Johnny Suh as Papa Jason
Mark Lee as Stuart
Sore ini langit tampak kelabu, semburat jingga di ufuk barat memang ada, tapi beradu, lebur bersama sang kelabu yang menggantung di mega. Pertanda sebentar lagi rinai akan turun. Maka seorang wanita pun bergegas mempercepat langkahnya untuk sampai di kediamannya. Benar saja, sampai di teras rumahnya, hujan langsung turun dengan derasnya. Ia menghela napas lega. Ia masuk ke rumah itu. Langkah pelannya menyusuri setiap sudut rumah itu. Mencari suami dan buah hatinya.
“Stuart anak mami, Jason sayang!” seru Felice mencari keberadaan suami dan anaknya.
Akhirnya, langkah Felice terhenti saat melihat suami dan anaknya yang sudah berusia tujuh belas tahun itu makan di ruang makan. Bercakap dan bercanda denga hangat. Atmosfer hangat itu dapat Felice rasakan meski hanya duduk dan melihat wajah suami dan anaknya bergantian. Ia lega bahwa suami dan anaknya baik-baik saja.
Melihat pertumbuhan anak sematawayangnya yang pesat membuat hati Felice berdesir. Mengingat perjuangan melahirkannya.
“Stuart, dulu waktu mama hamil kamu, Mama bener-bener jadi superwoman. Karena Mama kerja harus naik bis kesana sini sendirian, kadang enggak dapat tempat duduk, pergi pagi-pagi buta, pulangnya malem. Papa juga sama.” Mendengar penuturan Jason itu Felice hanya tersipu sambil geleng-geleng kepala karena memang benar adanya.
“Makanya Stuart mau jadi dosen juga kaya Mama. Tapi tetep jalanin hobi dan kesenangan jadi atlet.” Stuart berikan seuntai senyum lebar setelahnya. Felice tersenyum bangga dan penuh haru. Sungguh, anaknya tumbuh dewasa dan baik. Makan bersama selesai, Stuart dan Jason berjanji akan pergi ke suatu tempat. Maka beranjaklah mereka dari sana.
Stuart masuk ke mobil, Jason siap di bagian kemudi, Felice ada di bangku belakang. Tak banyak kata yang terucap karena ketiganya hanyut dalam lamunan masing-masing dan nyala lampu di seluruh penjuru kota yang mulai menampakkan gemerlapnya di ujung senja.
“Jason, jangan ngebut.” Felice bergumam dari arah belakang, mengingatkan suaminya agar tidak terlalu kencang melajukan mobilnya.
“Stuart, jaketnya dipakai nanti, ya.” Felice menambahkan perintah bagi sang anak. Stuart pun mulai mengenakan Jaket yang sedari tadi hanya ia taruh di atas pangkuannya.
Sampai di suatu tempat, mereka turun dari mobil. Sebuah pantai tujuan mereka. Ketiganya berjala beriringan dengan posisi Stuart ada di antara Jason dan Felice. Entah mengapa deburan ombak memberikan kesan sedih dalam tiap deburannya, angin malam hari ini menemani seperti alunan instrumen piano yang mengalun malam itu, seperti yang Felice selalu mainkan, nadanya tenang, dan teduh, bak elegi tapi selalu diiringi harapan kebahagiaan yang dititipkan sebuah hati.
Jason membawa sebuah keranjang, entah isinya apa, Felice pun tidak tahu. Sampai di tepi pantai, mereka berhenti, menghentikan langkah lalu menyapu hamparan laut luas dengan netra mereka. Jason hembuskan napas lalu memejamkan mata, sedangkan Stuart masih mengedarkan pandang ke pemandangan yang terlalu indah untuk dilewatkan ini.
Hamparan pasir yang mereka injak seakan mulai berteriak dan mengudarakan sajak penuh duka karena saat itu juga Jason dan Stuart memejamkan mata mengucap bait kata lirih yang nyaris tak terdengar.
Felice hanya bisa menatap kedua orang terpenting dalam hidupnya itu yang kini mulai berkaca-kaca. Felice hanya diam, terlebih saat Stuart ambil sebuah medali emas dari kantong jaket denim yang ia kenakan. Stuart mulai mengerjapkan mata, mungkin hampir menangis. Tidak—Stuart sudah menangis sekarang. Jason ambil sesuatu dari dalam keranjangnya, mulai taburkan dan titipkan kelopak bunga segar pada deburan ombak yang datang. Begitu juga dengan Stuart.
Jason raih pundak anaknya lalu ia usap lembut dan rangkul, tak lupa ia berikan senyum kepada sang anak. Jason juga acak pelan rambut Stuart sambil berkata, “Anak Papa hebat, kaya Mamanya.”
“Waktu Mama bangga Stuart menang lomba renang waktu itu usia Stuart masih empat tahun. Waktu Mama nemenin Stuart lomba nyanyi waktu itu usia Stuart sebelas tahun. Waktu Mama datang ke turnamen basket Stuart waktu itu usia Stuart lima belas tahun dan Mama bilang kemenangan Stuart adalah kado untuk hari ulang tahun Mama yang ke tiga puluh tujuh. Sekarang Stuart datang kesini dengan pencapaian menang turnamen basket tingkat nasional di usia tujuh belas tahun dan Mama udah dua tahun ninggalin Stuart sama Papa. I miss you, Mom. Happy birthday Mama Felice.”
Saat itu juga Jason hancur hati mendengar penuturan sang anak. Hatinya bak disayat belati tajam berkali-kali. Jason kuatkan hati sebisa mungkin tapi air matanya jatuh lagi, dan kini ia luruh ke hamparan pasir dan terduduk di sana. Ia tidak peduli lagi jika celananya basah terkena deburan ombak yang membawa pergi kelopak bunga segar yang ia taburkan tadi. Stuart ikut berlutut dan merangkul Papanya yang saat itu berkata, “Tenang di sana Felice sayang.”
Laut sudah bawa jasad Felice pergi saat kecelakaan pesawat dua tahun silam. Membawa semua asa untuk Jason berumah tangga untuk waktu yang lama. Bawa semua harap Stuart untuk jadi kebanggaan kedua orang tuanya. Jasad Felice tidak pernah ditemukan. Maka untuk setiap taburan bunga yang Jason dan Stuart buat, mereka titip doa untuk yang tercinta.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
PETALS - Oneshot
RandomJason dan Stuart, ayah dan anak yang merindukan sosok wanita hebat dalam hidup mereka. Hari ini hari bahagianya!