7

1K 287 12
                                    

Aku tengah menatap beberapa anak yang sedang berlarian dengan bahagianya di taman dari jendela apartemen. Mereka terlihat begitu menikmati waktu tanpa harus merasa terbebani oleh pikiran dan masalah-masalah kehidupan. Balon-balon berbagai warna yang digenggam pun turut bergoyang naik turun seraya mereka berlarian ke sana-ke sini. Andai saja waktu bisa diputar kembali. Aku tak akan pernah menolak untuk kembali menjadi anak kecil. Aku ingin sekali lagi merasakan entengnya kehidupan tanpa beban permasalahan. Kehidupan ini terlalu berat untukku.

Tak jelas apa yang kurasakan saat ini. Pengakuan perasaan yang disampaikan Pak Damar tadi malam menghadirkan satu perasaan aneh. Aku tak berani mengharap lebih. Status sosial kami jelas sangat berbeda. Dari perbincangan kami semalam suntuk, Pak Damar terus berusaha untuk meyakinkanku soal perasaannya padaku.

"Saya cinta sama kamu, Diandra. Saya nggak pernah rela setiap kali lihat kamu dekat sama laki-laki lain selain saya."

"Pak, jangan aneh-aneh, deh. Bapak bikin saya takut karena tiba-tiba bilang cinta ke saya."

"Saya serius, Diandra. Sama sekali nggak bercanda."

"Saya nggak tau harus bilang apa. Saya nggak berani berharap lebih."

"Saya cuma butuh memastikan satu hal."

"Apa?"

"Perasaan kamu. Saya mau tau bagaimana perasaan kamu ke saya."

"Saya nggak tau, Pak. Saya bingung."

Lamunanku buyar seketika saat kurasakan sepasang tangan melilit di pinggangku. Embusan napas hangat terasa menerpa leherku. Aroma parfum yang sudah bercampur dengan keringat pun tak luput kuhidu. Gesekan bulu yang tumbuh di jambang dan dagunya membuatku merasa sedikit geli saat menerpa kulit pundakku.

"Kamu kenapa? Saya perhatikan kamu dari tadi banyak melamun."

"Nggak apa-apa, Pak. Saya cuma lagi lihat anak-anak yang lagi lari-larian di bawah."

Pak Damar melongo melalui jendela dan menyaksikan anak-anak yang masih berlarian dengan menggenggam balon di tangan mereka. Ia kembali memeluk pinggangku. Lebih erat dari sebelumnya. Perlahan Pak Damar membalikan tubuhku agar menghadapnya.

Rasanya terlalu pagi untuk sebuah ciuman panas. Bibirnya dengan begitu rakus memagut bibirku. Kedua tangannya juga tak tinggal diam. Keduanya sibuk memelintir putingku yang bersembunyi di balik kaos oblong putih yang kupinjam darinya. Gairahku tersulut.

"Pak ... Pak. Jangan. Saya capek banget," ucapku sambil menahannya dengan kedua lenganku di dadanya. "Nanti lagi ya, Pak."

Gila rasanya kalau pagi ini aku harus kembali melayaninya. Semalam, setelah perbincangan panjang kami usai, Pak Damar berusaha untuk menghidupkan dan menggiring suasana agar kami mengakhirinya di atas ranjang. Aku tak tahu bagaimana perasaanku padanya. Yang jelas, aku tak pernah bisa menolak setiap kali ia mengajakku bergelut memburu kepuasan. Waktu seakan menuntun kalau aku juga membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhanku.

"Kamu kenapa? Tumben kamu nolak saya ajak. Nggak pengin?"

"Masih kerasa capek karena semalam, Pak. Mending sekarang Bapak mandi dulu. Saya siapin sarapan."

Pak Damar menurut dan langsung melesat masuk ke kamar kamar mandi. Kusiapkan sarapan sederhana untuk kami berdua. Roti bakar dengan olesan selai. Selai nanas untukku dan selai cokelat untuknya.

Aroma segar sabun mandi menguar. Pak Damar sudah terlihat segar setelah mandi. Ia pun segera bergabung duduk denganku di meja makan. Yang pertama dilakukannya adalah menenggak jus jeruk kemasan yang sudah kusiapkan. Setelahnya, ia menangkup dua lembar roti yang sudah kuolesi selai dan menggigitnya.

Ingin BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang