Dream

57 10 0
                                    

Ghaitsa Pov.

Aku sudah tak peduli lagi aku menangis dihadapannya. Aku tak mampu menahan air mata ini turun ketika menceritakan tentang Ibu. Untung saja di tempat makan itu hanya ada beberapa orang dan tak begitu mempedulikan kami.

Kata-kata yang keluar dari mulut Pak Praka membuatku tercenung. Hingga saat ini, saat aku sudah berada di kamarku sendiri. Aku memeluk lututku sendiri. Mencoba mencerna apa yang dia katakan tadi.

Apakah selama ini aku salah? Aku menjauh dari tuntunan-Nya dan hidupku semakin kacau. Bahkan aku meninggalkan ibu sendiri disana. seharusnya aku bisa menemaninya melalui setiap doa yang kukirim untuknya. Tapi apa? Selama ini aku malah memilih untuk pergi dan tak mengacuhkan semua.

Apa aku masih diterima jika aku kembali pada-Nya? Aku malu. Setelah semua yang aku lakukan selama ini. aku menghilangkan keimananku sendiri hanya karena rasa amarah dan ego ku. Aku merasa menjadi manusia paling kotor.

Ibu, apakah aku masih bisa kembali seperti yang dulu? Menjadi anak ibu yang rajin menjalankan perintah-Nya? Ibu, apakah Tuhan akan menerimaku kembali setelah segala yang aku perbuat selama ini?

Aku lelah sampai-sampai aku tertidur pulas dengan posisi meringkuk seperti janin di dalam kandungan. Aku kedinginan tapi rasa itu tak kuhiraukan. Aku hanya ingin memejamkan mata sejenak.

Aku mengerjapkan mataku ketika melihat semburat cahaya putih yang menyilaukan. Aku melihat ke depan. Disana putih dan tak ada apa-apa. Tak lama aku mendengar panggilan lembut. Aku tau itu milik siapa. Aku menoleh kesana-kemari mencari sumber suara itu. aku mengedarkan padanganku sembari memanggil nama ibuku.

"Ghaitsa, kemari nak." Ucap Ibuku yang tampak cantik bak bidadari. Beliau tersenyum padaku lalu merentangkan tangan hendak memelukku. Aku berlari kearahnya dan memeluknya erat.

"Ghaitsa rindu Ibu. Kenapa ibu pergi meninggalkanku sendiri disini Bu? Ayah sudah tak seperti dulu Bu. Aku tidak suka hidup sendirian disini." ucapku pada Ibu. Aku meluapkan segala unek-unekku pada beliau.

"nak, Hidup mati itu sudah takdirnya. Bukankah semua orang memang akan mati nantinya. Hanya saja waktunya yang berbeda. Allah sudah menakdirkan semua di kitab Lauhul mahfudz nya. Dia tau yang terbaik untuk hamba-Nya. Jangan menyalahkannya lagi ya Nak. Bertaubatlah dan kembali pada-Nya. Ibu selalu menunggu doa-doamu untuk Ibu." Ucap ibu begitu tulus. Beliau mengusap rambutku lembut.

"apakah Tuhan masih menerimaku Bu?" tanyaku lagi pada Ibu.

"pastinya Nak, Allah itu Maha Pengampun. Allah selalu mengampuni hamba-Nya yang ingin bertaubat dan kembali ke jalan-Nya. Jangan takut Nak. Sekarang kamu sudah bersama orang yang akan membawamu keluar dari jalan kegelapan. Kamu pasti bisa melalui semua ini dengan baik." ucap ibuku lagi masih dengan senyum hangatnya.

"Ibu mau kemana?" tanyaku pada Ibu yang melepaskan pelukanku dan berjalan menjauh. Dia tak menjawab, ia hanya tersenyum padaku. aku memanggilnya berulang-ulang tetapi ia pergi menghilang dan tinggalah cahaya putih.

"Ibu!" ucapku dengan napas terengah-engah. Aku melihat ke sekelilingku. Ternyata kau bermimpi. Tapi mimpi itu terasa amat nyata. aku kembali menangis. Pelukan itu terasa sangat hangat dan nyata.

Aku mengusap pelipisku yang sudah banjir dengan keringat. Bagaimana ibu bisa datang ditengah kegelisahanku. Seakan beliau menjawab segala tanya dibenakku. Apa yang dikatakan ibuku sejalan dengan apa yang dikatakan Pak Praka tadi. Lalu siapakah seseorang yang akan membawaku keluar dari jalan kegelapan? Apakah itu pak Praka?

Badanku masih gemetar. Aku mencoba menetralkan detak jantungku sebelum aku beranjak menuju kamar mandi. Aku berjalan gemetar menuju kran di kamar mandiku. Sudah lama aku tak melakukan ini. aku menikmati air wudhu yang mengenai wajahku. Sejuk. Itulah yang kurasakan.

Aku mengambil mukenah yang sudah lama kusimpan dalam lemariku. Masih rapi tersimpan disana. sudah lama aku tak mengenakan mukenah itu selain di hari raya saja. aku merasa berdosa selama ini. aku memakainya dengan tangan yang masih gemetar. Jam dindingku menunjukkan pukul tiga pagi. Aku melakukan shalat taubat yang sudah pernah diajarkan Ibu padaku. walaupun aku sudah lama meninggalkannya tetapi aku masih mengingatnya dengan lekat.

Air mata tak sengaja menetes di setiap sujudku. Dosa-dosa yang pernah kulakukan berputar silih berganti di otakku. Dosaku tak terkira banyaknya padahal aku selalu menerima nikmat yang tak terkira jumlahnya. Begitu egoisnya aku selama ini.

"Ya Allah. Hamba tau dosa hamba sebanyak buih di lautan bahkan lebih banyak lagi. Ya Allah, maafkan hamba yang pernah kehilangan keimanan dan tak mempercayai takdir-Mu. Maafkan hamba telah menyalahkan-Mu atas kejadian yang menimpaku. Maafkan Hamba terlalu dibutakan oleh Amarah dan Dendam hingga hamba tak melihat nikmatmu yang tak terkira jumlahnya. Berikan hamba kemudahan untuk bisa kembali ke jalan-Mu Ya Allah." Doaku di sepertiga malam itu. aku bersungguh-sungguh bertaubat kepada-Nya. Air mataku menetes deras mengingat segala hal yang pernah kulakukan selama ini. aku teringat ibu. Hari ini akan kukirimkan doa untukmu Bu. Agar engkau tak kesepian lagi disana.

***

PLUVIOPHILE ( END ✅️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang