Mentari tidak menangis ketika rotan beberapa kali mengenai tangannya. Ia terdiam dengan wajah pucat dan tatapan mata lurus, sementara guru itu masih terus memukul tangannya. Guru itu berhenti dan menatap jengkel Mentari."Masih nggak mau ngaku? Hah! " lalu ia kembali memukul tangan Mentari sambil mengoceh tidak jelas.
Teman-teman sekelasnya mengintip lewat jendela, termasuk Caca dan Ana.
"Ini... Perbuatan elo kan? " tanya Caca dengan suara pelan.
Ana menoleh ia menaikkan alisnya bingung. "Maksudnya?"
"Lo pikir gue tolol? " Caca mendongak menatap tajam temannya yang tinggi itu. "Kalau sampai ketahuan, bisa mati lo!"
Ana kembali menatap ke depan. "Lo penakut amat sih, lo tahu kan Dian itu siapa? Kita harus tetap dukung dia, biar kita bisa aman. "
Caca hanya diam dan menghela napas, ada sedikit rasa kasihan ketika melihat Mentari dipukuli.
"Wah lihat, dia nggak nangis tuh!"
"Sudah berapa kali dipukuli?"
"Kayunya sampai patah. "
"Kasihan juga sih... "
"Ngapain kasian sama pencuri? "
Caca tidak kuat mendengar ocehan teman sekelas, tidak mau rasa kasihannya semakin bertambah. Ia pergi meninggalkan kerumunan.
Tangan Mentari gemetar, dia mendengar suara itu. Suara teman-temannya, yang terus menyebutnya pencuri. Ingin sekali Mentari berteriak dan mengatakan bahwa dia bukan pencuri, tapi sekarang dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Kakinya lemas, jantungnya berdebar-debar, ia tidak mau menangis di depan semua orang.
"Mentari, sebaiknya kamu mengaku saja dan kasih tahu di mana sisa uang milik Nak Dian. Kalau kamu mau mengaku, nanti bapak yang akan bicara kepada wali mu, " ucap Guru yang lebih tua dengan lembut.
"Anak seperti ini nggak bisa di kasih tahu, Pak, " kata Guru berkumis yang habis memukuli Mentari. "harus di kasari dulu, baru mau mengaku. "
Guru berkumis itu membuang kayu rotan yang sudah patah, lalu mengambil penggaris besi di mejanya. Anak-anak yang mengintip di luar langsung menelan ludah, mereka ribut untuk memperebutkan barisan depan. Guru berkumis itu sudah siap untuk memukul Mentari lagi, tapi tidak jadi ketika pintu tiba-tiba terbuka.
Mentari langsung mengangkat wajahnya dan melihat seorang pria paruh baya di ambang pintu, pria itu tampak marah dan Mentari rasanya ingin lari. Ini yang ia takuti, jantungnya tidak bisa berhenti tenang melihat ayahnya marah besar.
Ayahnya langsung berjalan perlahan sambil terus menatap Mentari tajam, Mentari hanya bisa menunduk. Tangan dan kakinya gemetar, ia ingin menangis sekarang.
Guru kumis itu menceritakan semuanya, pria paruh baya itu kembali menatap Mentari tajam, lalu menamparnya keras, hingga jatuh. Semua orang kaget, terutama anak-anak yang mengintip di luar, lalu salah satu guru membubarkan kerumunan itu dan ruang guru sunyi. Dian menatap khawatir Mentari, ia berjalan cepat dan langsung membantu Mentari berdiri.
"Anak kurang ajar! Siapa yang ajari kamu mencuri hah?! "
Mentari menunduk, ia belum menangis walaupun ayahnya menamparnya sakit sekali. Karena terus menunduk, ia tidak sadar ayahnya berbicara lembut kepada Dian dan meminta maaf atas nama anaknya.
"Nggak apa-apa, Om." Dian tersenyum ramah kepada ayah Mentari. "Aku ngerti kenapa Mentari lakuin ini semua, kita sering ke mal bareng, dia kayaknya pengen banget beli barang-barang mahal, seperti anak-anak lain. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamat Pagi, Mentari
Roman pour AdolescentsCerita tentang Mentari, Adilla, Tasya dan Dean yang melewati masa remaja di awal tahun 2000-an Cerita ini terinspirasi dari drama korea populer, Repply 1988