11. Rencana, Tuduhan, Nekat

23 8 10
                                    

Mendengar ketukan terburu-buru itu, Micha cepat-cepat menaikkan selimut Jocelyn sampai ke atas leher dan mendorong bahunya agar gadis itu menjadi rebah. Micha bangkit berdiri perlahan, dia mengendap mendekati pintu sambil menatap Jocelyn yang masih pucat.

Tepat ketika Jocelyn pura-pura terpejam, Micha membuka pintu kamar dan langkah gegas nan berat seseorang membuat lantai kayu berderit. Bunyi pintu tertutup membuat jantung Jocelyn berdenyut kencang, gadis itu berharap ekspresi tidurnya cukup meyakinkan.

“Bagaimana kondisinya?” Tucker menarik topi rajut, dan membersihkan sisa salju yang lengket di atas kepala. Sekilas, pria berambut hitam pendek itu menatap Jocelyn lantas kembali memandangi Micha. “Jeremiah sudah sadar,” bisiknya.

Mendengar suara Tucker dan bukannya Zachary membuat Jocelyn bernapas lega, dia bisa merasakan otot wajahnya jadi lebih rileks dan tanpa sadar mengucap syukur dalam hati. Namun, sekejap gadis itu teringat dengan kertas surat yang ditemukannya terselip pada ranjang tidur dan tanpa bisa dikendalikan, Jocelyn sudah tegap di atas ranjang. Tatapannya lurus ke arah Tucker yang terlalu terkejut untuk memberi respons.

“Jocelyn!” Micha memekik, tangannya menutup mulut. Wanita tua itu mendekati cucunya dan mengusap-usap punggung Jocelyn, seolah-olah dia baru saja tersedak. “Kenapa kau tiba-tiba bangun?”

Mengabaikan pertanyaan neneknya, Jocelyn justru sibuk merogoh-rogoh gaunnya tanpa mengalihkan pandangan dari Tucker, seolah-olah pria itu akan lenyap kalau dia berkedip.

Tucker mengernyit, menyadari tatapan tak biasa sang kekasih. “Jocelyn ada apa?” Dia berjalan mendekat perlahan, tangan Jocelyn tersangka lurus ke depan badan, menghentikan pria itu. “Apa? Kenapa?”

Jocelyn mengerang tertahan, menyadari bahwa dia sudah berganti gaun saat melihat pakaian berwarna biru pucat yang dikenakannya di bawah selimut.

Tentu saja!

Gadis itu mengumpat dalam hati.

Mana mungkin Micha membiarkannya terbaring dengan pakaian penuh darah dan sobek besar di punggung. Harapannya pupus seperti tulisan pasir diterpa ombak. Neneknya kebingungan melihat tingkah Jocelyn, Tucker lebih bingung lagi karena gadis yang menumpang perawatan di rumahnya itu bertingkah aneh sekejap setelah membuka mata.

“Apa apa?” Tucker bertanya lagi, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Kau baik-baik saja?”

“Tidak!” Nada suara Jocelyn dalam dan tajam, dia menggeleng tegas. Tangan terkepal di atas paha. “Malam itu, saat Naomi meninggal dunia.” Sambil menatap lekat-lekat bola mata biru gelap Tucker, Jocelyn mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan kalimatnya.

“Kau. Kau mengirimkannya surat, meminta Naomi untuk menemuimu di gerbang depan,” Jocelyn menarik napas, “untuk apa?”

Tucker mengernyit, kian dalam sehingga garis bekas cakaran serigala di wajahnya tersamarkan. Dia menggeleng. “Aku tidak pernah melakukan itu," sangkalnya, tangannya bergerak memberi gestur seperti melambai. “Aku tidak pernah mengirim surat pada siapa pun. Tidak pernah. Bahkan Naomi atau kau sekali pun.”

“Bohong!”

Micha sampai harus menahan kedua bahu Jocelyn ketika gadis itu seperti akan melompat dari atas kasur. Wanita tua itu berdesis-desis, berusaha membuat gadis muda di depannya mengecilkan suara. “Tenanglah, Jo.”

“Aku menemukan surat itu di ranjang Naomi.”

“Aku tidak pernah menulis apa pun, Jocelyn. Aku bersumpah atas nyawaku.” Tucker maju selangkah, wajahnya kelihatan lelah dan menuntut kepercayaan. “Kumohon, Jocelyn. Percayalah padaku. Itu bisa saja bukan tulisanku, apa kau pernah melihat tulisanku?”

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang