26. Sebuah Rahasia

1K 196 28
                                    

"Kamu ngapain buka-buka laci lemari? Aku paling nggak suka ada orang ngacak-ngacak barang pribadi aku! Tahu nggak!"

Aku panik saat Nia memegang poppers, jadi aku buru-buru membuangnya. Aku memang belum berniat menceritakan masa laluku pada Nia.

"M-maaf, aku ... Aku cuma penasaran makanya mau tanya sama kamu."

Wajah Nia menunduk, tangannya mencengkram ujung baju, suaranya bergetar, apa dia menangis?

Astaga! kenapa aku membentaknya? Aku coba mengatur napas dan berusaha kembali ke mode kalem. Lalu aku memeluknya dan mengusap punggungnya.

"Maafin aku ya, Sayang. Aku nggak ada maksud buat bentak kamu. aku cuma ... kaget aja lihat kamu pegang itu."

Nia membelas pelakukan, tangan mungilnya sudah melingkar di pinggangku. Hh ... aku merasa lega sekarang. Setidaknya, Nia tidak sekeras kepala dulu.

"Maafin aku, Mas. Aku udah lancang."

"Maafin aku juga ya, Sayang."

Aku renggangkan pelukan, kutatap wajahnya lekat, matanya mulai basah. Aku tak tahan kalau melihat dia mulai menangis. Segera kuusap air matanya lalu kukecup bibirnya.

Kata orang, semua masalah rumah tangga akan selesai kalau di ranjang. Jadi mari kita selesaikan semuanya di ranjang. Toh, Nia juga nggak nolak. Mumpung nggak ada Mama. Sikaaat!

***

Rasanya, hari-hariku semakin indah dan berwarna setelah Nia resmi menjadi istriku. Kalau tahu menikah akan seindah ini, harusnya dari dulu aku nikah beneran sama Nia.

"Makasih, Sayang." Aku menerima satu piring nasi goreng spesial dari Nia.

Hmm, dari aromanya saja sudah terbayang kelezatannya. Emang Nia bukan istri kaleng-kaleng, jago masak, jago baking dan ... ehm, jago di ranjang. Aku adalah suami paling beruntung sedunia.

"Kamu kenapa sih, Mas? Kok senyum-senyum terus?"

"Lagi seneng aja, dimanjain sama istri cantik kayak kamu."

Nia yang sudah duduk di seberang hanya menggeleng. Aroma nasi goreng benar-benar menggugah selera. Aku sudah tak sabar ingin makan. Setelah berdoa, aku dan Nia makan sambil suap-suapan.

Ah, rasanya aku malas balik ke rumah Mama. Nggak bisa sebebas ini. Selesai makan, gantian aku membantu Nia mencuci piring. Aku minta Nia duduk santai di depan TV dan menikmati cemilan buah.

Setelah semua rapi dan bersih, aku bergabung bersama Nia yang sedang khusyuk nonton K-Drama. Tumben dia nggak ketiduran? Biasanya TV masih nyala orangnya udah merem sambil mangap.

"Nonton apa sih, serius amat!"

Aku merangkul Nia, dia beringsut menyadarkan kepalanya di dada. Gemes!

"Nonton drakor. Ehm, Mas, boleh aku tanya sesuatu?"

"Apa tuh?"

Nia mengangkat kepalanya dan menatapku serius.

"Tapi janji jangan marah."

Sekarang Nia malah mengacungkan kelingkingnya mengajak berjanji.

"Nanya apa dulu nih?"

"Ya janji aja dulu."

"Nggak mau! Nanti kamu nanyanya aneh-aneh terus susah lagi!"

Aku pura-pura mengabaikannya.

"Ih! Kok gitu? Ya udah aku mau telepon Mama aja, bilang kalau kamu nakal."

"Eh! Kok bawa-bawa Mama, sih? Ya udah mau nanya apa sih, Sayang? Hmm?"

RAINBOW CAKE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang