Ghaitsa Pov.
"Papa?" gumamku pelan
Aku masih tak habis pikir dengan kejadian tadi. apakah yang aku dengar itu benar? jadi selama ini dosen yang selalu ia ganggu itu sudah beranak satu. Tapi kemana istrinya? kenapa aku tidak melihatnya? Aku jadi penasaran seperti apa istri dari lelaki setampan Pak Praka. Hah, kenapa hatiku jadi sakit. Ada rasa yang mengganjal disini.
apa aku memang harus benar-benar mundur saja? aku tak mau jadi perempuan yang merusak rumahtangga orang lain. apalagi sudah memiliki anak. Aku harus bagaimana lagi selain pergi menjauh darinya
Aku jadi penasaran hal apa yang hendak disampaikan oleh Pak Praka tadi. Apakah ia akan mengatakan hal yang sebenarnya padaku bahwa Briel adalah putrinya. Ah, aku tak bisa membayangkan hal itu terjadi.
Aku menyalami lelaki yang seumuran dengan Ayahku, kemudian beralih ke istrinya yang tampak masih muda daripada perempuan yang kini sedang tersenyum disamping Ayahku. Pastinya dia menampilkan topeng busuknya itu.
"Ini putriku, namanya Ghaitsa Athalea. Dia kuliah di tempat Praka bekerja tapi sebentar lagi akan lulus." Ucap Ayah memperkenalkanku pada mereka. Merekapun mengangguk-angguk mengerti.
"Wah cantik ya Nak Ghaitsa ini. Praka kalau ngajar di kelas galak gak Sa?" tanya Tante Winda padaku. duh, mana ada galak, ngomong aja ngirit Tan. Tapi aku tak mungkin mengatakan hal yang sejujurnya. Bisa habis aku kalau dosen killer itu tau.
"kebetulan saya baru sekali diajar oleh Pak Praka, itupun hanya karena menggantikan dosen yang sedang sakit." Ujarku pada Tante Winda agar aku aman. Toh yang kukatakan juga fakta.
"putriku Ammaya ini juga kuliah disana jeng. Dia anak yang pinter jadi bisa bebas mau masuk perguruan tinggi mana aja." Si nenek lampir mulai menyombongkan anaknya. Akupun memilih diam dan tak ikut campur lagi. aku pamit untuk naik ke kamar saja. tak ada gunanya juga berlama-lama disana.
Ketika aku hendak naik tangga kebetulan pak Praka juga sudah selesai dari toilet. Aku bertemu dengannya dan menunduk saja. aku sudah tidak mood lagi untuk berbasa-basi dengannya.
"Mau kemana Sa?" tanya Pak Praka padaku. aku tersenyum samar padanya sebelum menjawab.
"mau ke kamar pak. Ada tugas yang harus diselesaikan." Alibiku agar terlihat masuk akal. Aku tak mungkin mengatakan yang s ebenarnya juga kan? Lagipula tugasku memang sedang menumpuk.
"Tante, boleh Briel lihat ikan disana?" tanya gadis kecil itu padaku. Pak Praka memperingatkan putrinya untuk tidak mengatakan hal yang berlebihan, dia tampak sedih.
"boleh dong, ayo Tante antar kesana." Ajakku padanya. memang di rumahku ada kolam kecil yang berisi ikan koi dan juga ikan sapu-sapu. Ayahku suka sekali dengan ikan, makanya ia membuat kolam di dalam rumah.
Aku memberikan makanan ikan di tangan Briel dan dia pun menebarkannya ke kolam. Dia tampak senang ketika ikan itu mulai bermunculan memperebutkan makanan ikan. aku tak sengaja melihat Pak Praka ikut tersenyum melihatnya.
"Tante ikannya banyak sekali." ujarnya girang. Dia terus memberi makanan ikan itu sampai dia puas.
"Briel, sudah nak. Nanti ikannya gendut kalau kamu kasih makan terus." Ujar Pak Praka yang membuatku ingin tertawa. Alasan macam apa itu, ternyata dia bisa bercanda juga.
"Yah, papa nih gak seru." Ujar gadis itu lesu. " tante kapan-kapan Briel kesini lagi ya main ikan." ucap gadis itu padaku. akupun mengangguk menyetujuinya. Kami pun ber tos ria. Dia tampak gembira kembali.
"terimakasih ya Ghaitsa." Ucap Pak Praka terdengar tulus. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Ah, sayang sekali. aku harus merelakan lelaki seperti pak Praka. Coba saja kalau dia masih lajang pasti aku akan terus berjuang.
