Matahari pagi ini kulihat sedikit muram, kusapu tanpa ragu secangkir kopi toraja kiriman sang calon mertua dari seberang laut sana. Pagi ini meski tak begitu indah, kusunggingkan selebar senyum dua jari yang diajarkan ibuku belasan tahun silam.
Aku tak lupa, besok adalah hari ibu. Hari perantara hidupku dari sang pencipta. Hari dimana untuk sosok yang kuagungkan disetiap jengkal jemari kaki berpijak.
"Oke, beres semua tugas rutinku dipagi hari ini" semua ku kerjakan sendiri. Maklum, seorang bujang berpenghasilan pas-pasan. Hari ini tak seperti biasa, perlengkapan kerja tak kusiapkan sedari malam, aku tak bekerja seperti hari-hari sebelumnya.
"Maaf pak, hari ini saya tidak masuk kerja, ada urusan keluarga, terima kasih", kutulis pesan singkat ini dan ku tujukan pada sang manager bagianku di kantor, meski beliau sudah tau bahwa aku cuti hari ini, setidaknya aku konfirmasi ulang ketidak hadiranku kali ini.
Kupacu mobil mini ku jam 9 pagi, ada sesuatu yang tidak beres padanya, sepertinya aku terlalu sibuk akhir-akhir ini, sehingga mungkin dia sedikit minta diperbaiki. Tiga jam bukan waktu yang sebentar, tapi itulah rutinitas mobil tua, mobil tua sepeninggal alm kakek yang dihibahkan pada cucu termudanya 2 tahun kebelakang.
Menjelang siang, seolah meniru hari kemarin, langit tak sanggup membendung awan hitamnya, butiran air menyapu jalan gersang di pinggiran kota kembang. Kulaju mobil kecilku dengan sedikit tersenyum, setidaknya mobilku kembali bugar. Sedikit kutekan pedal gas lebih kuat, aku punya agenda besar untuk esok hari dan kupersiapkan itu dari hari ini, Hari Ibu.
Ibu, sosok penyayang yang tak terbantahkan, meski dulu aku sering melawan karena berselisih faham, tapi aku tau bahwa rasa sayangnya padaku melebihi rasa sayang pada dirinya sendiri. Aku rasakan itu saat aku mulai menginjakan kaki di kampus yang jauh dari rumah tinggalku. Setiap pagi di kamar sewa berukuran 3x4 meter dulu, tak ada omelan ibu yang lantang bangunkan aku seperti kala aku masih duduk di bangku SMA beberapa tahun lalu, tak ada sarapan pagi diatas meja, dan tak ada yang menyiapkan seragam yang telah rapi disetrika. Sejak saat itu, aku tau ibu adalah sosok pekerja keras, tak mudah menjadi pengatur kegiatan keseharian 4 orang didalam rumah dalam satu waktu. Dan kini aku rindu saat-saat itu.
Tujuanku yang pertama adalah tempat kue kering kegemaran beliau yang bisa dengan mudah kuperoleh di sekitaran kota. Entah darimana ide ini berasal, namun seketika aku terfikir untuk membelikan bunga untuk ibuku, kuputuskan untuk itu karena aku yakin beliau akan senang menerimanya.
Tak memakan waktu terlalu lama, tibalah aku pada ruko-ruko tempat para florist menjajakan dagangnnya. Beraneka bunga ditawarkan oleh mereka, dari yang murah hingga yang jutaan harganya. Namun kerlingan mataku tertuju pada sosok gadis berkaus putih dan bercelana jeans hitam lengkap dengan tas gendong yang menempel pada punggungnya, ia berdiri di sebelah kiri, tak begitu jauh untuk melihat bahwa matanya tengah berkaca-kaca. Dan dari sini semua cerita berawal.
Kuhampiri gadis itu dan langsung kusapa dia, kutanyakan apa yang tengah terjadi padanya. Ia hanya menatapku, tersenyum seraya menggelengkan kepalanya beberapa kali dan berkata "Gak apa-apa kok Kang". Oh mungkin dia ingin membeli setangkai bunga untuk kekasihnya, usia sebaya dia mungkin hal itu adalah hal yang paling indah untuknya, dan aku mengerti itu. Tak lama setelah aku berfikir demikian, dia kembali berkata untuk yang kedua kalinya "Aku ingin memberikan bunga pada ibuku, hari ini beliau ulang tahun, namun malam ini aku aku harus berangkat ke luar kota, sehingga seluruh uangku telah kusimpan untuk hidup disana beberapa bulan, jadi hari ini aku mau ibu menerima hadiah dariku". Keinginanya tak begitu rumit fikirku, "Ambilah beberapa bunga yang kau inginkan, biar aku yang sekalian membayarnya" tawarku dengan nada pelan seolah aku berusaha menenangkanya. Seketika ia menoleh kepadaku, tak kuasa ia menahan rasa senang yang terpancar dari raut wajahnya, "Terima kasih Kang, ii...ii...iya saya akan ambil beberapa, sekali lagi terima kasih banyak". Aku tak menjawabnya, hanya tersenyum seraya menepuk punggungnya menyuruh agar dia segera bergegas memilih bunga yang dia inginkan. Aku pun begitu, kutinggalkan dia untuk mencari bunga terbaik yang akan kuhadiahkan pada sosok terbaik pula.
