15 | nyolong mangga

2.3K 109 191
                                    

__________________

Bila membahas perihal perjalanan menuju rumah Aiden—yang ketimbang disebut rumah, agaknya lebih cocok disebut mansion serempet istana—hal pertama yang muncul di benak Monita ialah dia berasa jadi Dora the Explorer.

Gimana enggak? Berbeda dengan dia dan teman lain yang rumahnya ada di kompleks elite sekelas Pondok Indah, kediaman Aiden ini letaknya cukup jauh dari keramaian kota, malah bisa dibilang masuk wilayah pinggiran.

Untuk ke sana saja, usai setengah jam melalui perjalanan panjang nan macetnya ibu kota, mereka akan melewati sebuah jalan besar yang pemandangan kiri dan kanan hanyalah pepohonan rimbun macam dalam hutan (Monita nggak akan heran bila ia menjumpai satwa liar seperti bekantan atau gorila) lalu lanjut menyusuri daerah persawahan yang luas bukan main, kemudian masuk ke hutan belantara lagi, barulah tiba di gerbang utama.

Itu baru gerbang, cyyn. Untuk ke rumah induk, mereka masih perlu melewati taman berukuran seperempat lapangan bola yang di tengahnya ada pancuran mewah dan kolam ikan, nggak jauh dari situ ada danau buatan yang airnya jernih seakan mengundang untuk berenang, lalu sebuah gedung bertingkat tempat Aiden latihan basket, dan paling terakhir ialah area parkir super gueede yang dipenuhi oleh puluhan mobil dan motor berharga fantastis bikin auto sawan.

Perlu diingat, Keluarga Maheswara bukanlah golongan menengah ke bawah alias Monita pun nggak kalah kaya raya. Namun, melihat sendiri kemewahan dan kemegahan milik Keluarga Jarvis yang edan akut ini, sejenak dia berasa sangat jelata. Fakta membuktikan bahwa di balik penampilan Aiden yang kadang mirip gembel, cowok itu adalah si pewaris tunggal yang harta kekayaannya seperti tak terbatas.

Monita mulai berpikir random, siapa pun yang kelak menjadi pasangan Aiden, pastilah harus berasal dari keluarga bangsawan atau seorang putri raja. Ya, aslinya Monita ada turunan bangsawan juga sih, tapi sayang seribu sayang, kalian juga sudah tahu jikalau dia terlalu banyak menyerap beragam saripati kehidupan mulai dari air hujan sampai air selokan, yang mana membuat aura bangsawannya ini luntur tak bersisa.

Alias, kalau disuruh menjadi pendamping Aiden, Monita insecure duluan.

"Mon, udah sampai."

Lamunan Monita lantas buyar, tapi ia tetap diam bagai orang linglung.

Bukannya apa, gara-gara pertanyaan ambigu yang Biru lontarkan mengenai Felix tadi, sepanjang perjalanan mereka diselimuti canggung luar biasa. Monita nggak tahu harus menjawab apa, pun nggak tahu mesti mengganti dengan topik pembahasan apa. Cowok itu juga hanya diam, nggak berusaha memecah keheningan.

Bohong kalau Monita bilang pipinya nggak refleks memanas dan jantungnya berdegup dua kali lebih kencang, macam ciri-ciri orang jatuh cinta. Pikiran dia juga mulai melayang jauh, menerka-nerka maksud pertanyaan Biru. Apa jangan-jangan...

Nggak. Monita nggak boleh kege'eran!

Hidup lima tahun bersama para cowok oplosan crocodile ini, sudah semestinya bikin dia terbiasa akan modus-modus yang mereka layangkan.

Biru naksir dia? Haha, impossible.

"Moon?"

Pikiran Monita lagi-lagi buyar, dan balik menatap cowok itu dari spion. "Ha?"

"Lo kaga mau turun?"

"Mau."

"Terus?"

Dia mengerjap bingung. "Apanya yang terus?"

Terlihat Biru membuang napas panjang sarat frustrasi menghadapi kebloonan-nya yang sedang kumat ini, lalu berucap pelan, "gimana mau turun kalo tangan lo bertengger di situ, Mon?"

Defenders ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang