Range 15+
Bangkrutnya pemilik peternakan kuda tempat Mawar bekerja, seperti menjadi skenario Tuhan untuk mempertemukannya dengan Rudi. Mawar dengan segala keunikannya berhasil mengambil tempat istimewa di hati Rudi. Sayangnya, peternakan kuda yang d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DARI WC ballroom terdengar suara tiga gadis sedang berbincang-bincang. “Udahlah, Gie. Gue rasa lo gak perlu lagi banyak berharap sama Rudi,” ujar Marsha memulai pembicaraan mereka. Marsha menyandarkan tubuhnya di salah satu dinding WC. “Sorry, Gie. Tapi kali ini aku setuju sama Marsha,” sahut Lolita pula, yang sedang mencuci tangannya di wastafel.
“Kalian itu gak ngerti persoalannya. Aku udah bisa—” sanggah Angie yang tiba-tiba dipotong Lolita.
“Ok. Aku ngerti. Kamu udah bisa ngerebut perhatian kedua orang tua Rudi. Beberapa kali juga udah bisa bikin Rudi harus keluar bareng sama kamu, berdampingan sama kamu. Meskipun cuma terpaksa. Tapi itu gak cukup, Gie,” jelas Lolita, sambil mengelap tangannya dengan tisu kemudian membuang tisu bekas ke tempat sampah. Sedangkan Angie masih setia berdiri menghadap kaca besar di atas wastafel.
“Terus aku bisa apa? Aku sayang sama dia. Aku udah berkali-kali berusaha untuk lupain dia, tapi apa? Aku tetap gak bisa.” Lagi-lagi Angie mencak-mencak dengan wajah memelas, menolak pernyataan sahabatnya.
“Bukan gak bisa. Tapi belum bisa,” ucap Lolita lembut, mengelus punggung Angie.
Angie terdiam, ia memandangi wajahnya di cermin kamar mandi. Air matanya mengalir, melunturkan make up yang sejak tadi membuat dirinya tampak seperti seorang tuan putri. Marsha yang tidak sanggup melihat sahabatnya tersakiti ini mulai tersulut amarah.
“Kalo gak gini aja deh. Kita samperin aja itu dua orang, biar mereka tahu sekalian! Bukan cuma mereka tapi satu gedung ini tahu!” teriak Marsha penuh emosi dan hendak keluar dari kamar mandi.
“CHA, Cha, tunggu dulu,” ucap Lolita sambil menahan tubuh Marsha.
“Lo jangan emosian gitu dong. Kita bisa malu. Gimana kalo bokap kita bertiga tahu? Mau taroh di mana mukanya?” lanjut Lolita melerai emosi Marsha.
“Tunggu, tunggu, tunggu. Kalian ngerasain hal yang sama gak sih?” tanya Angie tiba-tiba. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Hal apa?” tanya Lolita dan Marsha hampir bersamaan.
“Aku seperti gak asing sama wajah perempuan itu,” lanjut Angie membalikkan badannya. “Tapi aku ketemu di mana ya?”
Lolita dan Marsha saling bertatapan lalu berkata hampir bersamaan, “Aku ingat!”
“Di mana?” tanya Angie penuh semangat, dan penuh tanda tanya besar.
Lolita menggenggam tangan Marsha dengan wajah penuh rasa bersalah. “Hei, kenapa? Kok jadi pada diam?” desak Angie semakin penasaran. Sejenak mereka terdiam, Lolita meneteskan air mata, Angie semakin bingung dan penasaran. Akhirnya Marsha memberanikan diri untuk berkata, “Lo ingat ‘kan, tiga tahun yang lalu lo pernah kecelakaan?”