Sampai di kamar aku mengambil bingkai foto dari nakas. Foto yang berisi Ayah, ibu dan Aku. Senyum itu masih bisa kurasakan sampai sekarang. kebahagiaan itu masih lekat di pikirankku. Di foto itu aku masih memiliki dua malaikat pelindung. Aku masih memiliki segalanya. Tetapi setelah salah satunya hilang, rasanya duniaku ikut menghilang. Senyum dan tawaku ikut pudar.
Aku rindu Ibu. Kenapa aku ditakdirkan begini? Sendirian. kesepian. Sekarang orang yang mengaku menjadi ibuku nyatanya tak berpihak padaku. malah dia yang selalu menjatuhkanku. Dia hanya peduli pada anaknya sendiri dan juga harta Ayahku. Kalau saja Ayah tau perempuan itu telah mengkhianatinya. Ibu pasti sedih melihat kami saat ini.
Tapi aku berjanji, sesegera mungkin aku akan membongkar segala kebusukan perempuan itu. aku akan mengambil ayahku kembali. Aku tak rela ayah dikuasai oleh perempuan jahat seperti dia.
"Kak, makan malam sudah dimulai. Ayah menyuruh kakak turun untuk makan bersama." Ujar Amayya padaku. sebenarnya aku malas tetapi apa boleh buat. Aku ingin menghargai kehadiran mereka.
Meja makan tampak sudah penuh akan makanan. sudah pasti Perempuan itu memesannya. Selama aku tinggal bersamanya tak pernah aku merasakan masakannya. Paling Cuma nasi goreng dan telur saja, itupun aku tak pernah merasakannya. Aku lebih memilih memasak sendiri. Untung saja Ibu selalu mengajariku memasak. Beliau juga meninggalkan buku resepnya padaku. selama beliau tidak ada aku terus belajar untuk memasak tapi jarang mempraktekannya.
"silahkan dinikmati, ini masakan saya sendiri loh jeng. Semoga sesuai dengan selera kalian ya." Ucapnya menyombongkan diri. Aku berdecih tak suka tapi langsung diingatkan oleh Ayah.
"Tante, aku mau disuapin." Ujar Briella yang sudah berada disampingku. Dia menyodorkan piringnya padaku. mau tak mau akupun memangkunya dan menyuapinya.
"Briel, kasihan dong tante Ghaitsa mau makan. sini sama Oma aja." Ujar Tante Winda pada cucunya. Tapi Briel menggeleng kuat. Gadis itu bersikeras untuk duduk di pangkuanku.
"Tidak apa tante. Biar saya yang suapi Briel." Ucapku menenangkan beliau yang merasa tidak enak padaku.
"Jarang-jarang loh Briel seperti ini dengan orang yang baru dikenalnya. Dia ini anak yang cukup pemalu kalau sama orang baru." Jelas Tante Winda membuatku sedikit tersanjung.
"Eh tapi Amayya juga suka sama anak kecil loh jeng. Dari dulu dia seneng banget kalau dimintai tolong mengurus sepupunya yang masih kecil. Dia juga pinter kalau mengurus anak kecil." Sahut Perempuan itu membuatku ingin tertawa sekarang juga. Siapa juga yang peduli. Aku lihat tante winda juga hanya tersenyum samar dan menatapku sambil menganggukkan kepalanya pelan.
"Oma, boleh ya nanti Briel diajakin kesini lagi. aku mau main ikan lagi sama tante Ca." Ucapnya memanggilku dengan panggilan Ca karena terlalu sulit mengucapkan namaku. Nama itu malah terdengar lucu. Semua orang pun tertawa melihatnya.
"iya sayang boleh kok." Ujar Tante Winda pada cucunya. Kamipun melanjutkan makan malam dan mengobrol sebentar. Setelah itu mereka pamit undur diri. Sebelum pulang Briella memelukku erat. Seakan ia tak ingin berpisah denganku. Tapi dia segera melepaskan pelukku dan mengatakan bahwa ia berjanji akan berkunjung ke rumah ini lagi. akupun mengiyakannya saja.
"Terimakasih ya Nak, maaf kalau Briell merepotkanmu." Ucap Tante Winda lembut lalu beliau memelukku juga. Pelukannya terasa hangat, mengingatkanku pada pelukan ibu. Mataku sudah berkaca tetapi aku harus menahannya. Aku tak mau terlihat cengeng di hadapan mereka, apalagi ada Pak Praka disana.
***
Thanks for reading guys, Hope you like this :)
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE ( END ✅️ )
RomanceGhaitsa Athalea, seorang gadis pecinta hujan yang harus bersahabat dengan rasa sakit sedari ia kecil. Setelah kepergian ibunya dia merasa sangat kesepian dan kesedihan selalu meliputi dirinya. Bagaimana tidak, Ayahnya menikah lagi dengan perempuan y...