Beberapa saat kemudian, kubayar seluruh bunga yang digenggam oleh tanganku dan 3 tangkai bunga melati dalam pelukan gadis tadi. Karena langit masih mendung, kucoba tanyakan arah pulang dia, tak tega kulihat dia jika pulang sendirian dan memberikan hadiah untuk ibunya dalam keadaan basah kuyup. Awalnya sempat menolak, namun setelah kuyakinkan kalau aku bukan orang jahat dan kebetulan arah jalan pulangnya yang sama, terlebih lagi aku yakinkan dia kalau aku membeli bunga yang kutunjukan padanya dari tanganku itu untuk ibuku tercinta. Dia pun mengangguk tersenyum kecil pertanda dia setuju. Lega rasanya jika aku bisa membantu seorang yang ingin membahagiakan ibunya.
Arlojiku menandakan pukul 3 sore. Hujan tak jadi turun, langit akhirnya memberi senyuman seperti menggambarkan keadaan hati si gadis ini. Di tengah jalan, dia meminta aku memberhentikan mobilku dan dia pamit. Aku sempat heran, karena alamat yang dia berikan tadi masih berkisar 2 kilometer di depan sana. Namun, dia hanya tersenyum sambil mengucapkan terima kasih berulang kali padaku. Kuizinkan dia membuka pintu mobilku, dan dia mengucapkan salam sambil setengah berlari mendekati gang sempit di seberang jalan. Timbul rasa penasaranku, karena kutau di dalam gang itu tak ada pemukiman penduduk. Kuparkirkan mobil segera dan ku buntuti dia perlahan tanpa dia sadar. Tak beberapa lama kemudian, aku tersentak selaksa petir mendekat dan degup jantung meningkat, gadis yang kulihat begitu riang, seketika terdengar kembali menangis di sebuah pusara sekitar komplek pemakamam umum warga. Ia meletakan bunga yang tadi dia pilih diatasnya sambil beberapa kali kulihat dia berdoa dan tiada henti mencium batu nisan. Gadis itu tak kuasa membendung air mata yang mengalir deras, terus menangis, sesekali kudengar samar dia mengucapkan kata Ibu dan seperti menceritakan beberapa pengalaman pada hari sebelumnya. Sekilas, kulihat di batu nisan itu ibunya meninggal belasan tahun lalu, perkiraanku pada saat dia masih duduk di bangku SD.
Tak tertahankan, air mataku menetes, pelan membasahi bumi yang kupijak. Kutinggalkan dia sendiri dan bergegas kembali ke dalam mobil. Tanpa ragu kuputuskan untuk segera ku temui ibuku. Air mata tak kunjung mereda, tergambar betapa berharganya sosok seorang ibu dimata anak-anaknya, dan hal ini akan semakin terasa saat beliau tak ada lagi di sisi kita. Dan aku bersumpah, setibanya aku dihadapan ibuku, kupeluk dia, aku akan katakan bahwasanya aku sangat mencintainya, beliau lebih berharga dari seisi dunia dan segala yang kupunya.
Setibanya di rumah, ku berikan salam sebagai pertanda aku datang dari perantauan. Air mataku kini sudah tak ada lagi, namun lebamnya masih tertinggal jelas. Waktu menunjukan hampir pukul 7 petang, kulihat ibu berdaster lusuh, pakaian kesayanganya, bersimbah keringat dari hawa panas perapian saat tengah menyiapkan santapan untuk keluarga makan malam.
Kuperhatikan dari belakang, betapa mulianya wanita dihapanku ini, surgaku ada pada telapak kakinya. Seketika beliau menengok, keberadaanku diketahuinya. Beliau tersenyum, namun dengan sedikit heran tatkala melihat mataku lebam. Haru kemudian pecah, kucium keningnya, keriput sebagai refleksi perjuangan kasih sayang tak mengurangi kemuliaan sang maestro perjuangan, menangis dan bersimpuh memohon ampun dihadapnya. Tak mampu kugambarkan kemuliaan pada sosok seorang ibu. Beliau menagis haru, mungkin bahagia, dan ini adalah saat-saat yang kutunggu, beliau mengusap rambutku perlahan, rasa sayangnya kian terasa menenangkan, menyejukkan.
Meski tak pernah terbayangkan, tapi ini suatu kepastian bahwasanya suatu saat nanti aku akan kau tinggalkan, akan jauh lebih baik jika aku yang yang meninggalkanmu lebih dulu
Aku Cinta Kau, IBU.