29. Gone

1.4K 209 15
                                    

"Astaga! Sayang, nanti aku telepon lagi ya."

"Eh, Mas--halo?"

Sambungan telepon langsung diputus sepihak, aku bisa mendengar Rakha sangat panik. Suara seperti benturan keras dan decit rem yang sempat aku dengar sebelum telepon terputus membuatku jadi overthinking. Rakha kenapa ya?

Aku coba meneleponnya lagi, tapi tak ada jawaban. Aku benar-benar khawatir. Aku takut terjadi sesuatu dengan Rakha. Gimana ini? Atau aku bilang ke Mama Lily? Ya, aku harus kasih tahu mertuaku, mungkin mereka bisa menyuruh supir untuk menyusul Rakha.

Buru-buru aku keluar kamar dan menuruni tangga, karena kamar mertua ada di lantai satu. Tapi baru sampai anak tangga ketiga kaki kananku tidak menapak dengan benar, jadi aku terpeleset dan melewatkan beberapa anak tangga.

Selanjutnya aku sudah tak bisa lagi mengendalikan diri, tidak ada sesuatu yang bisa aku pegangi. Dan aku pun meluncur bebas dari tangga dengan posisi duduk seperti perosotan anak TK. Sampai akhirnya aku terduduk di lantai dasar dan merasakan sakit yang luar biasa dari pinggang ke bawah.

"Aaaaaaak!" Aku berteriak sebisaku mencoba menahan nyeri di kaki, pantat dan juga perut bawah.

"Aduh!" Aku tak kuat lagi menahan sakit sampai aku menangis.

"Astaghfirullah, Niaaaa!"

Mama Lily histeris dan langsung lari menghampiriku.

"Paaaa! Papaaaa! Tolongin Nia! Biiik, Bi Inaaah!"

Suara Mama nyaring memanggil bala bantuan. Aku sudah tak karuan, semua terasa nyut-nyutan. Bahkan untuk bangun dan berpindah tempat ke sofa saja aku kesakitan. Sampai akhirnya Bi Inah datang dan membantuku berdiri dari sebelah kiri, bersama Mama Lily dari sebelah kanan.

"Aaak!" Aku berusaha menahan nyeri yang luar biasa saat berusaha berdiri.

"Nia! Kamu ...."

Papa mertua datang dengan wajah yang panik dan terkejut menunjuk bagian bawahku.Wajah Mama Lily semakin panik saat mengikuti arah telunjuk suaminya.

"Astaghfirullah, Nia!"

Suara Mama yang beristighfar membuatku semakin penasaran apa yang mereka lihat. Aku pun melihat ke arah bawah dan ... Apa itu yang menetes di lantai?

"Darah?" gumamku dengan gemetar.

Tiba-tiba semua nyeri terasa menghilang, mendadak aku beku di tempat. Melihat bercak merah yang berserak.

"Nia, kamu nggak apa-apa? Papa! Panggil Pak Ujang, kita bawa Nia ke rumah sakit. Cepet!"

Aku hanya mampu mendengar kalimat perintah dari Mama Lily sebelum semuanya kembali terasa gelap. Aku pingsan lagi.

***

"Cariin gue obat buat gugurin kandungan ya, Mel," pintaku.

"Astaghfirullah, Ray! Lo kok kepikiran gitu sih? Itu sama aja lo membunuh. Gila lo yak!"

"Mana Ray yang gue kenal baik hati, ramah, sayang sama anak kecil. Mana? Dan sekarang lo malah mau melakukan pembunuhan berencana buat calon darah daging lo sendiri. Gila lo, Ray!"

"Ray, terlepas dari sebenci apa pun lo sama Rakha, kalau nanti di rahim lo ada anaknya, lo nggak berhak menghakimi janin itu. Dia nggak bersalah, nggak tahu apa-apa. Dia cuma seonggok daging yang dikasih nyawa dan punya tugas langsung dari Tuhan buat lahir ke dunia sebagai anak keturunan lo sama Rakha. Jadi kalau lo mau marah, kesel, benci itu sama Rakha aja. Jangan sama anak lo!"

Potongan-potongan percakapanku dengan Melisa kembali berputar di otak, berulang seperti kaset rusak. Semua terdengar sangat nyata di telinga. Lama-lama aku nggak tahan dan merasa tertekan. Napasku terasa sesak, sampai akhirnya aku tersentak.

RAINBOW CAKE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang