"Cepat Naik." titah Rian.
Nanta menggeleng. Sambil menunjukkan kunci motor milik Ara. "Lo pulang aja sendiri. Gue bawa motornya si Cebol." ujarnya menolak ajakan Rian.
Rahang Rian mengeras saat Nanta menunjukkan kunci motor milik Ara. Ia meminta Nanta ikut bersama nya supaya Ara tidak terus terlibat dengan cowok itu. Tapi kenapa cowok itu tidak paham juga dengan maksudnya?
Tapi jika ia memaksa Nanta untuk ikut pulang bersama nya, takutnya Nanta berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya. Di anggap Gay misalnya. Memikirkan nya saja Rian sudah jijik duluan. "Yaudah pulang sana. Hati-hati di jalan." ucap Rian sambil membuka helm. Dan meletakan helm nya di kaca spion sebelah kanan.
"Tau gitu gue lama-lamain ngapel dirumah Ara." gerutu nya yang masih kesal dengan penolakan Nanta.
Mendengar gerutuan yang keluar dari mulut Rian, Nanta langsung menanggapi dengan cepat. "Ya udah ayok pulang bareng."
Rian tersenyum tipis. "Ya ayok. Cepat naik." serunya tidak sabaran.
Sebenar nya, Nanta sudah gerah lama-lama berada di rumah Ara. Kipas dan Ac alami yang ada dirumah Ara tidak membuat keringat nya berhenti membanjiri tubuhnya. Ac alami yang di maksud adalah jendela dan pintu yang di buka lebar-lebar oleh Ara karena Nanta mengatakan 'Gerah'. Gerah karena panas, di tambah gerah melihat kemesraan Rian dan Ara.
Nanta memasukkan kunci motor Ara ke saku celana nya. Ia segera menuju motor Rian, dan duduk di belakang. Jika lambat sedikit gerakan nya, bisa-bisa Rian balik lagi kerumah Ara.
"Gue udah naik." ucap Nanta memberitahu.
"Iya udah tau." sahut Rian sambil menghidupkan motornya.
Rian menoleh ke belakang. "Pegangan gue mau balap soalnya."
"Ogah. Lo kira gue cowok apaan."
"Nggak mau yaudah." setelah mengatakan itu, Rian menancapkan gasnya meninggalkan rumah Ara.
Ternyata di antar Rian pulang, sama saja mengantar Nanta ke peristirahatan yang terakhir. Sepertinya Rian balas dendam kepadanya, karena membawa Ara pulang dengan ugal-ugalan.
Beberapa kali nabrak polisi tidur membuat pantat Nanta kesakitan. Di tambah lagi setiap di tikungan Rian membelokkan motornya seperti Valentina Rossi yang tengah balapan. Membuat Nanta refleks menaikkan kaki nya ke atas takut kaki nya mencium aspal.
Meski jalanan macet, tidak ada keraguan dari diri Rian menyalip pengendara lain nya.
Kesal, Emosi bercampur jadi satu. Kalau bukan cowok yang di sukai Elia. Udah ia hantam kepala Rian dari belakang.
"Alamat rumah lo dimana?" tanya Rian setelah memelankan kecepatan motornya.
"Masih sekompleks dengan rumah nya Elia." Nanta yakin, dengan berkata seperti itu, Rian pasti langsung paham sama alamat rumahnya.
"Ooh." tanggap Rian yang kembali membawa laju motor nya.
Sekitar 20 menit. Mereka sampai di rumah Nanta.
"Makasih tumpangan nya. Besok kalau mau mati jangan ajak gue ya." ucap Nanta ketus setelah turun dari motor Rian.
Rian terkekeh. "Ah elah, siapa juga yang mau ngajak lo mati. Lo kalau mau mati ya mati aja duluan bro. Gue masih mau hidup bahagia bersama Ara."
Nanta melotot. Kalau tidak mengajak nya mati apa maksudnya coba bawa motor ugal-ugalan? Untung nya ia tidak lebay memeluk Rian saat di landa rasa takut ketika Rian menyalip dua truk gandeng.
"Bacot." umpat Nanta membuat Rian terkekeh.
"Selow aja yakan. Iri bilang."
"Siapa juga yang iri." sewot Nanta.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ultimate Happines
Teen FictionPacaran harus minta persetujuan. Sudah minta persetujuan di suruh nolak. Pacaran tanpa persetujuan disuruh putus. Di kisah hidup orang lain, ada abang yang tukang ngatur dan nggak ngebolehin adiknya pacaran. Di kehidupan Ara ada kelima sahabatnya...