kalian tidak menemukan intinya.

Jadi, biar aku rangkum semua. Hal terpenting dari catatan ini adalah, aku Raz, laki-laki, umur 25 tahun, berasal dari koloni AX-0976 di Direland. Orang-orang dari perusahaan AYX datang untuk merekrut orang-orang untuk bekerja di Liberté. Aku bersama Xi dan Edda berkesempatan untuk pergi. Semoga di sana, kehidupan akan menjadi lebih baik dan aku berkesempatan untuk membawa keluargaku pindah dan menetap di oasis yang layaknya utopia.

R.

===

Honorable mention karena anaknya nongol di sini amelaerliana Happy_Shell Xixixi.

Faith in the Desert (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang